Setelah
PKS Merapat ke Jokowi
Syamsuddin Haris ; Profesor Riset LIPI
|
KOMPAS,
05 Januari 2016
Dinamika politik
nasional seperti tampak dari Jakarta hampir selalu menghadirkan kejutan.
Ketika Partai Amanat Nasional belum memperoleh kompensasi politik yang jelas
atas dukungannya terhadap pemerintahan Joko Widodo, Partai Keadilan Sejahtera
pun menyusul untuk merapat ke Istana. Ada apa dan ke mana arahnya?
Sulit dimungkiri bahwa
politik Indonesia sesungguhnya relatif cair. Seperti bunyi sebuah adagium
klasik, "tidak ada musuh abadi dalam politik" atau "tidak ada
kawan sejati dalam politik". Yang hampir selalu kekal adalah kepentingan
yang sama di antara para elite politik itu sendiri. Ironisnya, adagium yang
berlaku hampir di semua rezim politik itu selalu menjadikan rakyat dan
kepentingan kolektif sebagai korbannya.
Ketegangan politik
pasca Pemilu Presiden 2014 sempat mengkhawatirkan kita semua, tetapi akhirnya
mencair setelah Prabowo Subianto turut hadir dalam pelantikan Presiden Joko
Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla pada Oktober 2014. Sepanjang 2015,
tarik-menarik dan ketegangan politik antara Koalisi Merah Putih (KMP) yang
menjadi oposisi dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) sebagai gabungan parpol
pendukung pemerintah relatif dapat diredam. Melalui, antara lain, peran Luhut Binsar
Pandjaitan selaku Kepala Staf Kepresidenan, pemerintah berhasil
"menjinakkan" KMP kendati hal itu tidak sepenuhnya gratis.
Ongkos politik dari
harmoni semu relasi KMP dan pemerintah, di antaranya, adalah pembayaran dana
talangan Rp 781 miliar bagi korban lumpur Lapindo yang bersumber dari APBN.
Padahal, itu seharusnya menjadi beban PT Lapindo Brantas, perusahaan milik
keluarga Aburizal Bakrie, Ketua Presidium KMP.
Presiden yang kesepian
Ketika KMP relatif
dapat dijinakkan, problem terbesar Presiden Jokowi justru datang dari dua
poros kekuasaan yang menjadi basis pendukung mantan Wali Kota Solo itu
sendiri, yakni partai pengusung dan koalisi partai pendukung. Meskipun
diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan selaku parpol pemenang
Pemilu Legislatif 2014 dan didukung koalisi longgar KIH (PDI-P, Nasdem, PKB,
Hanura, dan PKPI), Jokowi pada dasarnya adalah seorang presiden yang
kesepian. Jokowi
tak hanya didukung setengah hati oleh Megawati Soekarnoputri dan PDI-P,
tetapi juga digerogoti oleh parpol pendukungnya.
Masih segar dalam memori
publik bagaimana Jokowi berjuang "sendirian" menghadapi
persekongkolan politik KMP-KIH di DPR dalam pencalonan Komisaris Jenderal
Budi Gunawan sebagai Kepala Polri. Padahal KPK telah menetapkannya sebagai
tersangka, tetapi kemudian dibatalkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Konflik internal
antara partai pengusung dan koalisi parpol pendukung Jokowi versus Presiden
Jokowi itu akhirnya berujung kompromi. Presiden atas dukungan publik menarik
kembali pencalonan mantan ajudan Presiden Megawati itu sebagai Kepala Polri,
tetapi Jokowi tetap membiarkannya menjadi Wakil Kepala Polri.
Kasus mutakhir yang
memperlihatkan dukungan setengah hati PDI-P terhadap Jokowi adalah
dibiarkannya Panitia Khusus Angket Pelindo II yang dimotori Rieke Diah
Pitaloka memberi rekomendasi aneh bagi Presiden Jokowi, yakni mencopot
Menteri BUMN Rini Soemarno. Rekomendasi tersebut bukan hanya tidak etis dan
tidak masuk akal karena menyimpang dari otoritas DPR, melainkan juga
tendensius secara politik.
Seperti diketahui, sejak
Kongres Bali, Ketua Umum PDI-P Megawati mensinyalir ada tiga "penumpang
gelap" di lingkaran dalam Istana. Banyak kalangan menengarai bahwa tiga orang yang dimaksud
Megawati adalah Rini Soemarno, Luhut Binsar Pandjaitan, dan Andi Widjajanto yang sudah dicopot
dari posisi sebagai Sekretaris Kabinet. Rekomendasi Pansus Pelindo II
tampaknya terkait erat dengan agenda titipan partai banteng tersebut.
Selain digerogoti basis politik, Jokowi juga tampaknya
mulai mewaspadai kemungkinan adanya agenda tersembunyi di balik kebijakan dan
langkah politik para anggota kabinetnya sendiri. Kasus "papa minta
saham" yang menerpa Ketua DPR Setya Novanto, bagaimanapun, membuka mata
Jokowi untuk lebih hati-hati terhadap orang-orang kepercayaan di lingkaran
dalam Istana. Jadi, Presiden Jokowi dihadapkan pula dengan perilaku menteri
yang mencoba turut mengail di air politik yang keruh. Kecenderungan beberapa menteri yang secara terbuka saling
menyalahkan satu sama lain tak hanya memperkuat dugaan ini, tetapi juga
memperlihatkan, Jokowi seolah-olah berjuang sendirian.
Mengapa PKS?
Oleh karena itu,
ketika akhirnya PAN merapat ke Istana dan beberapa waktu kemudian PKS turut
menyusul, Presiden Jokowi dengan tangan terbuka dan sukacita menyambut uluran
dukungan itu. Bagi Jokowi, dukungan PAN serta kehadiran PKS tidak hanya
menjadikannya "tidak sendiri", tetapi juga memberi ruang lebih
lebar bagi mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut untuk bermanuver lebih cerdas
dalam menghadapi partai pengusung dan koalisi parpol pendukung.
Pertanyaannya, mengapa
PKS yang akhirnya "silaturahim" ke Istana, bukan Golkar atau PPP
yang sebelah kakinya sudah mendukung Jokowi? Ada beberapa kemungkinan.
Pertama, secara obyektif PKS menilai bahwa pemerintahan Jokowi-Kalla
memperlihatkan kinerja positif sehingga patut diapresiasi. Percepatan
pembangunan infrastruktur dan serangkaian paket kebijakan ekonomi yang
diluncurkan pemerintah harus diakui sebagai bagian dari kinerja positif
pemerintah. Seperti sering dikemukakan para petinggi PKS, selama kebijakan pemerintah
bersifat pro rakyat, tak ada alasan bagi PKS untuk tidak mendukungnya.
Kedua, bisa jadi PKS
mulai merasa jengah juga dengan politik KMP yang tidak jelas arahnya.
Alih-alih menawarkan kebijakan alternatif melalui mekanisme legislasi di DPR,
KMP terperangkap sebagai koalisi oposisi yang menutup diri dari aspirasi
publik. Hal ini, antara lain, tampak dari dukungan KMP terhadap Setya
Novanto, padahal secara terbuka tampak jelas bahwa mantan Ketua DPR tersebut
melakukan pelanggaran etik dalam kasus "papa minta saham".
Ketiga, PKS,
bagaimanapun, melihat pemerintah sebagai sumber daya politik dan ekonomi
terbesar bagi negeri ini sehingga secara matematis parpol yang berada di
dalam pemerintah dianggap lebih strategis dan "menguntungkan"
dibandingkan di luar pemerintah. Pengalaman manis PKS bergabung ke pemerintah
selama periode Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014) sangat mungkin
menjadi dasar bagi partai tarbiyah ini mengalkulasi ulang peruntungan
politiknya. Sebagai sumber daya ekonomi terbesar, pada umumnya parpol kita
berharap dapat "mengais rezeki" dari sumber-sumber pemerintah
melalui kapitalisasi jabatan publik yang disandang para kader partai.
Keempat, di luar tiga
argumen sebelumnya, Muhammad Sohibul Iman sebagai presiden baru PKS benar-benar
ingin silaturahim dan memperkenalkan kepemimpinan baru partai berlambang padi
diapit bulan sabit berwarna kuning emas ini. Sebagai pemimpin baru PKS,
Sohibul Iman tampaknya ingin mengembalikan marwah partai yang sempat luluh
lantak di bawah kepemimpinan Luthfi Hasan Ishaaq. Seperti diketahui, sebagai
dampak kasus korupsi yang dialami mantan Presiden PKS tersebut, pada Pemilu
2014 lalu PKS kehilangan 17 kursinya di DPR.
"Reshuffle" tanpa PKS
Walaupun ada indikasi
PKS semakin merapat ke Istana, saya berpendapat, Presiden Jokowi belum akan
mengajak PKS turut serta dalam Kabinet Kerja. Perombakan kabinet jilid II
seperti sinyal yang pernah diberikan Jokowi sangat mungkin difokuskan pada
dua target. Pertama, target percepatan kerja dan kinerja kabinet sehingga
sangat mungkin Presiden akan mengganti menteri-menteri yang kinerjanya
dianggap tidak optimal. Para menteri yang lebih "mencari kesibukan"
ketimbang benar-benar sibuk mengimplementasikan Nawacita Jokowi-Kalla pada
akhirnya akan dicopot dari kabinet.
Kedua, target
keseimbangan politik baru. Dukungan politik PAN terhadap pemerintahan
Jokowi-Kalla, bagaimanapun, ada kompensasi politiknya dalam bentuk satu atau
dua kursi kabinet. Bagi Jokowi, dukungan dan kehadiran PAN bukan semata-mata
dalam rangka perluasan basis politik pemerintah menghadapi parlemen,
melainkan juga dalam rangka keseimbangan politik baru dalam lingkaran
kekuasaan pemerintah sendiri. Seperti diketahui, di bawah tekanan politik
partai pengusung dan koalisi parpol pendukung, Jokowi memerlukan kemitraan
PAN. Konsekuensi logisnya, jatah menteri untuk PAN berasal dari jatah menteri
koalisi parpol pendukung Jokowi atau jatah menteri dari kalangan profesional
yang tidak memiliki basis politik.
Itulah kira-kira
realitas politik yang kita hadapi hari-hari ini. Sebuah realitas yang sangat
berjarak dengan nasib sebagian rakyat kita yang sangat mungkin tengah
bertaruh nyawa dalam ketidakpastian, apakah mereka masih bisa menatap hari
esok atau tidak. Semoga saja para elite politik yang asyik bercengkerama dan
saling merajuk mempertemukan kepentingan di antara mereka tidak melupakan
untuk mencatat hal ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar