Tahun
Kepura-puraan
Asep Salahudin ; Dekan Fakultas Syariah IAILM Suryalaya,
Tasikmalaya;
Dosen di FISS Universitas Pasundan, Bandung
|
KOMPAS,
02 Januari 2016
Di pengujung Desember,
kita merayakan dua hari besar yang diperingati umat Islam dan umat Kristiani
yang tanggalnya beriringan: Maulid Nabi Muhammad SAW dan Natal Isa Almasih,
dan kemudian dipungkas peralihan tahun.
Bagi saya, pesan moral
yang relevan dari kelahiran kedua nabi besar itu adalah harus lekas melucuti sikap kepura-puraan
dalam segenap hal. Segeralah menghentikan kebohongan demi menyambut fajar
kehidupan yang berkeadaban.
Menghentikan
kepura-puraan ini penting sebab hari ini, diakui atau tidak, kepura-puraan
telah mengepung kita. Nyaris merata
dari atas sampai bawah. Simak saja sidang Mahkamah Kehormatan Dewan
(MKD) yang sudah digelar dan menyita perhatian bangsa Indonesia pada akhirnya
berujung antiklimaks, berakhir pada drama kepura-puraan. Alih-alih membacakan
amar keputusan, MKD malah terbawa arus irama politik Setya Novanto,
membacakan surat pengunduran dirinya dari Ketua DPR. Riwayat kelanjutannya,
Novanto kemudian beralih ke posisi strategis, Ketua Fraksi Golongan Karya,
tanpa merasa bersalah dan tanpa beban politik apa pun. Ekspektasi masyarakat
untuk dapat melihat tata kenegaraan yang transparan masih jauh panggang dari
api.
Memang sidang etik
digelar lengkap dengan panggilan yang kemudian menjadi trending topic, "Yang Mulia", tetapi semua serba
berjubahkan kepura-puraan. Diksi etika yang melekat dalam MKD tak
terhindarkan menjadi contradictio in
terminis. Menjadi pura-pura ditanya, pura-pura menjawab, dan pura-pura
tidak tahu keputusan apa yang hendak diambil. Sebab, pada akhirnya mereka
sadar, mereka tidak sedang merepresentasikan wakil rakyat yang paham aspirasi
khalayak, tetapi hanya pura-pura mewakili.
Coba saja simak,
ternyata apa yang dipikirkan jauh berbanding terbalik dengan angan-angan
pemilihnya. Bukan melambangkan konsep diri "para penyambung lidah
rakyat", tetapi lebih menampilkan gerombolan politisi-meminjam istilah
Nietzsche-yang lebih dingin daripada monster yang paling dingin, serupa
vampir yang mengisap darah kehidupan sehingga politik jadi lunglai dan
tersesat di jalur entah ke mana dan di mana.
Atau mungkin kita
ditakdirkan sebagai bangsa yang menjadikan kepura-puraan sebagai bagian dari jati diri. Ini tidak saja
terjadi hari ini, tetapi bahkan dengan sangat sempurna selama 32 tahun negara
despotik Orde Baru berkuasa, isinya tak lebih hanya kontes dongeng kolosal
politik kepura-puraan demi kepura-puraan yang dikemas secara canggih
lewat idiom "pembangunan".
Pura-pura akan tinggal landas, ternyata benar-benar tinggal di landasan.
Pura-pura hidup rukun lewat paket SARA yang dipidatokan secara gencar, tetapi
ternyata seiring robohnya Orde Baru kekerasan demi kekerasan seperti
mendapatkan katupnya. Pura-pura memuliakan kaum perempuan, ternyata isinya
tak lebih hanya kelas "dharma
wanita".
Visi kenabian
Mungkin benar apa yang
dibilang Mochtar Lubis tentang 12
identitas negatif "manusia Indonesia", salah satunya adalah
hipokrit dan suka pura-pura. Kepura-puraan ini kian artikulatif ketika
diekspresikan kerumunan politisi primitif
atau hari ini lebih halus dikemas dalam istilah politik "pencitraan".
Tepat ketika Presiden
Joko Widodo mengundang para pelawak ke Istana Negara berbarengan sidang MKD,
bagi saya ini adalah olok-olok cerdas
sepanjang 2015: satire yang sangat menohok jantung perpolitikan kita.
Pesan yang hendak disampaikan kira-kira adalah bahwa kaum politisi
sesungguhnya tidak sedang bersidang, tetapi tengah saling berargumen dengan
lelucon murahan. Mereka sedang menelanjangi watak aslinya yang penuh dusta,
saling menyandera, dan jahiliah.
Di sinilah peringatan
kelahiran dua nabi besar di pengujung tahun ini menemukan relevansinya. Kedua
nabi itu tidak pernah lelah mempromosikan hidup yang diacukan pada haluan
asketisisme. Hidup dalam terang kebenaran dan kesederhanaan. Bahwa iman yang
lurus identitas utamanya tidak diletakkan pada gemuruh perayaan ritual, tetapi sejauh mana iman itu
efektif menggerakkan manusia untuk bersikap amanah dalam mengelola kekuasaan
yang digenggamnya. Kata Muhammad SAW, "Tidak
beriman mereka yang tidak bisa bersikap amanah."
Iman di tangan kedua
nabi itu kebenarannya tak terkonfirmasi pada gagasan-gagasan abstrak, tetapi
justru pada sejauh mana iman itu mampu menjadi nyala keyakinan yang bisa
menjadi pandu mentransformasikan seseorang ke arah tindakan politik yang
bijak. Iman yang bisa bergerak
berbarengan ke dua arah: ke dalam mampu memperkaya penghayatan religiositas
dan ke luar menjadi obor yang membawa kehidupan menjadi santun. Iman personal
sekaligus sosial, metafisis sekaligus ideologis.
Di titik inilah
menjadi dapat dipahami seandainya kedua nabi itu dalam menyampaikan
risalahnya lebih mengedepankan visi keteladanan ketimbang seruan-seruan
verbalistik. Mengambil pilihan politik adiluhung daripada memburu kekuasaan.
Kehidupan dikelola sedemikian rupa sehingga mencapai maqam keadaban tidak
dengan kekerasan, tetapi kelembutan, tidak lewat pentungan, tetapi kasih
sayang. Kedua nabi itu adalah yang terakhir kali merasakan
"kenyang" sebelum umatnya dapat dipastikan terpenuhi sandang
pangannya terlebih dahulu.
Nabi Isa terkenal
sebagai pribadi welas asih yang apabila ditampar pipi kirinya, diberikanlah
pipi kanannya, jemaahnya lebih banyak kaum papa, menjadi panutan khalayak
dalam segenap lakunya. Nabi Muhammad setiap hari dilempari seorang Yahudi. Ketika dilaporkan si Yahudi itu
tergolek di rumah sakit, beliau sendiri yang pertama kali menjenguk dan
menyuapinya. Muhammad SAW lebih memilih tempat tinggalnya menyatu dengan
mihrab daripada meminta para sahabat membangunkan istana megah layaknya
raja-raja Persia dan Romawi saat
itu.
Interupsi di pengujung tahun
Di penghujung tahun
2015, kedua nabi besar itu seolah
hendak melakukan interupsi religius bahwa problem kemanusiaan hanya bisa
diselesaikan manakala keberagamaan dikembalikan ke garis khitahnya. Agamalah
yang mampu menanggalkan sikap
kepura-puraan para pemeluknya, yang bisa menginjeksikan kesadaran bahwa
politik yang benar itu manakala mampu mewujudkan keutamaan publik. Ia
menciptakan relasi sosial yang lapang, dapat memasuki fakta keragaman dalam
pengalaman kemajemukan yang intim, bisa menunjukkan bahwa tata kelola ekonomi
dianggap sahih ketika bisa memberikan kesejahteraan dan meneguhkan hukum yang tidak
diskriminatif.
Kedua nabi itu adalah
mata air keteladanan tak pernah kering yang seolah mengajarkan bahwa
kekuasaan itu tidak penting sama sekali kalau hanya dijadikan alat memburu
rente, memperkaya diri dan mempertahankan kursi dengan menghalakan segala
cara. Kemuliaan kekuasaan itu terletak pada sikap kesediaan berkhidmat kepada
jemaat dan umat.
Kelahiran dan tahun
baru dirayakan adalah sebagai penanda bahwa semangat "dilahirkan
kembali" adalah semangat kebaruan
yang harus terus digelorakan sebagai siasat agar kita tidak dibajak hal-hal
artifisial, supaya kita tidak disandera tubuh material yang bikin mata batin
kehilangan sensitivitas. Bahwa roh kerukunan tidak hanya wajib diupayakan, tetapi juga panggilan iman.
Dalam iman murni tidak ada "aku" dan "kamu", tetapi
"kita", yang semua sama kedudukannya sebagai kafilah yang sedang
meretas jalan menuju Maha Cahaya.
Kekitaan sebagai modus eksistensial kehadiran setiap warga.
Kekitaan yang berada di bawah napas Ilahiah yang pada gilirannya mampu secara
sosiologis membedakan mana politik kepura-puraan dan yang otentik, mana keberagamaan
hakiki dan mana yang ornamental semata.
Trilogi Maulid, Natal,
dan Tahun Baru, seharusnya dijadikan momentum untuk melahirkan
kesadaran-kesadaran seperti itu. Kesadaran-kesadaran yang akan menjadi oksigen yang akan bikin hidup kita
tidak berujung sia-sia. Semuanya harus dipastikan bergerak ke arah itu. Jika
tidak, setiap perayaan hanya berhenti sebatas upacara, hanya menyisakan
kemacetan mengisi liburan panjang. Akhirnya, selamat Maulid, Natal, dan Tahun
Baru. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar