Menatap
Ekonomi Pangan dan Pertanian 2016
Bustanul Arifin ; Guru Besar Unila; Ekonom Senior Indef;
Professorial Fellow di Sekolah Bisnis IPB
|
MEDIA
INDONESIA, 04 Januari 2016
PROSPEK ekonomi pangan dan pertanian Indonesia
2016 diperkirakan tidak akan banyak berbeda dari 2015. Namun, tantangan yang
akan dihadapi ekonomi pangan hampir dapat dipastikan akan lebih berat
ketimbang 2015. Dampak kekeringan ekstrem El Nino yang menekan sebagian
produksi pangan dan keterlambatan musim tanam akan mulai terasa pada 2016. Di
dalam negeri, ekonomi pangan dan pertanian Indonesia harus menghadapi
kenaikan harga pangan pokok karena kinerja produksi dan manajemen stok yang
bermasalah.
Walaupun laporan Badan Pusat Statistik (BPS)
pada awal November 2015 menunjukkan peningkatan produksi beras 5,6%, jagung
4,4%, dan kedelai 2,9%, atau mengindikasikan surplus produksi pada beras dan
jagung, fakta di lapangan tidak seperti yang diramalkan. Akan tetapi, ketika
dampak kekeringan tersebut telah mulai terasa, ratusan hektare (ha) lahan
padi mengalami puso dan gagal panen. Masyarakat perdesaan terpaksa harus
berjalan berpuluh kilometer hanya untuk memperoleh satu-dua ember air bersih.
Rasa percaya diri terhadap kenaikan produksi pangan spektakuler tersebut pun
perlahan berkurang.
Pada awal November, sekitar 500 ribu ton beras
impor dari Vietnam telah mulai dibongkar muat di Pelabuhan Tanjung Priok yang
sebagian besar mengisi cadangan beras yang dikelola Perum Bulog. Para analis
dan ekonom pertanian sebenarnya cukup mafhum bahwa impor beras 1,5 juta ton
sebenarnya tidak terlalu istimewa. Stok beras pada akhir Desember 2015 berada
pada titik kritis di bawah 1 juta ton dan fakta memperlihatkan sulitnya
pengadaan beras dalam negeri pada masa kekeringan. Karena itu, harga eceran
beas dalam negeri merangkak naik.
Fenomena sebaliknya justru dijumpai di tingkat
global. Hampir seluruh harga pangan strategis mengalami penurunan yang signifi
kan. Dalam ekonomi global modern, harga-harga pangan strategis sangat
berhubungan dengan harga minyak bumi. Bahkan, penurunan harga pangan global
tersebut telah menekan sektor perkebunan secara amat signifi kan karena
rendahnya harga karet, kelapa sawit, teh, dan lainlain yang sempat mengurangi
insentif bagi petani dan usaha perkebunan untuk menggenjot produksi.
Singkatnya, sepanjang 2015, ekonomi pangan Indonesia menderita persoalan
struktur pasar dalam negeri, governansi ekonomi, dan tata niaga komoditas
yang tidak efisien. Pelaku ekonomi yang paling lemah selalu menanggung dampak
dari buruknya struktur pasar komoditas pangan tersebut.
Kulitas rendah
Secara makro, kinerja pertumbuhan ekonomi
sektor pertanian sampai dengan triwulan 3 2015 tercatat hanya 3,21% per
tahun, masih jauh lebih rendah daripada kinerja pertumbuhan ekonomi makro yang
mencapai 4,73%. Tingkat pertumbuhan sebesar itu belum cukup untuk menyerap
tenaga atau penciptaan lapangan kerja baru, apalagi mengentaskan masyarakat
dari kemiskinan. Angka kemiskinan pada 2015 justru meningkat menjadi 28,59
juta jiwa (11,22%) dari 27,73 juta (10,96%) pada September 2014. Angka
kemiskinan di perdesaan, yang sebagian besar penduduknya masih bekerja di
sektor pertanian, pada 2015 meningkat menjadi 17,94 juta jiwa (62,7% dari
total orang miskin) dari 17,73 juta jiwa (62,6%) pada 2014. Dalam pandangan
teori kualitas pertumbuhan, pertum buhan ekonomi makro Indonesia memiliki
kualitas rendah atau kinerja ekonomi makro tidak berkualitas sehingga cukup
sulit untuk menghasilkan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil
Presiden Jusuf Kalla telah menetapkan sasaran kedaulatan pangan dalam Rencana
Pembangunan Nasional Jangka Menengah (RPJMN) 2015-2019. Secara sederhana,
kedaulatan pangan dimaksudkan sebagai suatu kekuatan untuk mengatur masalah
pangan secara mandiri, yang didukung oleh (1) ketahanan pangan, terutama
kemampuan mencukupi pangan dari produksi dalam negeri; (2) pengaturan
kebijakan pangan yang dirumuskan dan ditentukan bangsa sendiri; dan (3)
kemampuan melindungi dan menyejahterakan pelaku utama pangan terutama petani
dan nelayan.
Kementerian Pertanian yang merasa sebagai
instansi pemerintah yang ikut bertanggung jawab untuk mencapai sasaran
kedaulatan pangan telah menerjemahkan amanat RPJM tersebut dalam suatu
strategi besar Upaya Khusus Percepatan Peningkatan Produksi Padi, Jagung, dan
Kedelai (Upsus Pajale). Dukungan politik yang demikian tinggi dari anggota
parlemen, berupa tambahan alokasi anggaran pada APBN-P 2015 sekitar Rp16
triliun sehingga total anggaran sektor pertanian mencapai Rp32,7 triliun,
telah membuat Upsus Pajale seakan tidak boleh gagal. Setidaknya terdapat
empat gugus kegiatan besar dalam Upsus Pajale, yaitu (1) peningkatan
produktivitas padi melalui program Gerakan Penerapan-Pengelolaan Tanaman
Terpadu (GP-PTT), yang merupakan `fotokopi' atau penyempurnaan dari program
pada pemerintahan sebelumnya, yaitu Sekolah LapanganPengeloan Tanaman Terpadu
(SL-PTT); (2) perluasan area dan pengelolaan lahan melalui pengembangan atau
rehabilitasi jaringan irigasi tersier (RIJT) dan optimasi lahan (oplah); (3)
Pengamanan produksi pangan melalui bantuan benih, pupuk, dan traktor atau
alat-mesin pertanian, dan (4) dukungan manajemen pengawalan/ pendampingan dan
kelembagaan yang melibatkan aparat militer di segenap pelosok Tanah Air dan
sivitas akademika beberapa universitas.
Strategi Upsus Pajale tersebut merupakan
respons dari tekanan besar yang disampaikan Presiden Joko Widodo pada
berbagai kesempatan kepada Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman untuk men
capai swasembada padi, jagung, dan kedelai dalam waktu tiga tahun, atau pada
akhir 2017.Walaupun secara semantik istilah swasembada tidak terlalu tepat
karena di atas kertas Indonesia sebenarnya telah mencapai swasembada beras,
`kontrak politik' telah telanjur disepakati. Organisasi Pangan dan Pertanian
PBB (FAO) agak longgar mendefisikan swasembada pangan, yaitu apabila
setidaknya 90% dari kebutuhan pangan dapat dipenuhi dari produksi dalam
negeri. Impor beras sebesar 1,5 juta ton pada tahun lalu sebenarnya tidak
lebih dari 4% dari total produksi beras nasional sekitar 43 juta ton beras,
hasil konversi 74,99 juta ton gabah kering gilimg (GKG).
Akan tetapi, impor jagung yang diperkirakan
sekitar 3 dengan 15% produksi jagung nasional, yang tercatat 19 juta ton
pipilan kering. Dalam hal itu, Indonesia belum mencapai swasembada jagung
karena masih harus mengandalkan jagung impor, terutama dari Amerika Serikat
(AS), untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak yang berkembang amat pesat.
Demikian juga Indonesia belum mencapai swasembada kedelai karena produksi kedelai
dalam negeri hanya 982 ribu ton atau hanya sepertiga dari kebutuhan kedelai
nasional yang mencapai hampir 3 juta ton. Indonesia masih sekitar 70%
tergantung pada kedelai impor yang sebagian besar berasal dari Amerika
Serikat (AS), Brasil, dan Argentina.
Sistem usaha tani kedelai di Indonesia telah
telanjur `rusak' selama 20 tahun terakhir dan semakin parah sejak
liberalisasi perdagangan kedelai pada akhir 90-an semasa krisis ekonomi Asia.
Sampai awal 90an, Provinsi Sumatra Selatan dan Lampung bahkan pernah tercatat
sebagai sentra produksi kedelai sangat potensial dengan penerapan teknologi
budi daya amat modern dan mekanisasi pertanian yang cukup efisien. Ketika
petani tidak memiliki insentif harga yang memadai, terutama karena harga
kedelai impor yang amat murah, sulit diharapkan terjadi peningkatan
produktivitas kedelai dalam waktu singkat.
Prospek 2016
Dengan kinerja ekonomi pangan 2015 yang
demikian dramatis, walaupun anggaran telah dinaikkan dua kali lipat, prospek
ekonomi pangan dan pertanian pada 2016 masih akan menyesuaikan diri dengan
langgam perubahan birokrasi dan administrasi di pusat dan daerah.
Pertama, prospek ekonomi beras masih tidak
akan beranjak besar dari pencapaian pada 2015. Dengan metode estimasi yang
belum diperbaiki, pemerintah menargetkan produksi beras pada 2016
diperkirakan mencapai 77 juta ton GKG. Pengalaman historis menunjukkan
setelah fenomena kekeringan esktrem El Nino, kinerja produksi pangan biasanya
menurun. Hal yang jelas ialah musim tanam telah mundur satu bulan menjadi
akhir November atau awal Desember karena musim kering yang cukup dahsyat.
Kemudian masa panen raya pada musim rendeng sekarang ini akan mundur sampai
April 2016. Jika masa panen hanya bergeser satu bulan, tentu hal itu bukan
masalah.
Mundurnya musim tanam biasanya juga mengganggu keseimbangan agroeko
sistem tanaman pangan, khususnya padi. Kasus ledakan hama wereng cokelat pada
2012 ialah salah satu contoh terganggunya keseimbangan ekologis karena
perubahan iklim dan cuaca yang mendadak basah agak berkepan jangan.
Faktor-faktor itulah yang seha rusnya diantisi
pasi pemerintah, di samping tentunya menggenjot upaya percepatan rehabilitasi
jaringan irigasi tersier, optimasi lahan, dan manajemen intenfisikasi
produksi lainnya. Demikian pula dalam masa tunggu tiga bulan selama musim
tanam sekarang ini, yaitu pada Januari, Februari, dan Maret, pemerintah wajib
fokus pada pemantauan pergerakan harga eceran pangan pokok, khususnya beras.
Antisipasi operasi pasar dan simplifikasi mobilisasi cadangan pangan di tingkat
daerah wajib diupayakan dengan sungguh-sungguh.Pengalaman kenaikan harga
beras pada Februari 2015 sampai 25%-30% tentu tidak harus berulang jika
pemerintah mampu mengantisipasi pergerakan harga pangan pokok yang telah
mulai terlihat sejak awal tahun atau Januari 2015.
Kedua, prospek produksi ja gung 2016 juga
tidak akan banyak beranjak dari angka 19 juta-20 juta ton karena perhatian
pada intensifikasi produksi jagung tidak sebesar pada beras. Kasus liarnya
harga jagung pangan sampai sekitar Rp5 ribu per kilogram tidak boleh terulang
pada 2016. Pada 2015, cukup besar stakeholders
peternakan rakyat yang terpukul karena tingginya harga jagung, yang digunakan
sebagai bahan baku pakan ternak. Pemerintah telah seharusnya memperhatikan
penggunaan dan adopsi benih jagung unggul atau jagung hibrida, yang tentu
saja cukup berbeda dalam pemeliharaannya jika dibandingkan dengan jagung
varietas biasa.
Ketiga, prospek ekonomi kedelai pada 2016
masih tidak secerah kedua komoditas pangan padi dan jagung. Produksi kedelai
diperkirakan masih sulit untuk menembus 1 juta ton karena konversi ladang
kedelai menjadi kegunaan lain, termasuk kelapa sawit. Pengembangan sistem
insentif produksi kedelai kepada petani kecil, skema penjaminan harga tingkat
petani, dan jaminan pembelian atau jaminan pemasaran kedelai perlu diupayakan
untuk dilaksanakan secara sungguh-sungguh.
Keempat, prospek ekonomi pangan dan pertanian
akan cerah apabila pemerintah mampu bekerja sama dengan seluruh stakeholders bidang pangan. Strategi
Upsus Pajale hanyalah salah satu pendekatan.Pembangunan pertanian yang
berhasil tidak hanya akan memperkuat sektor pertanian dan meningkatkan
kesejahteraan petani saja, tapi juga berkontribusi pada keberadaban proses
transformasi struktural perekonomian. Maknanya, pembangunan pertanian yang
akan dikenang sepanjang masa oleh warga negaranya sendiri dan oleh warga
dunia ialah apabila pembangunan tersebut mampu memberikan dampak pendapatan
dan dampak lapangan kerja bagi warga negara dan bagi sektor-sektor ekonomi
yang lain.
Proses transformasi struktural yang kukuh
pasti akan menghasilkan sektor industri yang tangguh. Hal itu juga menjadi
andalan pembangunan ekonomi nasional dan menciptakan sektor jasa serta
tersier lain, yang menjadi tumpuan hidup kaum kelas menengah masa depan, yang
diperkirakan melebihi 100 juta orang dalam waktu dekat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar