Kebangkitan Donald Trump
R William Liddle ; Profesor Emeritus Ilmu Politik Ohio State
University,
Columbus, Ohio, AS
|
KOMPAS,
16 Januari 2016
Apakah kemungkinan Donald Trump, miliarder dan selebritas TV,
akan unggul dalam pilpres Amerika pada November 2016? Lebih awal, adakah kemungkinan terpilih
sebagai capres dari Partai Republik, salah satu dari dua partai terbesar
kami, dalam konvensinya pada Juli di Cleveland, Ohio? Menurut hasil polling
nasional mutakhir, Trump meraih 36 persen dari seluruh suara pemilih
Republik, dua kali lebih besar dari lawan utamanya, Senator Ted Cruz dari
Texas.
Setelah memantau perkembangan persaingan para kandidat Republik
selama dua tahun, saya menyimpulkan, kemungkinan Trump terpilih sebagai
capres ada, tetapi tipis. Akan tetapi, sama sekali tak ada harapan menang
dalam pemilihan umum.
Alasan pokoknya, Trump memilih menjadi penyambung lidah
konstituensi pemilih yang semakin kecil: laki-laki putih kelas menengah ke
bawah, termasuk kelas buruh, yang kecewa dengan keadaan ekonomi mereka.
Sebagian kelompok ini gaduh, marah, sedang panik secara moral. Mereka ingin
balas dendam kepada seluruh kekuatan mapan, termasuk dan mungkin terutama
dalam partainya sendiri.
Gaya Trump ceplas-ceplos, kelihatan bodoh, dan suka menciptakan
gagasan yang radikal dan tak masuk akal, seperti memulangkan 11 juta imigran
ilegal dari Meksiko atau menangkal semua penganut agama Islam, termasuk warga
negara AS. Di luar dugaan kebanyakan pengamat, ternyata justru gaya itu
menarik banyak orang yang jenuh dengan political correctness, kesopanan
politik yang menafikan pandangan dunia dan kepentingan mereka.
Penggambaran paling cermat ditawarkan oleh Barack Obama pada
April 2008, tatkala ia masih bersaing dengan Hillary Clinton untuk menjadi capres
dari Partai Demokrat. Obama bicara di sebuah kota kecil di daerah kumuh di
Negara Bagian Pennsylvania dalam pertemuan terbatas sejumlah pendana
kampanyenya. Isi pidatonya, seperti biasa dalam kampanye politik, lekas bocor
dan menjadi kontroversi.
Tutur Obama, ”Selama seperempat abad lebih di daerah ini dan
Barat Daya pada umumnya, laju pengangguran naik terus. Jadi, tentu bisa
dimengerti kalau banyak orang bersengit dan memegang teguh pada bedil, agama,
kebencian terhadap orang lain, bersentimen anti imigran serta anti
perdagangan bebas sebagai cara melepaskan keresahan mereka.”
Menurut data biro sensus nasional, mayoritas orang putih
menyusut sejak 1980-an, sementara kaum minoritas, termasuk orang
Amerika-Afrika dan Hispanik serta imigran dari seluruh penjuru angin,
menggelembung. Pada pilpres 2012, Mitt Romney, capres Republik, menggondol 59
persen suara orang putih, menurut polling Roper Center. Namun, jumlah itu tak
cukup mengatasi kemenangan mutlak Obama di kalangan minoritas: 93 persen
warga Amerika-Afrika, 71 persen Hispanik, dan 73 persen Asia.
Menjelang pilpres 2016, Trump, yang sebelumnya tak pernah
mencalonkan diri untuk jabatan apa pun, memilih bersaing dalam Partai
Republik. Meski demikian, belum tentu partai itu akan membalas budi dan mengangkat
dia selaku capresnya. Selama ini, Partai Republik menjunjung tiga prinsip
pokok: kebebasan individu dalam ekonomi, konservatisme sosial, terutama
tentang agama, serta pertahanan nasional yang kuat.
Tak pantas
Bagi para pemimpin Republik, Trump sudah membuktikan bahwa ia
tak menganut prinsip-prinsip itu secara konsisten. Lagi pula, mereka yakin
bahwa Trump pasti gagal dalam pemilihan umum, terutama kalau lawannya Hillary
Clinton. Tambahan lagi, mereka kenal Trump sebagai tokoh nyeleneh yang tak pantas menjadi pemimpin bangsa. Alhasil, mereka
hanya akan mencalonkan Trump jika dipaksakan oleh massa partai dalam primary elections, pemilihan
pendahuluan, yang akan diadakan di beberapa negara bagian pada paruh pertama
2016.
Akhirnya, apakah kita perlu khawatir bahwa tokoh seperti Trump
akan muncul di Indonesia? Saya langsung teringat pada Indonesia ketika saya
menulis bahwa konstituensi pokok Trump terdiri atas orang yang bersikap anti
perdagangan bebas, malah anti asing, dan berpegang teguh pada agama. Apakah
pemilih Indonesia yang bersikap seperti itu patut disamakan dengan pendukung
Trump?
Jawaban saya sederhana, tetapi pasti mengejutkan banyak orang.
Pertumbuhan ekonomi Amerika sudah lama lesu, lalu terkena krisis pada 2008.
Setelah itu, kinerja pemerintahan Obama merupakan yang terbaik di dunia maju,
tetapi lajunya baru mencapai 2,4 persen pada 2014. Tentu masuk akal kalau
massa yang bersengit semakin vokal, sementara Indonesia merupakan negara
berkembang yang sukses selama puluhan tahun. Meski berkurang belakangan ini,
laju pertumbuhan 5,0 persen pada 2014 adalah yang paling gemilang setelah
Tiongkok dan India.
Tentu saya tahu bahwa banyak orang Indonesia, terutama para
intelektual publik, suka ngomel
tentang globalisasi ekonomi yang diyakini berdampak buruk pada bangsanya.
Namun, dalam pemilihan umum, mayoritas pemilih selalu mendukung partai dan
calon yang pada dasarnya terbuka pada ekonomi dunia. Mereka tak tertarik pada
tokoh nyeleneh seperti Trump.
Singkatnya, rakyat Indonesia memaklumi sedari dulu bahwa
keterbukaan pada ekonomi dunia memungkinkan pertumbuhan cepat. Dalam hal itu,
presiden-presiden masa demokratis, termasuk petahana Presiden Joko Widodo,
mewarisi keberhasilan kebijakan ekonomi yang diciptakan pada masa otoriter
setengah abad lalu. Ironis, tetapi nyata. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar