Bom Bunuh Diri sebagai Media
Tb Ronny Rachman Nitibaskara ; Guru Besar Kriminologi Pascasarjana UI;
Ketua Program Kajian Strategis Ketahanan
Nasional UI;
Penasihat Ahli Kepala Polri
Bidang Hukum dan Kriminologi
|
KOMPAS,
16 Januari 2016
Hari Kamis, 14 Januari 2016, beberapa ledakan bom di sekitar
Jalan MH Thamrin, Jakarta, menyentak banyak pihak. Dalam pantauan beberapa media, ledakan
tersebut terjadi di depan pos polisi serta di halaman dan di dalam kedai kopi
terkenal. Rentetan peristiwa ledakan tersebut diselingi baku tembak antara
pelaku dan polisi di sekitar lokasi.
Peristiwa serangan itu sontak mengingatkan kita pada peristiwa
Paris, 13 November 2015 silam, yang mengakibatkan tewasnya lebih kurang 129
jiwa di beberapa tempat, seperti bar La Belle Equipe, bar Le Carillon,
restoran Le Petit Cambodge, restoran La Casa Nostra, stadion nasional Stade
de France, serta gedung konser Bataclan, dengan metode menembaki warga
membabi buta dan diakhiri dengan bom bunuh diri sebagian pelaku.
Salah satu kemiripan keduanya yang patut menjadi perhatian
bersama adalah aksi teror dilakukan dalam waktu berdekatan di lokasi yang
berbeda. Kendati dalam rilis resminya pihak berwenang menyatakan lima pelaku
telah tewas, hingga kini pihak kepolisian, TNI, dan segenap aparat lain tetap
melakukan penyelidikan intensif atas kejadian tersebut.
Motif pelaku
Sebagaimana diketahui, motif pelaku dan senjata yang digunakan
dalam terorisme sangat beragam. Terorisme itu sendiri, menurut Kadis (1983),
mengandung arti ancaman atau penggunaan kekerasan untuk tujuan-tujuan politik
oleh perorangan atau kelompok, di mana tindakan itu menentang kekuasaan
pemerintah ditujukan untuk menimbulkan korban dengan segera. Motif terorisme
biasanya tidak jauh dari motif politik, motif ekonomi, motif salvation, motif
balas dendam, dan kegilaan. Akan tetapi, kebanyakan motif aksi terorisme
dilandasi: (1) motif politik, umumnya dilakukan kelompok-kelompok organisasi
yang melakukan perlawanan terhadap negara/ pemerintahan tertentu; (2) motif
balas dendam, biasanya dilakukan individual, kelompok-kelompok kecil
terorganisasi, dan organisasi kejahatan; dan (3) motif agama/motif perang
suci (bellum iustum).
Pelaku terorisme itu sendiri terbagi ke dalam lima golongan: (1)
gerakan separatisme; (2) pembela ideologi tertentu; (3) dissident, yakni
pihak-pihak yang melakukan teror untuk memperlemah posisi pemerintah atau
menggulingkannya; (4) penganut fanatik kepercayaan/sekte tertentu; dan (5) psikopat
yang melakukan aksi teror untuk motif-motif kegilaan (madness). Umumnya kebanyakan pelaku menjadikan bangunan yang
menyimbolkan pihak yang dianggap lawan sebagai sasaran. Teroris yang
menjadikan AS sebagai musuh tentu akan menyerang tempat-tempat yang
menunjukkan eksistensi AS, di mana saja, di setiap negara, selama di negara
yang dijadikan ajang peperangan itu sendiri terdapat bangunan yang
menyimbolkan kepentingan atau kekuasaan AS, termasuk di Indonesia.
Hal ini berhubungan dengan teori yang pernah saya utarakan di
masa silam, yaitu extended territory, bahwa telah terjadi perluasan wilayah
perang di seluruh dunia berdasarkan kepentingan lawan. Sementara itu,
memanfaatkan bom bunuh diri sebagai ”senjata” sangatlah sesuai dengan tujuan
persenjataan dalam terorisme, yaitu dapat mendatangkan keterkejutan seketika
(unsur dadakan), memiliki daya rusak (unsur penghancur atau demolisi), dan
berpotensi menebar rasa takut di tengah masyarakat (unsur rage of terror). Maka, tidak
mengherankan, pelaku dengan keanekaragaman motif yang ada kerap memanfaatkan
metode menggunakan bom bunuh diri untuk menjalankan aksinya.
Bom bunuh diri
sebagai media
Melakukan aksi teror dengan menggunakan bom bunuh diri sebagai
media tentu bukan dilakukan karena nekat semata, melainkan telah direncanakan
dengan penuh perhitungan yang matang. Sebagaimana pernah diutarakan Madsen
(2004), kelompok dan pelaku teroris, terutama yang memanfaatkan bom bunuh
diri, telah memperhitungkan benefit
cost ratio yang ada, melakukan pertimbangan dan analisis cermat
berbulan-bulan hingga bertahun-tahun, serta melakukan riset terhadap obyek
yang akan dijadikan sasaran. Bahkan, mereka juga melakukan pelatihan sejak
dini bagi individu yang kelak akan dijadikan martir untuk meledakkan dirinya
sendiri.
Demikian pula yang terjadi di kawasan Jalan MH Thamrin. Pelaku
tidak akan secara sembrono melakukan aksi teror, baik berupa penembakan
maupun meledakkan dirinya sendiri hingga berkeping-keping tanpa alasan
tertentu. Semua telah melalui perencanaan yang teramat rinci dan mendetail.
Salah satu orang penting Al Qaeda di masa silam, Dr Ayman al-Zawahiri, pernah
mengutarakan, operasi dengan metode bom bunuh diri merupakan cara paling
ampuh dan sukses untuk menghasilkan korban yang besar di kalangan musuh dan
korban kecil di kalangan mujahidin. Cara itu kerap dilakukan mengingat telah
terjadi perluasan wilayah perang di seluruh dunia berdasarkan kepentingan
lawan.
Masih dalam kaitan dengan teori tersebut, apabila peristiwa
peledakan bom terjadi di lokasi yang tidak hanya menyimbolkan suatu negara
asing semata, tetapi juga kepentingan bangsa sendiri, hal tersebut patut
menjadi perhatian serius. Kejadian peledakan di kedai kopi yang menyimbolkan
AS serta pos polisi yang melambangkan Polri selaku aparat keamanan
menunjukkan bahwa pelaku, selain menjadikan AS sebagai musuhnya, juga telah
menjadikan Indonesia sebagai sasarannya. Fakta ini dikhawatirkan akan
menjadikan beberapa aset yang menyimbolkan negara Republik Indonesia di
mancanegara sebagai sasaran.
Efek teror
Kepala Divisi Humas Polri Anton Charliyan pernah mengatakan,
sebelum ledakan di Jalan MH Thamrin terjadi, ada peringatan yang disampaikan
kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah. Oleh karena itu, tidak tertutup
kemungkinan mereka berada di belakang tragedi tersebut. Jika demikian
kenyataannya, motif yang patut diduga melatarbelakangi adalah motif politik
dan agama. Semua itu akan menunjukkan bahwa pelaku termasuk dalam golongan
kedua, yaitu pembela ideologi tertentu.
Sebaliknya, apabila dugaan meleset, keyakinan akan motif dan
pelaku menjadi luntur dengan sendirinya. Dan ini akan menjadi pekerjaan rumah
yang mahapenting bagi setiap aparat dan kita semua. Sebagaimana diketahui,
efek dari teror yang dadakan dan memiliki daya rusak di kawasan Jalan MH
Thamrin telah sukses menebar rasa takut dalam masyarakat. Perasaan panik
tersebut ditambah lagi dengan tayangan dan pemberitaan stasiun televisi dan
radio yang menampilkan visualisasi mayat korban tanpa sensor serta
menginformasikan ledakan juga terjadi di beberapa tempat lain, padahal tidak.
Apabila hal itu dikaitkan dengan bisnis dan target iklan,
sebagaimana pernah disebutkan Chermak (1995) bahwa peristiwa yang disajikan
harus bertambah unik, seram, dan ganas, secara tidak langsung pihak media itu
turut membantu teroris untuk menciptakan keadaan mencekam dan rasa takut di
masyarakat. Selain itu, derasnya informasi di berbagai media sosial turut
menyumbang ketakutan dalam masyarakat (fear
of crime).
Kendati mereka akhirnya meminta maaf setelah mendapat teguran
dari Komisi Penyiaran Indonesia karena dinilai melanggar prinsip-prinsip
jurnalistik dan menyiarkan berita yang tidak layak tayang, hasil dari
tindakan tersebut telanjur memberikan efek yang memang diinginkan pelaku.
Kenyataan ini sekali lagi mengingatkan setiap pihak bahwa pemberantasan
terorisme hingga ke akar-akarnya mutlak dilakukan setiap saat secara
menyeluruh dan berkesinambungan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar