Terorisme dan Ancaman Keindonesiaan
Kacung Marijan ; Guru Besar FISIP Universitas Airlangga
Surabaya
|
JAWA
POS, 15 Januari 2016
DIBANDINGKAN
awal 2000-an, serangkaian aksi terorisme di sejumlah daerah di Indonesia
mengalami penurunan. Dibentuknya satuan khusus di kepolisian untuk mengatasi
terorisme, Densus 88, pada 26 Agustus 2004 boleh dikatakan cukup efektif
untuk menekan serangkaian aksi teror itu.
Di antara
prestasi Densus 88 adalah penyergapan yang menyebabkan tewasnya Dr Azahari di
Batu pada 9 November 2005. Juga, penyergapan yang menyebabkan tewasnya
Noordin M. Top di Surakarta pada 17 September 2009.
Tewasnya dua
dedengkot teroris asal Malaysia itu memang tidak menghentikan sama sekali
aksi terorisme di Indonesia. Sampai sekarang, misalnya, Densus 88 belum bisa
menangkap dan memotong kelompok Santoso di Sulawesi Tengah secara penuh.
Tetapi, institusi tersebut telah menjadi instrumen yang sangat penting dalam
menekan dan menangani terorisme dan diakui secara internasional.
Belum Mati
Meski
demikian, Densus 88 dan yang terkait belum sepenuhnya mampu mengantisipasi
bibit-bibit dan kemunculan terorisme secara lebih kuat. Munculnya aksi teror
di depan salah satu pusat perbelanjaan modern tertua di Indonesia, Sarinah,
pada 14 Januari 2016 pagi menunjukkan bahwa terorisme masih merupakan bahaya
laten yang harus terus diwaspadai. Aksi itu tidak hanya menjadi ancaman
serius keamanan dan ketertiban, tetapi juga ancaman bagi keindonesiaan kita.
Aksi terorisme
semacam itu memiliki perbedaan dengan aksi terorisme yang pernah terjadi di
Papua dan Aceh, misalnya. Di dua wilayah tersebut, aksi terorisme yang pernah
dilakukan lebih diarahkan sebagai upaya memperoleh kemerdekaan dari
Indonesia. Sementara itu, serangkaian aksi terorisme yang dilakukan para
teroris yang terkait dengan ideologi transnasional lebih diarahkan pada
perlawanan dan peperangan terhadap negara dan kekuatan internasional yang
dalam pandangan mereka dianggap jauh dari tatanan nilai-nilai ketuhanan.
Upaya
melakukan penekanan dan perang terhadap kelompok teroris yang bercorak
transnasional itu memang gencar dilakukan Amerika Serikat dan
sekutu-sekutunya. Pemerintahan Afghanistan yang dikendalikan Taliban telah
dihancurkan dan digulingkan. Kantong-kantong teroris transnasional di berbagai
negara juga dihancurkan.
Namun, seperti
yang kita ketahui, ideologi garis keras yang ada di belakang aksi-aksi teror
itu belum mati. Setelah kelompok Al Qaeda dan jaringannya digempur
habis-habisan, belakangan muncul ISIS (Negara Islam Iraq dan Syria/Syam).
Yang terakhir ini memang memiliki tujuan menguasai dan mendirikan negara di
wilayah Iraq dan Syria. Tetapi, pengikut kelompok yang banyak digerakkan
paham ekstremis jihadis Salafi-Wahabi tersebut juga memiliki pengikut dari
berbagai negara dan hendak mendirikan format negara serupa di wilayah
masing-masing.
Tidaklah
mengherankan, pengikut ISIS juga berasal dari Indonesia. Ditengarai, dalam
beberapa tahun terakhir ini, mereka aktif melakukan perekrutan, baik dengan
maksud untuk melakukan aksi jihad di Syria maupun mengembangkan ideologi
serupa di Indonesia.
Keindonesiaan
Belum
diketahui secara pasti apakah aksi di Sarinah itu dilakukan anggota dan
simpatisan ISIS ataukah kelompok lain. Terlepas dari itu semua, aksi tersebut
merupakan aksi serius bagi eksistensi keindonesiaan.
Pertama, para
penganut ideologi transnasional itu bermaksud mendekonstruksi bangunan negara
Indonesia yang bercorak kebangsaan menjadi negara yang didasarkan pada
konstruksi negaraagama bertafsir tunggal. Dikatakan bertafsir tunggal karena
kelompok tersebut tidak membenarkan tafsir Islam lain selain tafsir yang ada
di kelompok mereka.
Kedua, sebagai
implikasi dari tafsir dan cita-cita semacam itu, konstruksi negara-bangsa
Indonesia yang dibangun atas prinsip-prinsip keberagaman yang tersatukan atau
Bhinneka Tunggal Ika, dalam pandangan mereka, juga harus dihancurkan.
Dalam
konstruksi semacam itu, aksi terorisme jelas tidak hanya lawan Densus 88 dan
aparat keamanan. Terorisme dengan konstruksi ideologi semacam itu merupakan
ancaman bersama bagi eksistensi negara-bangsa Indonesia.
Yang perlu
kita lakukan, dengan demikian, bukan hanya penekananpenekanan terhadap para
teroris, seperti melakukan penangkapanpenangkapan. Melainkan juga memangkas
akar bagi tumbuh kembangnya ideologi radikal semacam itu.
Berkaca pada
beragam teori tentang munculnya terorisme, upaya semacam itu memang tidak
sederhana. Terorisme bisa terjadi karena faktor-faktor psikologis sampai
faktor-faktor sosial. Faktorfaktor psikologis tidak mudah diatasi karena
lebih bercorak individual dan membutuhkan terapi yang bercorak individual
pula. Tetapi, faktor-faktor sosial biasanya relatif lebih mudah dirumuskan
penanganannya.
Secara sosial,
terorisme itu, misalnya, muncul ketika ada ketidakadilan yang menguat dan
bercorak masif. Ketidakadilan itu, seperti ketimpangan sosial dan ekonomi,
acap kali dijadikan rujukan untuk menanamkan perlawanan dan ideologi
kekerasan kepada pengikutpengikut. Ketimpangan tersebut semakin memperoleh
pembenar ketika mendapati realitas bahwa yang banyak memperoleh keuntungan
dari ketidakadilan itu adalah orang-orang yang dipandang ’’kafir’’ tersebut.
Upaya mengurangi terorisme di
Indonesia, dengan demikian, tidak bisa dilepaskan dari konteks bagaimana
menata keadilan sosial yang ada di negara kita. Dengan demikian, yang perlu
kita gembar-gemborkan bukan sekadar bagaimana mempertahankan negara Indonesia
yang beragam, tetapi juga negara Indonesia yang beragam dan berkeadilan
sosial. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar