Minggu, 17 Januari 2016

Kebangkitan Donald Trump

Kebangkitan Donald Trump

R William Liddle  ;   Profesor Emeritus Ilmu Politik Ohio State University,
Columbus, Ohio, AS
                                                       KOMPAS, 16 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Apakah kemungkinan Donald Trump, miliarder dan selebritas TV, akan unggul dalam pilpres Amerika pada November 2016?  Lebih awal, adakah kemungkinan terpilih sebagai capres dari Partai Republik, salah satu dari dua partai terbesar kami, dalam konvensinya pada Juli di Cleveland, Ohio? Menurut hasil polling nasional mutakhir, Trump meraih 36 persen dari seluruh suara pemilih Republik, dua kali lebih besar dari lawan utamanya, Senator Ted Cruz dari Texas.

Setelah memantau perkembangan persaingan para kandidat Republik selama dua tahun, saya menyimpulkan, kemungkinan Trump terpilih sebagai capres ada, tetapi tipis. Akan tetapi, sama sekali tak ada harapan menang dalam pemilihan umum.

Alasan pokoknya, Trump memilih menjadi penyambung lidah konstituensi pemilih yang semakin kecil: laki-laki putih kelas menengah ke bawah, termasuk kelas buruh, yang kecewa dengan keadaan ekonomi mereka. Sebagian kelompok ini gaduh, marah, sedang panik secara moral. Mereka ingin balas dendam kepada seluruh kekuatan mapan, termasuk dan mungkin terutama dalam partainya sendiri.

Gaya Trump ceplas-ceplos, kelihatan bodoh, dan suka menciptakan gagasan yang radikal dan tak masuk akal, seperti memulangkan 11 juta imigran ilegal dari Meksiko atau menangkal semua penganut agama Islam, termasuk warga negara AS. Di luar dugaan kebanyakan pengamat, ternyata justru gaya itu menarik banyak orang yang jenuh dengan political correctness, kesopanan politik yang menafikan pandangan dunia dan kepentingan mereka.

Penggambaran paling cermat ditawarkan oleh Barack Obama pada April 2008, tatkala ia masih bersaing dengan Hillary Clinton untuk menjadi capres dari Partai Demokrat. Obama bicara di sebuah kota kecil di daerah kumuh di Negara Bagian Pennsylvania dalam pertemuan terbatas sejumlah pendana kampanyenya. Isi pidatonya, seperti biasa dalam kampanye politik, lekas bocor dan menjadi kontroversi.

Tutur Obama, ”Selama seperempat abad lebih di daerah ini dan Barat Daya pada umumnya, laju pengangguran naik terus. Jadi, tentu bisa dimengerti kalau banyak orang bersengit dan memegang teguh pada bedil, agama, kebencian terhadap orang lain, bersentimen anti imigran serta anti perdagangan bebas sebagai cara melepaskan keresahan mereka.”

Menurut data biro sensus nasional, mayoritas orang putih menyusut sejak 1980-an, sementara kaum minoritas, termasuk orang Amerika-Afrika dan Hispanik serta imigran dari seluruh penjuru angin, menggelembung. Pada pilpres 2012, Mitt Romney, capres Republik, menggondol 59 persen suara orang putih, menurut polling Roper Center. Namun, jumlah itu tak cukup mengatasi kemenangan mutlak Obama di kalangan minoritas: 93 persen warga Amerika-Afrika, 71 persen Hispanik, dan 73 persen Asia.

Menjelang pilpres 2016, Trump, yang sebelumnya tak pernah mencalonkan diri untuk jabatan apa pun, memilih bersaing dalam Partai Republik. Meski demikian, belum tentu partai itu akan membalas budi dan mengangkat dia selaku capresnya. Selama ini, Partai Republik menjunjung tiga prinsip pokok: kebebasan individu dalam ekonomi, konservatisme sosial, terutama tentang agama, serta pertahanan nasional yang kuat.

Tak pantas

Bagi para pemimpin Republik, Trump sudah membuktikan bahwa ia tak menganut prinsip-prinsip itu secara konsisten. Lagi pula, mereka yakin bahwa Trump pasti gagal dalam pemilihan umum, terutama kalau lawannya Hillary Clinton. Tambahan lagi, mereka kenal Trump sebagai tokoh nyeleneh yang tak pantas menjadi pemimpin bangsa. Alhasil, mereka hanya akan mencalonkan Trump jika dipaksakan oleh massa partai dalam primary elections, pemilihan pendahuluan, yang akan diadakan di beberapa negara bagian pada paruh pertama 2016.

Akhirnya, apakah kita perlu khawatir bahwa tokoh seperti Trump akan muncul di Indonesia? Saya langsung teringat pada Indonesia ketika saya menulis bahwa konstituensi pokok Trump terdiri atas orang yang bersikap anti perdagangan bebas, malah anti asing, dan berpegang teguh pada agama. Apakah pemilih Indonesia yang bersikap seperti itu patut disamakan dengan pendukung Trump?

Jawaban saya sederhana, tetapi pasti mengejutkan banyak orang. Pertumbuhan ekonomi Amerika sudah lama lesu, lalu terkena krisis pada 2008. Setelah itu, kinerja pemerintahan Obama merupakan yang terbaik di dunia maju, tetapi lajunya baru mencapai 2,4 persen pada 2014. Tentu masuk akal kalau massa yang bersengit semakin vokal, sementara Indonesia merupakan negara berkembang yang sukses selama puluhan tahun. Meski berkurang belakangan ini, laju pertumbuhan 5,0 persen pada 2014 adalah yang paling gemilang setelah Tiongkok dan India.

Tentu saya tahu bahwa banyak orang Indonesia, terutama para intelektual publik, suka ngomel tentang globalisasi ekonomi yang diyakini berdampak buruk pada bangsanya. Namun, dalam pemilihan umum, mayoritas pemilih selalu mendukung partai dan calon yang pada dasarnya terbuka pada ekonomi dunia. Mereka tak tertarik pada tokoh nyeleneh seperti Trump.

Singkatnya, rakyat Indonesia memaklumi sedari dulu bahwa keterbukaan pada ekonomi dunia memungkinkan pertumbuhan cepat. Dalam hal itu, presiden-presiden masa demokratis, termasuk petahana Presiden Joko Widodo, mewarisi keberhasilan kebijakan ekonomi yang diciptakan pada masa otoriter setengah abad lalu. Ironis, tetapi nyata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar