Kapsul
Waktu dan Mimpi Jokowi
I Basis Susilo ; Dosen FISIP Universitas Airlangga Surabaya
|
JAWA
POS, 01 Januari 2016
KETIKA meresmikan kapsul waktu yang berisi resolusi dan mimpi-mimpi
dari rakyat Indonesia di Merauke, Papua (30/12), Presiden Jokowi mengguratkan
tulisan ” Impian Indonesia 2015–2085.” Impian Jokowi terdiri atas tujuh poin.
Pertama, SDM Indonesia yang kecerdasannya mengungguli bangsa-bangsa lain di dunia. Kedua, masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi pluralisme, berbudaya, religius, dan menjunjung nilai-nilai etika. Ketiga, Indonesia menjadi pusat pendidikan, teknologi, dan peradaban dunia. Keempat, masyarakat dan aparatur pemerintah yang bebas dari perilaku korupsi. Kelima, terbangunnya infrastruktur yang merata di seluruh Indonesia. Keenam, Indonesia menjadi negara yang mandiri dan paling berpengaruh di Asia Pasifik. Dan, ketujuh, Indonesia menjadi barometer pertumbuhan ekonomi dunia.
Visi
dan Proyeksi
Target masa
depan, visi, road map, blueprint, rencana, garis besar, atau apa pun namanya
menjadi amat penting bagi suatu negara-bangsa. Apalagi negara-bangsa itu
besar seperti Indonesia. Ide mengadakan kapsul waktu menunjukkan adanya arti
penting dan strategisnya visi, road map, arah, dan target bagi negara-bangsa
kita. Dengan tujuan dan arah yang jelas itu, perhatian dan energi bisa kita
proyeksikan dan prioritaskan sehingga produktif untuk pembangunan
negara-bangsa. Singapura dan Tiongkok bisa kita jadikan contoh sukses.
Singapura
menjadi negara maju karena ada mimpi Lee Kuan Yew pada 1959. Bahwa Singapura
bisa menyamai negara-negara Eropa Barat pada 1980. Lee bekerja keras
merealisasikan mimpinya dengan mendisplinkan Singapura menjadi masyarakat
meritokratik yang memang berhasil menyamai –bahkan melampaui– Eropa Barat.
Tiongkok
juga punya arah yang jelas. Semua pemimpin Tiongkok, seperti Mao Tse-tung,
Deng Xiaoping, dan Xi Jinping, punya mimpi mengalahkan AS pada 2049 atau 100
tahun setelah Tiongkok berdiri. Lalu, pada Maret 2005, Pusat Penelitian
Modern Tiongkok mencanangkan target: 2015 menyamai Jepang, 2050 jadi negara
maju secara relatif, 2080 jadi negara maju menyamai AS, dan 2100 jadi adidaya
( superpower) menggantikan AS.
Di
Indonesia, kita mengenal pelbagai istilah untuk ikhwal arah dan target
nasional. Saat Orde Lama, ada rencana pembangunan sepuluh tahun, rencana
pembangunan lima tahun, dan rencana pembangunan nasional semesta berencana.
Di masa Orde Baru ada GBHN, propenas, propeda, dan repelita. Di era reformasi
ada randangan pembangunan jangka menengah dan panjang (RPJMP) serta rencana
tata ruang wilayah nasional (RTRWN).
Jika
dibandingkan dengan impian Lee dan road map Tiongkok, rumusan GBHN atau RPJMP
lebih panjang dan kompleks karena semuanya ingin dicakup. Akibatnya, tidak
seperti di Singapura dan Tiongkok, masyarakat awam di Indonesia tak bisa tahu
persis rumusan sederhana target dan arah pembangunan nasionalnya. Masyarakat
lebih mudah memahami visi Indonesia 2030 yang diluncurkan Yayasan Forum
Indonesia pada Maret 2007. Sebab, targetnya ringkas dan amat jelas.
Produktivitas,
Kemaritiman, dan Demokrasi
Lalu,
masyarakat mengetahui Nawacita yang dikenalkan Jokowi sejak kampanye Pilpres
2014. Nawacita tentu saja mendasari tulisan tangan Jokowi untuk kapsul waktu.
Namun, secara umum, tujuh poin Jokowi itu masih kurang spesifik. Targetnya
tidak tegas bila dibanding impian Lee dan road map Tiongkok.
Tujuh poin
impian Jokowi ditulis tangan sehingga mungkin ide yang keluar bersifat
spontan. Namun, karena yang menulis adalah presiden, kita cukup yakin tujuh
poin impian itu dipersiapkan oleh timnya. Apa pun, setidak-tidaknya ada tiga
hal yang perlu dicatat dari impian Jokowi tersebut.
Pertama,
soal kecerdasan dan produktivitas. Dalam poin pertama impian Jokowi, hanya
disebutkan soal kecerdasan. Tidak disebutkan soal produktivitas. Mungkin
asumsinya, kecerdasan menyangkut kemampuan untuk menghadapi dan mengelola
kehidupan secara bijak, efektif, dan efisien.
Presiden
Jokowi sendiri terus-menerus mengampanyekan semangat kerja, kerja, dan kerja.
Kabinetnya pun dinamai Kabinet Kerja. Poin kelima Nawacita disebutkan selain
”Indonesia pintar”, ada ”Indonesia kerja” dan ”Indonesia sejahtera”. Poin
keenam Nawacita juga menyebutkan secara esplisit peningkatkan produktivitas
rakyat dan daya saing.
Kedua, soal
kemaritiman. Amat mengherankan, dari tujuh poin impian Jokowi itu, tidak ada
kata ”maritim”. Padahal, secara masif dikampanyekan oleh Jokowi bahwa
Indonesia menjadi poros maritim dunia. Buktinya, enam kata terakhir dari poin
pertama Nawacita berbunyi ”... memperkuat jati diri sebagai negara maritim.”
Tiadanya kata ’’maritim” dalam impian Jokowi sangat disayangkan karena tidak
sesuai dengan semangat dasar yang ingin dibangunnya dan bisa melemahkan
perjuangan memperkuat jati diri negara maritim kita.
Ketiga, soal
demokrasi. Dari tujuh poin itu, juga tidak ada kata ”demokrasi” sama sekali.
Yang mendekati kata itu pun, seperti kerakyatan, partisipasi rakyat,
perwakilan rakyat, musyawarah, juga tidak ada. Mestinya kata ”demokrasi” atau
padanannya masuk di poin kedua. Hal itu penting karena sejak 1998 kita sudah
memilih demokrasi sebagai alternatif pengelolaan bernegara kita. Bahwa di
sana-sini masih ada kelemahan dalam pelaksanaan, itu bisa dipahami dan harus
diperbaiki. Dengan itu pun, kita kini dihargai dan jadi model bagi komunitas
internasional sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah India
dan AS. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar