Gojek,
Nyaris Tragedi
Rhenald Kasali ; Pendiri Rumah Perubahan
|
JAWA
POS, 02 Januari 2016
Masyarakat Hindu
mengenal tiga dewa utama, yakni Brahma, Wisnu dan Siwa. Brahma adalah dewa
pencipta, sementara Wisnu berperan sebagai pemelihara, dan Siwa menjadi dewa
penghancur.
Jangan pandang mereka
secara terpisah-pisah. Ketiganya adalah satu siklus. Tanpa adanya Siwa,
Brahma tak akan mampu mencipta.
Begitu pula Wisnu tak
bisa memelihara jika tidak ada yang tercipta. Ciptaan pada masanya bakal
usang, sehingga harus dihancurkan.
Jika tidak, dunia kita
tak akan pernah maju dan berkembang.
Demikianlah hukum alam
yang berkembang, berubah dan ada yang tertinggal, hancur tergantikan, lalu
ada yang memelihara pada fase berikutnya. Demikian pulalah bisnis, siklus seperti ini pun terjadi.
Saya menyebutnya
sebagai penghancuran (baca, perubahan) kreatif, atau creative disruption. Maksudnya, setiap ciptaan lama yang
dihancurkan akan digantikan oleh ciptaan-ciptaan baru yang lebih baik.
Ponsel, misalnya, dulu
hanya bisa untuk bercakap-cakap dan berkirim pesan pendek (SMS). Lalu, hadir
ponsel baru yang kita sebut smartphone. Fungsinya? Silakan, Anda saja yang
menyebut.
SMS? Berapa banyak di
antara Anda yang masih pakai pesan pendek berbayar ini? Kini Ia digantikan
WhatApps yang multifungsi—bisa untuk kirim gambar, video dan bicara—dan
gratisan pula.
Simbol Perubahan
Maka saya jadi bingung
saat mendengar teman-teman saya dari Kemenhub yang kemarin mengatakan Gojek
beserta segala usaha transportasi berbasiskan aplikasi internet dilarang.
Ini bahkan nyaris
menjadi sebuah tragedi yang memilukan. Dalam hati saya langsung membatin, ini
pasti akan heboh.
Dan pemerintah akan
menghadapi masalah berat. Sebab bagi saya, Gojek beserta pelaku usaha sejenis
lainnya adalah bagian dari proses alam memperbaiki kehidupan.
Dalam proses itulah
maka wajar bila teman-teman di Organda akan menjadi korban. Wajar, karena
model business mereka memang menghadapi cobaan berat.
Alih-alih merevolusi business model, mereka malah melobi
agar Gojek dkk dilarang. Ini tentu akan berat bagi pemerintah bila masih
memakai cara lama, menjalankan aturan tanpa melihat realitas perubahan.
Bagi saya, GoJek dan
kawan-kawannya bukan sekadar bisnis transportasi roda dua, tetapi ia simbol
perubahan. Apa saja creative disruption
GoJek?
Pertama, tentu soal
regulasi tadi. Merujuk UU No. 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Raya, Menteri Perhubungan mengeluarkan edaran yang melarang penggunaan
kendaraan roda dua untuk angkutan publik. Kendaraan angkutan publik minimal
harus beroda tiga.
Kalau aturan itu
diberlakukan, praktis bisnis GoJek dan kawan-kawannya bakal gulung tikar.
Mereka tidak bisa lagi beroperasi. Maka, tak heran jika muncul suara-suara
menolak surat edaran tersebut di berbagai media sosial. Beruntung presiden
kita tidak tuli.
GoJek sebenarnya hadir
sebagai jawaban atas ketidakmampuan pemerintah selama berthaun-tahun untuk menyediakan transportasi publik yang
layak, memadai dan terjangkau.
Kalau itu semua
tersedia, mungkin GoJek tak bakal hadir. Anda yang pernah ke Singapura, atau
di negara-negara yang angkutan publiknya baik, adakah ojek di sana?
Lalu, di mana creative disruption-nya dengan adanya
kasus ini? Begini, dulu kita setengah mati dipaksa mengikuti segala UU atau
regulasi lainnya yang sebetulnya tidak sesuai dengan kebutuhan kita.
Pokoknya kalau sudah
ada aturan, celakalah kita yang mau melakukan breaktrough. Lihat saja kasus Freeport dan Pelindo 2. Bolak-balik
politisi dan penguasa memaksakan aturan meski realitas lapangan (dan bahkan
dunia, dan kondisi ekonomi) berkata lain. Kalau kita mencoba
memperjuangkannya, kita dianggap penjahat.
Lihat juga penerapan
UU Minerba yang membuat sulit penambang batu yang hanya punya satu dua hektar
tapi tak punya uang buat mengurus Ijin Usaha Pertambangan karena skala
usahanya terlalu kecil untuk membuat feasibility study.
Nah, dengan adanya
kasus GoJek vs surat edaran Menteri Perhubungan, saya melihat ada perubahan
sikap pemerintah, yakni membalik
semangat penerbitan peraturan atau UU dengan emnjadi lebih melayani kebutuhan
masyarakatnya.
Juga, kalau dulu
mengubah atau mencabut peraturan itu susahnya setengah mati. Berkat kasus
GoJek, kita sama-sama bisa melihat bahwa mengubah peraturan itu sebetulnya
mudah saja. Asal mau. Cukup dalam hitungan jam.
Kedua, kasus GoJek
juga membuat masyarakat kita jadi lebih berani bersuara. Mereka berani
menyuarakan pendapatnya di mana-mana. Lewat media sosial atau surat pembaca.
Dan, didengar.
Cara seperti ini, saya
yakin akan lebih murah dan tidak merepotkan ketimbang unjuk rasa. Dan yang
lebih penting, aturan konyol itu tidak lagi dijadikan alat pemerasan oleh
birokrasi dan aparat penegak hukum pada kita, pengusaha dan pencari nafkah.
Mengoreksi Inefisiensi
GoJek juga menciptakan
perubahan-perubahan di masyarakat. Saya menyaksikan potretnya. Begitu
mengharukan.
Kalau Anda tertarik
untuk tahu, cobalah masuk ke gang-gang sempit bak labirin di Jakarta, Jogja,
Bandung, Surabaya atau Makassar. Gang
yang hanya bisa dilalui sepeda motor. Di sana Anda bakal terharu menyaksikan
anak-anak kecil menikmati beberapa slice roti manis dan lembut yang dibawa
ayahnya.
Sang ayah adalah
pengemudi GoJek. Ia dulunya pengemudi ojek pangkalan, tapi kesulitan mencari
penumpang. Penghasilannya tidak menentu dan waktunya habis untuk menunggu
penumpang.
GoJek mengubah
nasibnya. Order berdatangan via smartphone. Ia tak perlu lagi nongkrong di
pangkalan. Cukup menunggu pesanan di rumah, dan sebagian waktunya bisa ia
habiskan untuk membantu anak mengerjakan PR.
Penghasilan sang ayah
meningkat, dan menjadi lebih pasti. Bahkan kadang bisa lebih besar dari UMP
atau Upah Minimum Provinsi.
Itu sebabnya dia bisa
membelikan anaknya roti manis dan lembut tadi. Mungkin sebentar lagi rumah
bersubsidi yang sedang diupayakan pemerintah karena mereka punya slip gaji.
Gojek juga
membangkitkan solidaritas masyarakat kecil—sesuatu yang terasa hilang
belakangan ini. Lihatlah konvoi mereka ketika mengantarkan jenazah Gunawan,
pengemudi GoJek yang tewas ditabrak Kopaja.
Ini agak mirip dengan
solidaritas sopir Blue Bird yang mengantar jenazah alm Saljono yang tewas
ditusuk perampok sekitar 30 tahun lalu. Belum lagi saling menitipkan anak
ketika mereka mendengar ada pengojek ibu-ibu yang tak punya rumah. Wah
kisahnya, mengharu-birukan mata batin kita.
Baiklah, sekarang saya
ajak Anda melihat perubahan dari perspektif bisnis. Saya selalu percaya,
kalau ada kompetitor baru yang masuk ke pasar, pasti di situ ada
inefisiensi—yang selama ini mungkin kita tidak ketahui. Dan, selama ini itu
pula kita harus menanggung bebannya.
Hadirnya GoJek
menciptakan apa yang kita sebut sebagai disruption dari inefisiensi tersebut,
tetapi secara kreatif. Disruption adalah perubahan yang diakibatkan trend
lama terputus. Terjadi trend break.
Contohnya, GoJek
membongkar bisnis ojek pangkalan yang tidak efisien (karena pengojeknya lebih
banyak menganggur) dan kadang menetapkan tarif monopolistik (sebagai
kompensasi atas waktu yang ia buang begitu saja).
GoJek juga sudah mulai
mengganggu bisnis kurir. Kalau kita memakai jasa kurir, barang baru dikirim
setelah volumenya mencapai jumlah tertentu. GoJek mengoreksi bisnis itu.
Karyawan saya, di
Rumah Perubahan, kalau mengirim satu atau dua jenis barang, mereka pilih
memakai GoJek ketimbang jasa kurir. Lebih murah, dan lebih cepat sampai.
Demikian pula kalau
saya tak diajak makan klien, saya terpaksa menelpon gojek dan minta dibelikan
makanan untuk diantar sampai ke tempat tertentu yang akan dilewati mobil saya.
Bukankah begitu
semestinya creative disruption di masyarakat kita. Ciptaan baru selayaknya
lebih baik ketimbang ciptaan lama.
Jadi kita berdamai
saja dan pemerintah pusat maupun daerah agar lebih "mendengarkan",
lebih bijak dalam membaca tanda-tanda zaman. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar