Jumat, 01 Januari 2016

Dana Ketahanan Energi

Dana Ketahanan Energi

  Dinna Wisnu  ;  Pengamat Hubungan Internasional;
Co-founder & Director Paramadina Graduate School of Diplomacy
                                                KORAN SINDO, 30 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pemerintah telah menetapkan bahwa pada bulan Januari 2016 akan ada penurunan harga bensin premium menjadi Rp7.150/liter dan solar Rp5.950/liter walaupun harga keekonomiannya menurut Menteri ESDM adalah Rp6.950 untuk premium dan Rp5.650/liter untuk solar.

Harga menjadi naik dari keekonomian karena pemerintah memungut dana ketahanan energi sebesar Rp200/liter untuk premium dan Rp300/liter untuk solar. Dana pungutan ini yang kemudian menjadi kontroversi. Pemerintah menggunakan dasar hukum UU No 30 Tahun 2007 tentang Energi yang mengatur tidak hanya soal hubungan antara sumber daya alam, infrastruktur energi, konsumsi, tetapi juga mengatur perihal kelestarian lingkungan.

Dengan kata lain energi tidak hanya bicara soal akses lebih murah, tetapi juga ketahanannya di masa depan. Dana itu yang dipakai untuk mendorong eksplorasi agar depletion rate atau tingkat pengurasan cadangan energi (yang berasal dari sumur minyak dan sumber lain yang tidak terbarukan) dapat ditekan. Hal itu juga telah diatur di dalam Peraturan Pemerintah No 79 Tahun 2014.

Pemerintah pun berencana menggunakan dana tersebut untuk menyubsidi harga listrik yang saat ini belum kompetitif karena harga produksi khususnya dari sumber-sumber energi terbarukan belum murah bila dibandingkan dengan sumber yang berasal dari energi fosil. Beberapa pihak menyatakan sebaliknya. Undang-undang tersebut dianggap tidak memberikan wewenang apa pun kepada pemerintah untuk menarik pungutan atas konsumsi BBM.

Seandainya ada pungutan, hal itu harus dilakukan melalui peraturan pemerintah yang saat ini dianggap belum ada oleh sebagian pengamat. Pungutan itu juga dianggap lebih tepat diberlakukan pada perusahaan-perusahaan yang bekerja sebagai kontraktor sebagai kompensasi kerusakan alam akibat eksplorasi energi yang mereka lakukan.

Kritik juga menyasar soal transparansi dari lembaga dan penggunaan dana yang terkumpul apakah akan betul-betul digunakan untuk eksplorasi dan penelitian menemukan energi baru atau tidak. Sebagian kritik menilai waktunya tidak tepat untuk menarik beban pungutan di saat perekonomian sedang melamban. Kritik-kritik terhadap dana ketahanan energi harus dipandang sebagai umpan balik atas kebijakan pungutan dana ketahanan energi itu yang dilakukan pemerintah.

Kritik tersebut secara mendasar mengindikasikan bahwa kelestarian lingkungan atau lebih tepatnya saat ini pembangunan yang berkelanjutan belum menjadi kesadaran bersama tidak hanya masyarakat umum, tetapi juga tokoh politik atau tokoh masyarakat.

Artikel saya beberapa bulan lalu mengenai dinamika politik internasional yang terpengaruh oleh teknologi baru eksplorasi minyak serpih (shale oil) telah mengangkat dilema antara ketahanan energi dan kelestarian lingkungan, khususnya untuk negara dunia ketiga.

Harga minyak dunia yang terus-menerus turun hingga berada di bawah ongkos produksinya telah menguntungkan para konsumen karena dapat menikmati harga bahan bakar yang lebih murah. Saya bisa membayangkan bahwa stasiun pengisian bahan bakar umum mungkin akan kembali penuh di bulan Januari seperti sebelum kenaikan harga bahan bakar tahun lalu.

Dari sisi APBN, turunnya harga bahan bakar juga menguntungkan karena terjadi pada saat nilai mata uang kita melemah sehingga kita tidak terlalu banyak”membakar” dolar untuk memenuhi konsumsi bahan bakar di dalam negeri. Harga bahan bakar yang murah juga dapat menurunkan inflasi yang sebagian besar juga disumbang oleh biaya transportasi.

Namun, di sisi lain, lingkungan menjadi terancam karena bahan bakar yang murah mendorong konsumsi energi yang tidak terkontrol. Semakin banyak bahan bakar yang dikonsumsi, semakin tinggi juga potensi pencemaran lingkungan.

Di tingkat internasional, negara-negara yang mengandalkan pemasukannya dari menjual bahan bakar energi fosil seperti Arab Saudi, Iran atau Venezuela harus menggali lebih dalam dan menyedot lebih banyak minyak di sumur mereka agar volume minyak mereka bisa lebih banyak dari biasanya agar tertutup kerugian akibat harga minyak dunia yang turun.

Konsumsi bahan bakar fosil yang besar secara potensial juga akan memengaruhi perubahan iklim dengan semakin banyak emisi karbon yang dihasilkan dari pembakaran. Harga kerusakan lingkungan ini yang secara filosofis dibebankan kepada konsumen bahan bakar fosil yang menggunakan premium dan solar. Mengapa konsumen perlu dibebankan atas harga potensi kerusakan lingkungan itu tidak lain karena bertujuan untuk mengontrol konsumsi bahan bakar fosil.

Kita ingat pada saat harga bahan bakar mahal, seluruh rumah tangga di Indonesia melakukan serangkaian efisiensi mulai dari mengandangkan mobil mereka di garasi hingga pengurangan konsumsi listrik di dalam rumah. Harga minyak yang tinggi juga menjadi faktor timbulnya industri transportasi berbasis aplikasi teknologi sepertiGo- Jek, Grab-Bike, BluJek, Get Jek, Ojek SyarI , Pro Jak, Lady-Jek.

Industri tersebut tumbuh karena kelas menengah bawah yang biasanya menggunakan kendaraan roda empat tidak sanggup lagi membeli harga bahan bakar yang tinggi. Harga minyak dunia yang tinggi juga membuka pasar energi terbarukan seperti biofuel dari minyak kelapa sawit. Saat ini, retribusi minyak kelapa sawit yang terkumpul di CPO Fund digunakan sebagian untuk menyubsidi energi biofuel sebesar Rp2.600/liter agar konsumen tertarik membeli biodiesel.

Selain menyerap CPO yang diproduksi di dalam negeri, kebijakan biodiesel juga membuat harga minyak kelapa sawit stabil di pasar dunia. Fakta-fakta tersebut memberikan gambaran bahwa secara umum energi yang berasal dari fosil seperti minyak bumi atau batu bara yang berpotensi merusak lingkungan masih lebih murah daripada energi terbarukan atau energi yang ramah lingkungan seperti energi panas bumi (geothermal), sinar matahari (solar fuel ) atau minyak nabati (biofuel).

Semakin murah harga minyak bumi, semakin besar pula potensi kerusakan dan perubahan iklim yang terjadi di masa depan, padahal mengandalkan sepenuhnya energi terbarukan juga tidak masuk akal karena harganya terbilang mahal. Saya pikir memang tidak akan ada jalan keluar yang membuat nyaman semua pihak saat ini dalam mengarahkan politik energi kita di masa depan.

Ini bukan hanya masalah yang terjadi di Indonesia, tetapi juga di banyak negara. Kita dapat melihat kembali bagaimana suhu Konferensi Perubahan Iklim di Prancis bulan lalu menjadi panas dan terancam gagal karena sulitnya menemukan konsensus bersama menurunkan suhu bumi antara menentukan 1,5 derajat atau 2 derajat.

Menjadi sulit karena setiap komitmen menurunkan derajat suhu temperatur dunia artinya adalah mengurangi tingkat polusi yang berasal dari operasionalisasi pembangkit listrik, kendaraan bermotor, pabrik- pabrik, transportasi, dan industri lainnya. Apabila industri itu melamban, kesejahteraan masyarakat juga menurun. Namun, di sisi lain, kita melihat di masa depan, penggunaan energi terbarukan menjadi pilihan yang tidak bisa dielakkan.

Apabila kita terus-menerus mencemari lingkungan, kerusakannya akan semakin parah dan biayanya baik ekonomi atau politik juga semakin besar. Kompetisi untuk menghasilkan teknologi yang ramah lingkungan akan menjadi wilayah kompetisi baru. Negara yang dapat menguasai dan memproduksi teknologi tersebut mulai dari perangkat rumah tangga hingga pembangkit energi akan lebih dominan dalam percaturan politik internasional.

Kita juga melihat secara positif bahwa masyarakat Indonesia juga semakin resilient (lentur) terhadap krisis. Harga bahan bakar yang tinggi telah mendorong efisiensi dan inovasi dari berbagai pihak mulai dari pemerintah daerah hingga UMKM dalam mendorong terciptanya lapangan pekerjaan yang baru.

Saya membayangkan apabila kebijakan untuk ketahanan energi dan kelestarian lingkungan ini menjadi paradigma pembangunan nasional yang konsisten ke depan, para pelaku bisnis dan masyarakat bisa mulai berani mengambil langkah-langkah inovasi atau terobosan yang lebih maju dan radikal untuk berinvestasi.

Apabila kita lakukan itu mulai saat ini, kita mungkin akan jauh lebih siap menghadapi kompetisi di pasar teknologi terbarukan di masa depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar