Minggu, 17 Januari 2016

Bom Bunuh Diri sebagai Media

Bom Bunuh Diri sebagai Media

Tb Ronny Rachman Nitibaskara  ;   Guru Besar Kriminologi Pascasarjana UI; Ketua Program Kajian Strategis Ketahanan Nasional UI;
Penasihat Ahli Kepala Polri Bidang Hukum dan Kriminologi
                                                       KOMPAS, 16 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Hari Kamis, 14 Januari 2016, beberapa ledakan bom di sekitar Jalan MH Thamrin, Jakarta, menyentak banyak pihak.  Dalam pantauan beberapa media, ledakan tersebut terjadi di depan pos polisi serta di halaman dan di dalam kedai kopi terkenal. Rentetan peristiwa ledakan tersebut diselingi baku tembak antara pelaku dan polisi di sekitar lokasi.

Peristiwa serangan itu sontak mengingatkan kita pada peristiwa Paris, 13 November 2015 silam, yang mengakibatkan tewasnya lebih kurang 129 jiwa di beberapa tempat, seperti bar La Belle Equipe, bar Le Carillon, restoran Le Petit Cambodge, restoran La Casa Nostra, stadion nasional Stade de France, serta gedung konser Bataclan, dengan metode menembaki warga membabi buta dan diakhiri dengan bom bunuh diri sebagian pelaku.

Salah satu kemiripan keduanya yang patut menjadi perhatian bersama adalah aksi teror dilakukan dalam waktu berdekatan di lokasi yang berbeda. Kendati dalam rilis resminya pihak berwenang menyatakan lima pelaku telah tewas, hingga kini pihak kepolisian, TNI, dan segenap aparat lain tetap melakukan penyelidikan intensif atas kejadian tersebut.

Motif pelaku

Sebagaimana diketahui, motif pelaku dan senjata yang digunakan dalam terorisme sangat beragam. Terorisme itu sendiri, menurut Kadis (1983), mengandung arti ancaman atau penggunaan kekerasan untuk tujuan-tujuan politik oleh perorangan atau kelompok, di mana tindakan itu menentang kekuasaan pemerintah ditujukan untuk menimbulkan korban dengan segera. Motif terorisme biasanya tidak jauh dari motif politik, motif ekonomi, motif salvation, motif balas dendam, dan kegilaan. Akan tetapi, kebanyakan motif aksi terorisme dilandasi: (1) motif politik, umumnya dilakukan kelompok-kelompok organisasi yang melakukan perlawanan terhadap negara/ pemerintahan tertentu; (2) motif balas dendam, biasanya dilakukan individual, kelompok-kelompok kecil terorganisasi, dan organisasi kejahatan; dan (3) motif agama/motif perang suci (bellum iustum).

Pelaku terorisme itu sendiri terbagi ke dalam lima golongan: (1) gerakan separatisme; (2) pembela ideologi tertentu; (3) dissident, yakni pihak-pihak yang melakukan teror untuk memperlemah posisi pemerintah atau menggulingkannya; (4) penganut fanatik kepercayaan/sekte tertentu; dan (5) psikopat yang melakukan aksi teror untuk motif-motif kegilaan (madness). Umumnya kebanyakan pelaku menjadikan bangunan yang menyimbolkan pihak yang dianggap lawan sebagai sasaran. Teroris yang menjadikan AS sebagai musuh tentu akan menyerang tempat-tempat yang menunjukkan eksistensi AS, di mana saja, di setiap negara, selama di negara yang dijadikan ajang peperangan itu sendiri terdapat bangunan yang menyimbolkan kepentingan atau kekuasaan AS, termasuk di Indonesia.

Hal ini berhubungan dengan teori yang pernah saya utarakan di masa silam, yaitu extended territory, bahwa telah terjadi perluasan wilayah perang di seluruh dunia berdasarkan kepentingan lawan. Sementara itu, memanfaatkan bom bunuh diri sebagai ”senjata” sangatlah sesuai dengan tujuan persenjataan dalam terorisme, yaitu dapat mendatangkan keterkejutan seketika (unsur dadakan), memiliki daya rusak (unsur penghancur atau demolisi), dan berpotensi menebar rasa takut di tengah masyarakat (unsur rage of terror). Maka, tidak mengherankan, pelaku dengan keanekaragaman motif yang ada kerap memanfaatkan metode menggunakan bom bunuh diri untuk menjalankan aksinya.

Bom bunuh diri sebagai media

Melakukan aksi teror dengan menggunakan bom bunuh diri sebagai media tentu bukan dilakukan karena nekat semata, melainkan telah direncanakan dengan penuh perhitungan yang matang. Sebagaimana pernah diutarakan Madsen (2004), kelompok dan pelaku teroris, terutama yang memanfaatkan bom bunuh diri, telah memperhitungkan benefit cost ratio yang ada, melakukan pertimbangan dan analisis cermat berbulan-bulan hingga bertahun-tahun, serta melakukan riset terhadap obyek yang akan dijadikan sasaran. Bahkan, mereka juga melakukan pelatihan sejak dini bagi individu yang kelak akan dijadikan martir untuk meledakkan dirinya sendiri.

Demikian pula yang terjadi di kawasan Jalan MH Thamrin. Pelaku tidak akan secara sembrono melakukan aksi teror, baik berupa penembakan maupun meledakkan dirinya sendiri hingga berkeping-keping tanpa alasan tertentu. Semua telah melalui perencanaan yang teramat rinci dan mendetail. Salah satu orang penting Al Qaeda di masa silam, Dr Ayman al-Zawahiri, pernah mengutarakan, operasi dengan metode bom bunuh diri merupakan cara paling ampuh dan sukses untuk menghasilkan korban yang besar di kalangan musuh dan korban kecil di kalangan mujahidin. Cara itu kerap dilakukan mengingat telah terjadi perluasan wilayah perang di seluruh dunia berdasarkan kepentingan lawan.

Masih dalam kaitan dengan teori tersebut, apabila peristiwa peledakan bom terjadi di lokasi yang tidak hanya menyimbolkan suatu negara asing semata, tetapi juga kepentingan bangsa sendiri, hal tersebut patut menjadi perhatian serius. Kejadian peledakan di kedai kopi yang menyimbolkan AS serta pos polisi yang melambangkan Polri selaku aparat keamanan menunjukkan bahwa pelaku, selain menjadikan AS sebagai musuhnya, juga telah menjadikan Indonesia sebagai sasarannya. Fakta ini dikhawatirkan akan menjadikan beberapa aset yang menyimbolkan negara Republik Indonesia di mancanegara sebagai sasaran.

Efek teror

Kepala Divisi Humas Polri Anton Charliyan pernah mengatakan, sebelum ledakan di Jalan MH Thamrin terjadi, ada peringatan yang disampaikan kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah. Oleh karena itu, tidak tertutup kemungkinan mereka berada di belakang tragedi tersebut. Jika demikian kenyataannya, motif yang patut diduga melatarbelakangi adalah motif politik dan agama. Semua itu akan menunjukkan bahwa pelaku termasuk dalam golongan kedua, yaitu pembela ideologi tertentu.

Sebaliknya, apabila dugaan meleset, keyakinan akan motif dan pelaku menjadi luntur dengan sendirinya. Dan ini akan menjadi pekerjaan rumah yang mahapenting bagi setiap aparat dan kita semua. Sebagaimana diketahui, efek dari teror yang dadakan dan memiliki daya rusak di kawasan Jalan MH Thamrin telah sukses menebar rasa takut dalam masyarakat. Perasaan panik tersebut ditambah lagi dengan tayangan dan pemberitaan stasiun televisi dan radio yang menampilkan visualisasi mayat korban tanpa sensor serta menginformasikan ledakan juga terjadi di beberapa tempat lain, padahal tidak.

Apabila hal itu dikaitkan dengan bisnis dan target iklan, sebagaimana pernah disebutkan Chermak (1995) bahwa peristiwa yang disajikan harus bertambah unik, seram, dan ganas, secara tidak langsung pihak media itu turut membantu teroris untuk menciptakan keadaan mencekam dan rasa takut di masyarakat. Selain itu, derasnya informasi di berbagai media sosial turut menyumbang ketakutan dalam masyarakat (fear of crime).

Kendati mereka akhirnya meminta maaf setelah mendapat teguran dari Komisi Penyiaran Indonesia karena dinilai melanggar prinsip-prinsip jurnalistik dan menyiarkan berita yang tidak layak tayang, hasil dari tindakan tersebut telanjur memberikan efek yang memang diinginkan pelaku. Kenyataan ini sekali lagi mengingatkan setiap pihak bahwa pemberantasan terorisme hingga ke akar-akarnya mutlak dilakukan setiap saat secara menyeluruh dan berkesinambungan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar