Trilogi
Ristek-Dikti-Industri
Sudaryono ; Guru
Besar FT-UGM
|
KOMPAS,
06 November 2014
KETIKA riset dan teknologi serta pendidikan tinggi disatupadukan
dalam suatu lembaga tunggal, akan ada dua kemungkinan besar yang dapat
terjadi.
Kemungkinan pertama adalah riset dan teknologi (ristek) akan
menjadi ujung tombak penyelenggaraan pendidikan tinggi sehingga ristek akan
menjadi pemandu ke depan arah dan warna pendidikan tinggi.
Kemungkinan kedua adalah premis-premis besar yang selama ini
telah dibangun dan dihasilkan oleh pendidikan tinggi dituntut memiliki
implikasi verifikatif dan inovatif sehingga ristek menjadi jalan bagi
pendaratan empiris pikiran-pikiran besar keilmuan pendidikan tinggi.
Paradigma induktif
Kemungkinan yang pertama akan membawa implikasi pada perubahan
struktur kurikulum atau paling tidak pada silabi penyelenggaraan pendidikan
tinggi yang akan memberikan porsi lebih besar beban satuan kredit semester
(SKS) riset bagi proses pembelajaran di perguruan tinggi daripada porsi untuk
beban SKS teori. Paradigma dari penyelenggaraan perguruan tinggi untuk
kemungkinan pertama ini layak disebut sebagai ”paradigma induktif”, artinya
mahasiswa diajak membangun ilmu-ilmu induktif melalui proses kerja riset.
Pendek kata, paradigma ini mengajak dan membawa mahasiswa untuk
”berani membangun pikirannya sendiri melalui riset” atau ”berani membangun
personal view melalui riset”. Paradigma ini diharapkan akan melahirkan
manusia-manusia Indonesia yang ”percaya diri”, ”bermental penemu sekaligus
pemandu”, dan ”memiliki kapasitas mempelita” mirip dengan kualitas
manusia-manusia hasil karya abad renaisans di Eropa.
Paradigma ini akan membawa perguruan tinggi bersetubuh dengan
realitas empiris di lapangan dan akan membangkitkan kembali tema-tema besar
kedaulatan bangsa dan negara yang selama ini telah terabaikan, termasuk tema
besar kemaritiman, pangan, kesehatan, kemanusiaan, teknologi, serta energi.
Paradigma deduktif
Kemungkinan kedua yang bisa terjadi adalah penggabungan ini akan
membawa implikasi pada ”penguatan”, ”peneguhan”, dan ”penegasan” tentang apa
yang selama ini sudah berjalan dengan mapan dalam penyelenggaraan pendidikan
tinggi di Indonesia. Riset atau ”penelitian” telah ditetapkan menjadi digit
kedua di dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi. Digit kesatu diduduki oleh
”pendidikan dan pengajaran” dan digit ketiga diisi oleh ”pengabdian kepada
masyarakat”.
Penyelenggaraan riset dalam praktik pendidikan tinggi di
Indonesia telah berhasil membawa perguruan-perguruan tinggi membangun
jaringan dan jalinan riset internasional, sehingga peneliti-peneliti di
perguruan tinggi Indonesia telah terintegrasi dengan baik dengan
sejawat-sejawat keilmuan di seluruh dunia. Ketika tema-tema besar penelitian
di dunia berubah, dengan cepat peneliti-peneliti perguruan tinggi di
Indonesia menyesuaikan dan meneguhkannya.
Paradigma penyelenggaraan perguruan tinggi seperti ini
barangkali bisa disebut sebagai ”paradigma deduktif”, artinya kerja riset di
perguruan tinggi mengarah pada ”pembuktian”, ”verifikasi”, dan ”peneguhan”
premis-premis besar dunia melalui riset dan kasus-kasus yang ada di
Indonesia. Paradigma ini telah memosisikan perguruan tinggi di Indonesia
menjadi bagian penting dari tema-tema besar jaringan keilmuan dunia. Namun,
sayangnya tema- tema besar dan sangat konkret yang dihadapi bangsa dan negara
Indonesia menjadi ”agak terabaikan”.
Paradigma tengah
Di luar dari kedua kemungkinan di atas, ada kemungkinan ketiga
yang ”bisa terjadi”, yakni kemungkinan Indonesia berani membuat ”Piramida
Bidang Keilmuan” dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi. Artinya, bidang-bidang
ilmu yang sudah terlalu kegemukan lulusannya, sehingga menimbulkan
pengangguran samar, perlu dirampingkan sesuai dengan kebutuhan nyata di
lapangan (sebagai catatan tebal bahwa perampingan bukan diartikan penghapusan
bidang ilmu, karena tugas utama perguruan tinggi adalah pemelihara dan
pengembang ilmu; perampingan yang dimaksud adalah perampingan jumlah
mahasiswa yang diterima dan lulusan yang dihasilkan).
Di sisi lain, untuk bidang-bidang ilmu yang terkait dengan
tema-tema besar yang dihadapi bangsa, jumlah lulusan yang dihasilkan perlu
digemukkan disesuaikan dengan kebutuhan nyata di lapangan. Paradigma untuk
kemungkinan ketiga ini sementara kita sebut sebagai ”paradigma tengah” atau
tepatnya ”paradigma pragmatis”. Di dalam paradigma ini unsur ketiga, yakni
industri, perlu diikatkan dalam penggabungan ristek dan dikti. Hal ini mirip
yang terjadi di Jepang saat Restorasi Meiji pada tahun 1870, Korea pada 1971,
dan Taiwan pada 1978. Trilogi yang terdiri dari ristek-dikti-industri telah
mengubah ketiga negara tersebut menjadi negara industri yang sangat disegani.
Dalam konteks Indonesia, industri-industri seperti PT Dirgantara
Indonesia, PT Pindad, PT PAL Indonesia, PT INKA, PT Perkebunan, PT Biofarma,
Lembaga Eijkman, serta lembaga dan PT industri lainnya perlu disatupadukan
dengan ristek dan dikti dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia.
Dengan demikian, industri bukan sebagai ruang praktikum saja, melainkan
menjadi muara akhir karya ristek dan dikti.
Artinya, industri-industri tersebut akan menjadi busur lepas
bagi karya-karya mahasiswa, dosen, dan peneliti ke tengah-tengah pasar
industri Indonesia maupun dunia (lihat pidato dies UGM, Desember 2013).
Dengan demikian, konsep dan kriteria perekrutan dosen akan berubah sehingga
dimungkinkan praktisi dapat menjadi dosen di perguruan tinggi ketika mereka
memiliki kapasitas membawa riset dan dikti ke tataran praksis berupa
produk-produk industri. Melalui trilogi tersebut, Indonesia dibangkitkan
menjadi negara ”swa-industri” dan bukannya negara ”pasar industri” bagi
produk-produk negara lain.
Dalam paradigma pragmatis atau paradigma tengah ini
dinding-dinding perguruan tinggi diruntuhkan sehingga mahasiswa dapat berlari
kencang di udara bebas keilmuan. Demikian juga dinding-dinding perseroan industri
juga harus dirobohkan untuk dimasuki mahasiswa-mahasiswa yang belajar
sekaligus berkarya sehingga tidak ada dikotomi atau separasi antara perguruan
tinggi dan lembaga-lembaga industri di luar perguruan tinggi (khususnya
industri yang tergabung dalam badan usaha milik negara).
Dalam paradigma ketiga ini, pengertian-konsep-definisi tentang
kampus diperluas sampai menyusup ke lembaga-lembaga yang terkait dan berada
di luar perguruan tinggi, sehingga Tri Dharma Perguruan Tinggi diubah
urutannya menjadi: (1) Pengabdian kepada Masyarakat, melalui (2) Penelitian
dan Pengembangan, dan (3) Pendidikan dan Pengajaran.
Tipologi pendidikan tinggi
Kemungkinan keempat yang dapat terjadi adalah apabila
keseluruhan kemungkinan tersebut terjadi. Artinya, kemungkinan satu, dua, dan
tiga menjadi kenyataan praktik penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia
sehingga penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia memiliki tiga
tipologi.
Tipologi pertama adalah kelompok perguruan tinggi yang
meletakkan riset sebagai tulang punggung sekaligus ujung tombak
penyelenggaraan kegiatan pendidikan sehingga struktur dan substansi
kurikulumnya memberikan porsi besar kepada kegiatan riset. Untuk itu
nomenklatur mata kuliah baru yang berbasis riset perlu menjadi pekerjaan rumah nasional
untuk dirumuskan melalui forum konsorsium-konsorsium bidang ilmu. Urutan Tri
Dharma Perguruan Tinggi menjadi: (1) Penelitian dan Pengembangan, (2)
Pendidikan dan Pengajaran, serta (3) Pengabdian kepada Masyarakat.
Tipologi kedua adalah kelompok perguruan tinggi yang meletakkan
pendidikan dan pengajaran sebagai kegiatan utama yang didukung riset dan
pengabdian masyarakat. Kelompok perguruan tinggi ini adalah kelompok yang
saat ini kita sudah menjalankan kegiatan pendidikan dan pengajaran dengan mapan
sejak awal Republik ini berdiri sampai saat di bawah payung institusi
Kemdiknas dan Kemdikbud. Urutan Tri Dharma Perguruan Tinggi yang baku adalah:
(1) Pendidikan dan Pengajaran, (2) Penelitian dan Pengembangan, serta (3)
Pengabdian kepada Masyarakat.
Tipologi ketiga adalah kelompok perguruan tinggi yang
mengembangkan diri menjadi perguruan tinggi yang berorientasi pada industri,
sehingga kegiatan pendidikan dan penelitian yang diselenggarakan didesain
untuk berujung pada karya-karya industri yang secara nyata dilakukan oleh
perseroan-perseroan BUMN seperti disebutkan di atas. Urutan Tri Dharma
Perguruan Tinggi menjadi: (1) Pengabdian kepada Masyarakat, (2) Penelitian
dan Pengembangan, serta (3) Pendidikan dan Pengajaran.
Ketiga tipologi dapat menjadi tipologi perguruan tinggi nasional
dengan tugas khusus yang diberikan oleh negara kepada kelompok-kelompok
perguruan tinggi tertentu, atau dapat menjadi tipologi internal di dalam
perguruan tinggi dalam bentuk kelompok program studi, jurusan, bagian, atau fakultas.
Tentu hal ini akan membawa implikasi dan penyesuaian pada aspek teknis dan
prosedural penyelenggaraan pendidikan tinggi, termasuk persyaratan dan
ketentuan angka kredit kenaikan pangkat dan jabatan dosen.
Keuntungan dari berjalannya seluruh tipologi di atas dalam
praktik pendidikan tinggi di Indonesia adalah: (1) perkembangan dan
pengembangan ilmu yang sampai saat ini sudah berjalan dapat dipelihara, (2)
agenda-agenda serta jaringan-jaringan riset yang sudah berkembang sampai saat
ini tetap dapat dipelihara dan dikembangkan, dan (3) perubahan ke arah
Indonesia menjadi negara ”swasembada
industri” dan ”swadaya industri” melalui perubahan penyelenggaraan dan format
baru kelembagaan pendidikan tinggi dapat direalisasikan.
Dengan demikian, perubahan bukan sekadar hanya perubahan
”label”, melainkan perubahan ke arah mana Indonesia ini akan menuju melalui
pendidikan tingginya. Selamat pagi Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar