Tionghoa
atau Bukan, Tak Masalah
Agus Dermawan T ; Pengamat Budaya dan Seni
|
KORAN
TEMPO, 18 November 2014
Lihat dan bandingkan artikel opini Koran Tempo (08 dan 18 Nov
2014) pada tautan berikut :
Dalam
rubrik Pendapat Koran Tempo edisi Rabu, 5 November lalu, termuat artikel Tom
Saptaatmaja, berjudul "Etnis Tionghoa dan Kabinet". Tulisan tersebut
mengurai keberadaan keturunan etnis Tionghoa dalam kabinet Republik
Indonesia, selama 69 tahun terakhir. Disebutkan, hampir semua kabinet enam
Presiden RI selalu menyertakan menteri dari kalangan etnis Tionghoa. Tom lalu
mempertanyakan (bukan menuntut): mengapa pada kabinet Joko Widodo-Jusuf
Kalla, yang konon antidiskriminasi itu, nama-nama menteri beretnis Tionghoa
justru tidak ada.
Pertanyaan
Tom mungkin bagus, meski untuk masa sekarang terasa sudah kurang relevan.
Lantaran, sejak Reformasi 1998, yang ditandai dengan pencabutan peraturan
diskriminatif Instruksi Presiden Nomor 14/1967, pencarian sosok yang mana
bumiputra dan yang mana Tionghoa (termasuk yang Arab dan India), serta-merta
tidak ada. Suku Tionghoa disepakati membaur menjadi satu: Indonesia. Dan
bukankah sebagian besar warga keturunan etnis Tionghoa sudah memakai nama
khas Indonesia?
Kita
tahu bahwa mantan menteri Tan Po Gwan, Oei Tjoe Tat, dan Kwik Kian Gie itu
Cina karena namanya bersuku kata tiga. Begitu juga bakal Gubernur DKI Jakarta,
Basuki Tjahaya Purnama, lantaran ia biasa dipanggil Ahok. Namun siapa yang
tahu bahwa mantan Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsudin adalah etnis Tionghoa
asal Makassar yang bernama asli Tan Toan Sin? Siapa yang mengira bahwa
politikus dan tokoh Pemuda Pancasila Yorrys Raweyai adalah etnis Tionghoa
kelahiran Papua?
Orang
tahu bahwa mantan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu
sebagai Tionghoa lantaran riwayatnya sebagai putri tokoh nasional Pang Lay
Kim. Namun siapa pun pasti masih menduga-duga bahwa Menteri Perhubungan
Ignatius Yonan serta Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly itu orang Tionghoa.
"Laoly itu dalam kosmologi Cina artinya Ly Tua. Saya pikir, ia bermarga
Lie," begitu pergunjingan berbicara.
Pada
1960-1970-an perhatian remaja Indonesia digerus oleh komik semacam Si Buta
dari Gua Hantu karya Ganes T.H., Fajar di Tengah Kabut karya Zaldy, sampai
Siluman Lembah Neraka karya Floren. Hampir tak ada yang tahu (kecuali kerabat
dekatnya), bahwa para komikus itu adalah warga Tionghoa. Ganes adalah Thio
Thauw San, Zaldy adalah Touw Bun Tiong, dan Floren adalah Tjia Tjeng Han. Di
pojok lain, Teguh Santoso, yang beberapa waktu lalu melukis ulang dan
meluncurkan komik wayang Mahabharata dalam kualitas istimewa, juga orang
Tionghoa.
"Mereka
menyembunyikan Tionghoanya lantaran kala itu komik adalah buku yang dimusuhi
pemerintah. Lagi pula, orang Tionghoa apa bukan, rasanya tidak penting,"
kata Hans Djaladara alias Liem Tjong Han, pencipta komik legendaris Panji
Tengkorak.
Tionghoa atau bukan, atau diduga Tionghoa atau bukan, untuk Indonesia
kontemporer bukan lagi persoalan. Dengan begitu, dalam Kabinet Kerja Joko
Widodo-Jusuf Kalla ada orang Tionghoa atau tidak, sesungguhnya tak perlu jadi
urusan. Itu sebabnya pilihan presiden atas figur-figur yang mewakili daerah
(dari Aceh, Sunda, sampai Papua) untuk duduk dalam kabinet, sah bila
mengundang sejumlah kritik. Karena idealnya, pilih saja orang yang sehat,
kuat, mau bekerja, serta memiliki integritas dan kapabelitas. Sisihkan ihwal
tanda nama, suku, dan asal-muasal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar