Tionghoa
atau Bukan, Tak Masalah
Agus Dermawan T ; Pengamat
Budaya dan Seni
|
KORAN
TEMPO, 08 November 2014
Pada rubrik Pendapat Koran Tempo edisi Rabu (5/11/2014) termuat
artikel Tom Saptaatmaja yang berjudul Etnis
Tionghoa dan Kabinet. Tulisan tersebut mengurai keberadaan keturunan
Tionghoa dalam kabinet Republik Indonesia selama 69 tahun terakhir.
Disebutkan, hampir semua kabinet enam presiden RI menyertakan menteri dari
kalangan Tionghoa. Tom lalu mempertanyakan (bukan menuntut): mengapa pada
kabinet Joko Widodo-Jusuf Kalla yang konon antidiskriminasi itu nama-nama
menteri Tionghoa justru tidak ada?
Pertanyaan Tom mungkin bagus, meski untuk masa sekarang terasa
sudah kurang relevan. Sebab, sejak reformasi 1998, yang ditandai dengan
pencabutan peraturan diskriminatif Instruksi Presiden No.14/1967, pencarian
sosok yang mana bumiputra dan mana yang Tionghoa (termasuk Arab atau India),
serta-merta tidak ada. Suku Tionghoa disepakati membaur menjadi satu:
Indonesia. Dan bukankah sebagian besar warga keturunan Tionghoa sudah memakai
nama khas Indonesia?
Kita tahu bahwa mantan menteri Tan Po Gwan, Oei TjoeTat, dan Kwik
Kian Gie adalah Tionghoa karena namanya bersuku kata tiga. Begitu juga bakal
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama lantaran ia biasa dipanggil Ahok.
Namun siapa yang tahu bahwa mantan Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsudin
adalah Tionghoa asal Makassar bernama asli Tan Toan Sin? Siapa yang mengira
bahwa politikus dan tokoh Pemuda Pancasila Yorrys Raweyai adalah Tionghoa
kelahiran Papua?
Orang tahu mantan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari
Elka Pangestu sebagai Tionghoa lantaran riwayatnya sebagai putri dari tokoh
nasional Pang Lay Kim. Namun siapa pun masih menduga-duga bahwa Menteri
Perhubungan Ignasius Jonan dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly itu orang
Tionghoa. "Laoly itu dalam kosmologi Tionghoa artinya Ly Tua. Saya pikir
ia bermarga Lie," begitu pergunjingan berbicara.
Pada 1960-1970-an, perhatian remaja Indonesia digerus oleh komik
semacam Si Buta dari Gua Hantu karya Ganes TH, Fajar di Tengah Kabut karya
Zaldy, sampai Siluman Lembah Neraka karya Floren. Hampir tak ada yang tahu (kecuali
kerabat dekatnya) bahwa para komikus itu Tionghoa. Ganes bernama asli Thio
Thauw San, Zaldy bernama Touw Bun Tiong, dan Floren bernama Tjia Tjeng Han.
Di pojok lain, Teguh Santoso, yang beberapa waktu lalu melukis ulang dan
meluncurkan komik wayang Mahabharata dalam kualitas istimewa, juga orang
Tionghoa.
"Mereka
menyembunyikan Tionghoanya lantaran kala itu komik adalah buku yang dimusuhi
pemerintah. Lagipula, orang Tionghoa apa bukan, rasanya tidak penting," kata Hans Djaladara alias Liem Tjong Han, pencipta komik
legendaris Panji Tengkorak.
Tionghoa atau bukan, atau diduga Tionghoa atau bukan, untuk
Indonesia kontemporer bukan lagi persoalan. Dengan begitu, apakah dalam
Kabinet Kerja Joko Widodo-Jusuf Kalla ada orang Tionghoa atau tidak, sesungguhnya
tak perlu menjadi urusan. Itu sebabnya pilihan Presiden atas figur-figur,
yang mewakili daerah (dari Aceh, Sunda, sampai Papua), untuk duduk dalam
kabinet sah bila mengundang sejumlah kritik. Karena idealnya: pilih saja
orang yang sehat, kuat, mau kerja, serta memiliki integritas dan kapabilitas.
Sisihkan ihwal tanda nama, suku, dan asal-muasal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar