Tindak Pidana
di Bidang Pajak dan Tipikor
Romli Atmasasmita ; Guru Besar (Emeritus) Unpad;
Direktur Lembaga Pengkajian Independen Kebijakan Publik
(LPIKP)
|
KORAN
SINDO, 19 November 2014
Perpajakan
di semua negara merupakan sumber pendapatan (pemasukan) negara yang amat
penting dan satu-satunya andalan utama perekonomian tiap negara di dunia.
Sifat
khas perpajakan adalah kewajiban yang bersanksi atau bersifat memaksa
sekalipun dengan sistem self-assessment
seperti Indonesia. Namun, dalam praktik perpajakan di Indonesia tidak semua
wajib pajak mematuhi persis apa yang diperintahkan UU RI Nomor 6 Tahun 1983
dan Perubahan Keempat yang diatur dalam UU RI Nomor 5 Tahun 2008 (UU KUP).
Ketidakpatuhan
wajib pajak pada umumnya disebabkan karena (1) ketidakjujuran wajib pajak
dalam mengisi SPT; (2) mekanisme koreksi dan penyelesaian melalui model
konferensi yang belum tersosialisasi secara merata dan menyeluruh serta
terlaksana secara adil dan fair kepada wajib pajak, dan (3) sistem pengawasan
(termasuk prosedur pemeriksaan) perpajakan yang belum tertata dengan sistem
online terhadap seluruh kantor pajak yang tersebar di 34 propinsi dan lebih
dari seratus kota/kabupaten; meliputi lima jenis pajak negara dan enam belas
jenis pajak daerah.
Referensi
perpajakan mengenal tiga jenis pelanggaran pajak yaitu tax avoidance, tax evasion dan tax fraud. Ketiganya memiliki
perbedaan besar satu sama lain secara hukum baik mengenai kualitas perbuatan
maupun mengenai akibat hukumnya.
UU KUP
tidak memiliki arah yang jelas mengenai politik (hukum) perpajakan nasional
(Indonesia) karena telah melekatkan ancaman sanksi pidana ke dalam sanksi
administrasi atau disebut ”low degree
of differentiation” antara keduanya seperti di Inggris, Swedia, dan
Spanyol; berbeda dengan Belanda, Jerman, dan Portugal yang menerapkan model ”high degree of differentiation”
antara sanksi administrasi dan sanksi pidana (Oswald Jansen, 2012).
Ketidak
tegasan politik hukum perpajakan dalam konteks pengaturan mengenai posisi
kedua sanksi tersebut merupakan sumber masalah dalam penegakan hukum
perpajakan di Indonesia. Konsekuensi logis dari masalah tersebut, dalam
praktik perpajakan, sanksi administrasi pajak juga diterapkan sanksi pidana
pajak bahkan lebih jauh ditahbiskan sebagai tindak pidana korupsi (pidsus).
Dampak
dari kerancuan sistem sanksi (hukum) perpajakan nasional dalam praktik justru
bersifat kontraproduktif yaitu menimbulkan ketidakpastian hukum dan bahkan
ketidakadilan bagi wajib pajak apalagi wajib pajak yang kooperatif.
UU KUP
juga telah memberikan diskresi yang luas kepada Dirjen Pajak dan jajaran
pemeriksa untuk menentukan kepatuhan wajib pajak sekalipun standar akuntansi
penilaian kewajiban membayar pajak masih belum jelas dan sering inkonsisten
dalam implementasinya.
Di sisi
lain secara teoritik dan referensi hukum pajak tentang sifat hukum
administrasi yang merupakan hukum publik pada UU KUP juga tidak jelas dengan
ada diskresi tersebut. Sifat memaksa dari UU KUP telah tergerus oleh
ketentuan Pasal 44B yang menegaskan: (1) Untuk kepentingan penerimaan negara,
atas permintaan menteri keuangan, jaksa agung dapat menghentikan penyidikan
tindak pidana di bidang perpajakan paling lama dalam jangka waktu enam bulan
sejak tanggal surat permintaan;( 2) penghentian penyidikan di bidang
perpajakan...hanya dilakukan setelah wajib pajak melunasi utang pajak yang
tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan (restitusi)
dan ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda 4 (empat) kali jumlah pajak
yang tidak atau kurang dibayar, atau yang tidak seharusnya dikembalikan.
Dua ayat
dari ketentuan Pasal 44B jelas menunjukkan bahwa arah politik (hukum)
perpajakan Indonesia menganut ”dual-track
policy”, di satu sisi, bertujuan menegakkan disiplin perpajakan sebagai
sumber pendapatan negara, dan di sisi lain menggunakan ”sun-rise policy” dengan tujuan memasukkan pendapatan negara
secara optimal.
Dilihat
dari sistem pemisahan kekuasaan, ketentuan Pasal 44B dapat merupakan bentuk
intervensi eksekutif terhadap kekuasaan yudikatif, namun dilihat dari sudut
pendekatan analisis ekonomi, ketentuan tersebut merupakan salah satu cara
efisien dalam mendukung perekonomian nasional.
Dari
sudut teoritik perpajakan, ketentuan Pasal 44B UU KUP menegasikan arti
penting kategorisasi pelanggaran perpajakan (tax avoidance, tax evasion dan
tax fraud). Dari sudut hukum pidana, ketentuan Pasal 44B ayat (2)
merupakan alasan pemaaf yang dapat menghentikan penyidikan sekalipun secara
bersyarat (jangka waktu enam bulan).
Dari
sudut politik perpajakan, ketentuan Pasal 44B menempatkan sektor perpajakan
nasional bukan bertujuan menghukum wajib pajak per se, melainkan mendorong
dan memperkuat kemampuan membayar pajak terhadap setiap wajib pajak.
Keinginan
pimpinan KPK agar ”pengemplang pajak” dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi
dengan alasan mengurangi/merugikan pendapatan negara perlu diperjelas
sekaligus dipertanyakan; Pertama, dari ketiga jenis pelanggaran pajak
tersebut, perbuatan mengemplang pajak yang mana yang termasuk tipikor?
Kedua,
bagaimana fungsi ultimum remedium dari hukum pidana (sanksi) dalam penerapan
UU KUP atau apakah masih relevan penerapan fungsi hukum pidana tersebut dalam
masalah perpajakan di Indonesia? Ketiga, bagaimana nasib ketentuan Pasal 44 B
UU KUP jika pelanggaran UU KUP serta-merta digolongkan sebagai tindak pidana
korupsi?
Perlu
diketahui bahwa UU KUP secara eksplisit hanya memberlakukan UU Tipikor—
pemerasan dalam jabatan terhadap fiscus bukan terhadap wajib pajak ((Pasal 36
A ayat (4). Posisi Pasal 43 UU KUP tidak menempatkan wajib pajak sebagai
dader (pelaku utama) melain sebagai pelaku-peserta (Pasal 55 KUHP); kecuali
tertangkap tangan, suap, atau gratifikasi.
Pertanyaan
keempat, bagaimana nasib ketentuan Pasal 14 UU Tipikor tahun yang merupakan
lex specialis systematic yang berbunyi: ”Setiap
orang yang melanggar ketentuan undang-undang yang secara tegas menyatakan
bahwa pelanggaran terhadap ketentuan undangundang tersebut sebagai tindak
pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini”.
Ketentuan
pasal ini yang memerintahkan kepada aparatur hukum (APH) termasuk hakim untuk
memberlakukan ketentuan pidana dalam UU administratif bukan pada UU tipikor
jika tidak secara eksplisit dicantumkan bahwa pelanggaran atas UU
Administratif adalah tindak pidana korupsi.
Namun,
dalam praktik ketentuan Pasal 14 UU Tipikor tidak pernah diterapkan secara
sungguh-sungguh dan sejujurnya oleh APH; bahkan saya tidak yakin APH pernah
memahami memorie van toelichting
dari ketentuan tersebut agar ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor 1999
tidak dijadikan sebagai ”pukat harimau” terhadap setiap pelanggaran UU
Administratif hanya karena telah dipenuhinya unsur kerugian keuangan negara.
Ketentuan
pasal tersebut diperkuat oleh ketentuan Bab XI UU RI Nomor 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara( UUPN) yang mengatur tentang Penyelesaian
Kerugian Negara/Daerah. Pasal 59 ayat (2) dan pasal-pasal selanjutnya dari UU
PN telah menegaskan bahwa pelanggaran kewajiban penyelenggara negara yang
mengakibatkan kerugian negara/daerah, tidak mutatis mutandis merupakan tindak pidana korupsi karena pembentuk
UU PN mendahulukan penyelesaian melalui (sanksi) hukum administratif, bukan
sanksi pidana an sich !
Kehendak pimpinan KPK untuk men-tipikor-kan harus diapresiasi, tetapi
masih diperlukan harmonisasi UU KUP dan UU Tipikor agar terjamin kepastian
hukum dan keadilan dalam perpajakan nasional. Jika tidak, hampir dipastikan
langkah hukum yang terburu-buru dan tidak teliti dapat merugikan secara signifikan
iklim perekonomian nasional dan belum tentu juga langkah tersebut dapat
menjamin dan memperkuat penambahan pendapatan negara dari sektor pajak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar