Susi
Arswendo Atmowiloto ; Budayawan
|
KORAN
JAKARTA, 01 November 2014
Nama Susi jadi puncak perhatian akhir-akhir ini. Susi who? Susi
siapa, Susi yang mana? Tidak, tak ada pertanyaan itu karena semua maklum
bahwa yang dimaksudkan adalah (Ibu) Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan
Perikanan. Adalah beliau yang di antara 34 menteri paling menyerap perhatian
sejak namanya diumumkan. Perhatian dalam arti kekaguman atau juga keraguan
akan kemampuannya. Dan tak memengaruhi yang bersangkutan. “Dulu saya
dipanggil Susi Gila,” tuturnya di depan anggota Kamar Dagang Industri,
setelah jadi menteri. Itu karena mengirim SMS, sandek, ke-10 kementerian,
teriak-teriak. Hasilnya bagaimana, entahlah. “Tapi, sekarang, pemerintah
sebut kita perlu orang gila untuk membuat gebrakan.”
Gila atau gebrakan, barangkali akan mewarnai dan membingkai
kiprahnya. “Sekarang kerjaan banyak, gaji sedikit.” Konon, hanya 1 persen
dari gajinya di Susi Air. Padahal Susi Air - usaha penerbangan di daerah
terpencil bukan satusatunya bisnis yang dijalani. Ini hanya salah satu dari
sedikit kisah yang kini bertebaran kembali, termasuk gambarnya ketika
menggendong penumpang, ketika menjelaskan usahanya, atau memperlihatkan
gambar, beberapa, suaminya.
Susi, yang menteri dan pengusaha, sebenarnya sudah lamaaaaaa
menarik media. Beberapa tahun lalu, saya bersama beberapa redaktur koran ini
mengatur waktu untuk bertemu dan wawancara habis-habisan dengan beliau, dalam
rangka memilih sebagai tokoh nasional tahun itu. Secara pribadi, saya pernah
ditawari naik pesawatnya dari Jakarta ke Pangandaran. Karena ajakannya
mendadak, saya menolak dengan alasan ada janji. “Nggak apa, datang bentar
lalu pulang. Diantar.” Spontan, percaya diri, hangat merupakan kesan pertama.
Juga selanjutnya.
Tawaran dan atau undangan itu tak memengaruhi sikapnya. Bahwa
ketika itu baru ada kecelakaan salah satu pesawatnya di bagian timur. Juga
hari-hari awal keberadaan di Kabinet Kerja. Banyak hal dipersoalkan:
kebiasaan merokok, riwayat pernikahan yang lebih dari sekali, bertato. Banyak
yang menyayangkan, meragukan, dan mengusulkan agar Ibu Menteri mengenakan
jilbab. Pada titik ini sesuatu berbalik. Yang menyeruak ke permukaan -
terutama media sosial - adalah perbandingan dengan gubernur perempuan yang
cantik, berjilbab, tidak merokok, tidak bertato (tapi diralat mungkin sekali
alisnya bertato), yang terlibat kasus korupsi. Bahkan ditahan, dijatuhi
hukuman.
Demikian juga mengenai latar belakang pendidikannya yang tak
selesai Sekolah Menengah Atas. Demikian juga mengenai usahanya. Demikian juga
mengenai kisah masa lalu dengan suami-suaminya. Demikian juga masih ada yang
lainnya. Tapi serentak dengan itu, masyarakat yang selama ini mudah terseret
satu isu besar, ternyata tidak asal ikutan. Justru sebaliknya. Perlawanan
dengan mengontraskan dengan seorang gubernur yang lebih dalam norma-norma
yang selama diterima sebagai standar tinggi, adalah wujud nyata.
Bahwa pada dasarnya lebih memilih tokoh untuk dianut yang jujur
- walau kurang pendidikan formal, kurang feminin, terkesan kurang santun,
dibandingkan dengan tokoh yang “kinyis-kinyis’, tapi ternyata “lamis”, atau
bohong. Kejujuran lebih dihargai dibandingkan pencitraan. Kesederhaan lebih
mengena dibandingkan berlebihan. Kerja lebih bermakna dibandingkan berwacana.
Dan sesungguhnya, saya merasakan ini suatu langkah kemajuan yang besar.
Bahwa di antara meributkan hal-hal yang pribadi seperti kisah
perkawinan atau latar belakang pendidikan atau pakai tato, ada pendekatan
berbeda dalam menyikapi persoalan. Dan alangkah menariknya manakala ini
menjadi tanda kedewasaan kita semua. Satu lagi kalimatnya: “Saya tak bisa
disuap.” Kata-kata yang tak bersayap, tak memerlukan tafsiran lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar