Sistem
Kartu Indonesia Sehat
Ali Ghufron Mukti ; Mantan Wakil Menteri Kesehatan;
Ketua Pokja Implementasi BPJS
|
SINAR
HARAPAN, 07 November 2014
Salah satu program prioritas Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo-Jusuf
Kalla (Jokowi-JK) yang baru saja diresmikan adalah program Kartu Indonesia
Sehat (KIS). Program ini sangat penting dan dibutuhkan masyarakat. Masyarakat
Indonesia sangat berharap bagaimana program KIS ini segera dapat
direalisasikan dan dinikmati tatkala mereka membutuhkan.
Masalahnya, bagaimana skenario strategi implementasi di lapangan
program tersebut, sedangkan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang
dikelola BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan baru saja
diterapkan pada Januari tahun ini. Bagaimana model sistem KIS selanjutnya.
Apakah seperti di Solo, Jakarta, atau seperti JKN yang dikelola BPJS?
Model Pembiayaan Kesehatan
Berbagai model pembiayaan kesehatan diterapkan berbagai negara.
Negara-negara Eropa Barat, seperti Jerman, Belanda, Prancis, Belgia, dan lain
lain umumnya menggunakan sistem asuransi kesehatan sosial yang dulu
dipelopori Jerman, sejak diresmikan program jaminan sosial kesehatan oleh
Kanselir Otto Von Bismarck tahun 1883. Model ini sering disebut model
Bismarck.
Inggris dan banyak diikuti negara bekas jajahannya menganut
model berbasis pajak atau tax based
health financing system. Model pembiayaan kesehatan berbasis pajak sering
dikenal sebagai model Beveridge, setelah William Beveridge merancang Pelayanan
Kesehatan Inggris (National Health
Service). Amerika mulanya menganut model asuransi komersial, kemudian
direformasi dengan Obama Health Care.
Di negara berkembang, umumnya dengan membayar uang dari kantong saku atau
model out of pocket.
Apa dan bagaimana program KIS masih banyak yang bingung,
terkadang antarpemangku kepentingan berbeda penjelasannya. Penulis
mengusulkan bagaimana strategi makro penerapan di lapangan dengan
pertimbangan teori, peraturan perundangan yang ada, kapasitas fiskal,
manajemen dan aspek teknis.
Kebijakan KIS, meski bisa dimaknai banyak hal, tentu bertujuan
agar setiap warga bangsa, terutama masyarakat bawah yang membutuhkan yang
belum menjadi anggota BPJS, dapat memiliki akses pelayanan kesehatan yang
berkualitas dan berkeadilan. Ada dua pilihan, pertama semua rumah sakit kelas
tiga gratis dibiayai pemerintah.
Hak hilang jika pindah kelas yang lebih ke arah model Beveridge
atau berbasis pajak. Ini lebih praktis karena hanya dengan KTP sudah selesai,
tetapi akses bagus dari kendali biaya dan mutu akan menjadi masalah. Dalam
model ini tidak perlu membedakan orang miskin, rentan miskin, dan hampir
miskin yang di lapangan sering sulit dan menimbulkan masalah.
Pilihan kedua, model asuransi sosial atau model Bismarck yang
mengandung nilai gotong royong. Dalam pilihan kedua ini semua orang wajib
ikut dan membayar iuran, sedangkan yang kesulitan membayar iuran, baik miskin
atau tidak mampu dibayari pemerintah. Mereka yang dibayari pemerintah
sekarang ini disebut penerima bantuan iuran (PBI) yang berjumlah 86,4 juta
orang.
Model pilihan kedua ini seperti yang berlaku dan diatur di dalam
UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU No 24/2011
tentang BPJS. Program KIS yang sekarang ini seperti model pilihan ke dua ini,
ditambah kepesertaannya yang dulu sudah dijamin program Jamkesmas, yaitu anak
telantar, gelandangan, panti jompo, dan penyandang masalah kesejahteraan
sosial (PMKS) lainnya yang total jumlahnya sekitar 1,7 juta orang. Karena
masalah pengganggaran, dimulai beberapa ribu orang terlebih dahulu.
Peserta ini meski dulu sudah dijamin Jamkesmas, setahun ini
tidak dijamin BPJS pada program JKN. Jika mereka sakit, diserahkan kepada pemerintah daerah
masing-masing. Sayangnya, tidak semua pemerintah daerah memiliki komitmen dan
mengalokasikan untuk mereka.
Ke depan tentu tergantung kebijakan yang dipilih pemerintah.
Jika model pertama yang dipilih karena lebih mudah dan praktis, selain secara
politis sangat menarik, tentu harus ada perubahan undang-undang, terutama UU
SJSN dan BPJS, serta peraturan perundangan di bawahnya. Jika yang dipilih
adalah model kedua, ada hal-hal yang perlu diperbaiki.
Hal yang Perlu Diperbaiki
Jika pilihan kedua yang dipilih,
hal-hal yang menyangkut fungsi, peran, dan hubungan antarlembaga yang
terkait KIS perlu ditingkatkan. Sisi manajemen BPJS juga perlu perbaikan
secara mendasar. Optimalisasi fungsi Dewan Pengawas dan Dewan Jaminan Sosial
Nasional (DJSN) perlu dilakukan.
Koordinasi manajemen BPJS dengan kementerian, khususnya
kesehatan dan keuangan, perlu ditingkatkan. Kerja sama dengan pemangku
kepentingan, terutama rumah sakit swasta dan klinik swasta perlu
diintensifkan. Peningkatan kemudahan dan fleksibilitas proses administrasi
kepesertaan dan pendataan perlu segera diperkuat.
Hal ini dapat didukung dengan pemanfaatan e-KTP atau sidik jari
yang ada di kementerian dalam negeri dan perlu segera dilakukan. Matching and bridging sistem manajemen
infomasi mulai dari kepesertaan, puskesmas, rumah sakit, dan BPJS segera
dibangun. Untuk efisiensi unit antifraud
dan peningkatan kompetensi SDM dalam telaah utilisasi (utilization review) perlu segera dilakukan, disertai peningkatan
sosialisasi, serta edukasi bagi pemberi layanan kesehatan di lapangan.
Peningkatan akses ini harus dibarengi penguatan infrastruktur
pelayanan kesehatan. Hal ini termasuk peningkatan fasilitas kesehatan,
terutama di layanan primer dan rumah sakit kabupaten/kota, perencanaan jumlah
dan kualitas SDM kesehatan, serta distribusinya yang merata. Terobosan dalam
menghasilkan, menyediakan dan menempatkan tenaga kesehatan, khususnya dokter
spesialis, perlu dilakukan. Pendidikan berbasis rumah sakit perlu dipikirkan.
Karena itu, kerja sama antara Kementerian Kesehatan dan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Kementerian Dalam Negeri
merupakan hal yang krusial. Kerja sama ini tidak saja dalam memecahkan
persoalan mendasar dalam penyediaan dan distribusi tenaga kesehatan, tetapi
bagaimana revolusi mental, perubahan pola pikir, kesadaran, dan perubahan
pola perilaku hidup bersih dan sehat masyarakat sejak dini dimulai di bangku
sekolah.
Untuk menjaga mutu layanan dan jaminan kesehatan, selain
penerapan manajemen mutu secara komprehensif, pembayaran kapitasi dan
INA-CBGs sebaiknya disesuaikan dengan harga keekonomian. Dikembangkan health technology assesment (HTA) yang
akan menilai obat, alat, dan teknologi kesehatan yang menilai cost effectiveness-nya, mengingat
sumber daya yang terbatas dan banyak obat dan teknologi yang tidak perlu
selalu mahal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar