Seratus
Hari Jokowi : Mengaji pada FDR
Airlangga Pribadi Kusman ; Pengajar
Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga, kandidat PhD Asia Research
Center Murdoch University
|
JAWA
POS, 07 November 2014
MESKI Presiden Jokowi sudah menyatakan bahwa pemerintahannya
tidak mengenal program seratus hari, penting kiranya melihat akan ke mana
pemerintahan Jokowi bertolak setelah seratus hari dilantik. Adalah benar
bahwa kita tidak akan bisa berharap sebuah perubahan yang mendasar terjadi
dalam tempo seratus hari. Meski demikian, seratus hari pertama akan menjadi
penentu ke mana kapal Indonesia berlayar di bawah nakhoda Presiden Jokowi
sampai lima tahun ke depan.
Seratus hari pertama menjadi penentu bukan karena setelah kita
melalui segala hal yang gelap menjadi terang, namun pada masa tiga bulan
inilah lintasan strategi kebijakan mulai dirumuskan, yang selanjutnya akan
membawa Indonesia bangkit dari keterpurukan atau terbenam dalam pusaran
krisis berkepanjangan.
Setelah terpilih, pemerintahan Jokowi menghadapi problem
pemerintahan yang tidak mudah. Pemerintahan Jokowi harus menuntaskan berbagai
persoalan pelik yang harus dibenahi. Berbagai problem itu, antara lain, beban
defisit anggaran, derasnya impor pangan yang mengakibatkan terkikisnya
kedaulatan pangan warga Indonesia, jurang kesenjangan antara si kaya dan si
miskin, birokrasi yang lamban, serta maraknya pembungkaman terhadap hak
sipil. Semua itu menjadikan jalan yang dilalui pemerintahan baru begitu curam
dan terjal.
Kita semua sadar bahwa segenap problem bernegara itu tidak dapat
diselesaikan dalam sekejap mata. Problematika bernegara –seperti yang telah
diuraikan sebelumnya– tidak dapat diselesaikan hanya dengan perubahan parsial
dan instrumental pada aras kebijakan teknokratis semata. Melampaui itu semua,
yang dituntut pada pemerintahan Jokowi saat ini adalah cara pandang,
perspektif sebagai pedoman kebijakan seperti apakah yang ditawarkan sebagai
rumusan bernegara dalam lima tahun ke depan.
Formulasi tentang perspektif dan cara pandang bernegara itulah
yang kita harapkan tuntas dirumuskan selama seratus hari pertama pemerintahan
Jokowi. Sebab, persoalan-persoalan bernegara yang dihadapi bangsa ini tidak
bisa diselesaikan dengan cara business
as usual dalam kerja rutinitas seperti yang jamak terjadi sebelumnya.
Sehubungan dengan inisiatif yang kita cermati selama seratus
hari pertama pemerintahan Jokowi, tulisan ini akan sedikit mengulas sebuah
contoh warisan terbaik dari presiden Amerika Serikat abad ke-20, yakni Franklin Delano Roosevelt (FDR),
sebagai salah satu rujukan mengelola negara. Rujukan pada presiden AS yang
terkenal dengan konsep New Deal itu
bukan berarti kita harus selalu melihat perjalanan politik Amerika Serikat. FDR
dapat menjadi contoh menarik. Sebab, di bawah kepemimpinannya, Amerika
berhasil melampaui krisis ekonomi akut. FDR berhasil membalikkan cara pandang
bernegara warga Amerika dari spirit individualisme menuju solidaritas sosial.
Juga dari komitmen atas kapitalisme tanpa peran negara sebagai regulator
menjadi tatanan pasar berkeadilan dengan peran aktif dari negara untuk
meredistribusi kesejahteraan sosial. Selain itu juga berbagai kebijakan
proteksi sosial yang melindungi mayoritas warga Amerika dari hantaman krisis
sosial.
Gagasan New Deal
Apakah hubungan antara inisiatif jalan progresif yang diambil
FDR untuk menyelamatkan Amerika Serikat dari krisis sosial dengan program
seratus hari? Salah seorang jurnalis senior New York Times, yakni Adam Cohen
(2009), dalam karya best seller-nya
Nothing to Fear: FDR’s Inner Circle and
the Hundred Days that Created Modern America menjelaskan bahwa warisan
prestisius dari Presiden FDR bagi warga Amerika Serikat itu dimulai dari
keberhasilannya merumuskan strategi pemerintahan beserta lingkaran dalam
presiden di seratus hari pertama sejak dirinya dilantik menjadi presiden
Amerika Serikat.
Gagasan New Deal (kesepakatan
baru) yang menjadi panutan bernegara dari kalangan liberal-progresif Amerika
Serikat diformulasikan sebagai sebuah cara pandang yang berbasis keseimbangan
politik antara komitmen terhadap program jaring pengaman sosial, subsidi bagi
kekuatan ekonomi kelas bawah petani, alokasi kebijakan fiskal yang cermat dan
terukur serta fokus pada perdagangan internasional yang mengedepankan ekspor.
Pemerintahan FDR menjadi contoh bagaimana pragmatisme
pemerintahan tidak hanya selalu melayani kelompok sosial yang kaya dan
berkuasa, namun juga ketika diformulasikan dengan cermat dapat mengabdi pada
tujuan bernegara yang lebih luhur demi pencapaian pelayanan publik dan
keadilan sosial. Keseimbangan antara pragmatisme politik dan keberanian
menuntaskan persoalan menjadi dua slogan di seratus hari awal pemerintahan
FDR, yakni nothing to fear (tidak
ada yang harus ditakutkan) dan action,
action (kerja, kerja)!
Ada perbedaan antara situasi politik di Amerika pada era FDR dan
yang dihadapi pemerintahan Presiden Joko Widodo. Sayang, perbedaan itu
membuat tantangan dari pemerintahan sekarang menjadi lebih berat.
Keberhasilan program New Deal yang
digagas FDR tidak dapat dilepaskan dari dukungan nyaris utuh dari rakyat.
Kongres Amerika Serikat, baik Partai Demokrat maupun Republik, saat itu tidak
menghalangi inisiatif pemerintah.
Suasana politik seperti itu, sayangnya, tidak kita saksikan
setelah Presiden Jokowi dilantik. Benturan politik antara pihak legislatif
dan eksekutif begitu keras terjadi. Sementara rakyat Indonesia terbelah dalam
sikap sebagai partisan politik pasif, sebagai penonton yang memperuncing
suasana. Semangat solidaritas yang lahir dari sense of crisis untuk bersama-sama menyelesaikan persoalan bangsa
terkikis. Sebagian khalayak justru mengharapkan pemerintahan ini gagal,
sementara sebagian besar lain belum bangkit memberikan kritik yang sehat
kepada pemerintahan kita. Tanpa solidaritas dan gotong royong untuk
menyelesaikan krisis, kita hanya akan terbenam dalam pusaran krisis
bernegara. Padahal, pelajaran politik di berbagai masa dan kisah sejarah
semua bangsa memberi kita pelajaran bahwa kesadaran hidup bersama dalam
semangat gotong royong adalah kunci keberhasilan sebuah bangsa untuk keluar
dari kegelapan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar