Sarjana
Terdidik Makin Mencemaskan
Bagong Suyanto ; Dosen FISIP Unair, Pada 2013–2014 melakukan penelitian
dari Dikti tentang Pengangguran Terdidik di Jawa Timur
|
JAWA
POS, 05 November 2014
LULUS kuliah dan menjadi sarjana ternyata bukan jaminan bisa
langsung memperoleh pekerjaan yang diinginkan. Bahkan lulusan jurusan favorit
seperti sarjana ekonomi manajemen dan hukum, hal itu juga tidak selalu
menjadi tiket yang mujarab untuk lolos dari status penganggur terdidik. Di
Jawa Timur, seperti dilaporkan disnaker, jumlah sarjana pencari kerja tidak
bisa dibilang kecil. Dari 1.074 sarjana hukum yang mencari kerja, 1.064 orang
diketahui belum bekerja. Selain itu, dari 728 sarjana ekonomi manajemen, 710
tercatat belum bekerja (Jawa Pos, 31
Oktober-1 November 2014).
Di media massa, setiap hari memang selalu muncul iklan lowongan
kerja yang menawarkan kesempatan berkarir bagi pencari kerja, terutama para
sarjana dengan kualifikasi kompetensi tertentu. Tetapi, ironisnya, dari
berbagai persyaratan dan kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan, umumnya
tidak banyak yang bisa dipenuhi para pencari kerja. Karena itu, yang terjadi
kemudian tetap saja daftar jumlah pencari kerja terus bertambah. Lowongan
kerja yang senantiasa mensyaratkan penguasaan bahasa asing (terutama bahasa
Inggris), indeks prestasi lulusan minimal 3, dan lain-lain sering menjadi
kendala tersendiri yang memperkecil peluang para pencari kerja terdidik untuk
dapat terserap dalam pasar kerja di sektor perekonomian firma.
Data BPS 2010 melaporkan, dari 8,32 juta penganggur di Indonesia
sampai Agustus 2010, ternyata paling banyak lulusan sarjana dan diploma.
Badan Pusat Statistik (BPS) menguraikan, jumlah lulusan sarjana dan diploma
yang menganggur masing-masing 11,92 persen dan 12,78 persen. Secara
keseluruhan, di Indonesia jumlah penganggur pada Agustus 2010 mencapai 8,3
juta orang atau 7,14 persen dari total angkatan kerja. Untuk 2012, asisten
deputi Bidang Kepeloporan Pemuda Kementerian Pemuda dan Olahraga mengatakan,
di Indonesia pemuda yang merupakan penganggur terdidik tercatat mencapai
41,81 persen dari total penganggur nasional. Angka sebesar itu tentu sangat
memprihatinkan karena sedikit banyak mencerminkan terjadinya mismatch antara
kualifikasi lulusan dan kebutuhan pasar kerja.
Terlepas apa pun faktor penyebabnya, fenomena sarjana yang
menganggur dan banyaknya penganggur usia muda yang produktif adalah salah
satu isu di bidang ketenagakerjaan yang membutuhkan perhatian ekstra. Sebab,
mereka hanya menambah panjang daftar jumlah penganggur yang sudah berjubel
sebelumnya. Seperti diketahui, ketika kondisi sektor riil masih lesu dan
investasi yang masuk belum terlalu menggembirakan, bahkan sebagian industri
yang sudah ada di tanah air dilaporkan telah hengkang ke Vietnam dan
Tiongkok, salah satu ancaman serius yang dihadapi pemerintah adalah
kemungkinan timbulnya ledakan penganggur terdidik.
Di atas kertas, kesempatan kerja bagi lulusan perguruan tinggi
secara teoretis seharusnya cenderung lebih terbuka. Dengan begitu, tingkat
penganggur dari kelompok tersebut cenderung lebih kecil daripada kelompok
yang berpendidikan lebih rendah. Namun, kesempatan kerja itu akan menyempit
seiring dengan meningkatnya jumlah lulusan dari tingkat pendidikan yang lebih
tinggi (Keyfitz, 1986).
Fakta di lapangan sering memperlihatkan bahwa proporsi terbesar
dari para penganggur adalah mereka yang memiliki pendidikan lebih tinggi.
Kritik yang sering dilontarkan adalah lembaga pendidikan di Indonesia dinilai
tidak dapat mencetak lulusan yang siap pakai, ada ketidaksesuaian (mismatch) antara output pendidikan dan
tuntutan perkembangan ekonomi, serta kualitas lulusan tidak cocok dengan
kebutuhan dunia usaha. Pendidikan yang lebih tinggi kebanyakan menyebabkan
anak muda justru menolak untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan dengan sistem
manual, termasuk pekerjaan di sektor pertanian yang dinilai kurang sesuai
dengan tingkat pendidikan mereka. Kalangan terdidik, khususnya lulusan PT,
cenderung mencari pekerjaan di sektor jasa. Padahal, pertumbuhan kesempatan
kerja di sektor jasa tidak mampu mengimbangi pertumbuhan angkatan kerja
terdidik.
Di berbagai daerah, khususnya perkotaan, ditemui banyak pemuda
yang memilih menganggur daripada melakukan pekerjaan yang dianggap tidak
sesuai dengan tingkat pendidikan dan gaji yang diterima juga dinilai terlalu
rendah. Gejala itu terutama terlihat pada kalangan lulusan PT yang secara
ekonomi mapan dan belum berkeluarga. Mereka biasanya lebih memilih sementara
waktu menganggur karena keluarganya mampu mencukupi kebutuhannya sampai
menemukan pekerjaan yang dianggap sesuai dengan tingkat pendidikannya.
Studi yang dilakukan penulis (2014) terhadap 100 sarjana yang
menganggur menemukan, karena kualifikasi keahlian yang dimiliki dan kebutuhan
pasar tenaga kerja acap mismatch,
jumlah sarjana penganggur pun dari waktu ke waktu terus bertambah. Bahkan,
tidak sedikit sarjana yang termasuk dalam kelompok penganggur yang disebut discourage unemployment (penganggur
putus asa), yakni penganggur sudah bertahun-tahun mencari kerja tapi tanpa
hasil karena faktor demand for labor
dan supply for labor yang makin
tidak seimbang.
Sebuah keluarga yang sudah habis-habisan membiayai kuliah
anaknya sampai lulus terpaksa menjual sebagian lahannya dan tak jarang pula
utang ke sana-kemari untuk biaya kuliah anaknya. Ternyata, anaknya yang sudah
lulus dan menjadi sarjana itu tak kunjung memperoleh kerja. Sangatah wajar
jika sarjana yang menganggur seperti itu menjadi frustrasi, putus asa, dan
lantas menjadi penganggur abadi.
Di luar arti penting komitmen politis dan dukungan dana untuk
membiayai pelaksanaan program penanganan penganggur terdidik, salah satu
aspek penting yang perlu diperhatikan dalam upaya penanganan penganggur
terdidik adalah persoalan substansi program yang digulirkan dan strategi yang
seharusnya dikembangkan untuk menjamin efektivitas pelaksanaan program itu.
Secara garis besar, arah kebijakan dan upaya penanggulangan
masalah penganggur terdidik seyogianya mencakup empat hal pokok. Pertama,
bagaimana mendorong pengembangan dan pertumbuhan kesempatan kerja baru bagi
para pencari kerja atau penganggur terdidik, baik lewat program-program
pemerintah maupun multiplier effect dari kegiatan investasi swasta.
Kedua, bagaimana meningkatkan kualitas dan posisi tawar para
pencari kerja, termasuk penganggur terdidik yang berminat mencari kerja di
luar negeri agar mereka dapat lebih berdaya serta sesuai dengan kebutuhan
pasar kerja yang ada. Ketiga, bagaimana membantu dan memfasilitasi pengembangan
usaha mandiri para penganggur terdidik, terutama di sektor UMKM.
Keempat, lebih dari sekadar program pelatihan untuk meningkatkan
kualitas dan kadar keberdayaan SDM pencari kerja yang terdidik, yang
dibutuhkan adalah substansi program pelatihan yang benar-benar dapat
dijadikan modal sosial untuk menyiasati dan mencuri celah pasar yang sangat
kompetitif. Diakui atau tidak, selama ini berbagai kegiatan pelatihan yang
dikembangkan BLK maupun lembaga kursus swasta alam masih belum mampu menjawab
tantangan dan kebutuhan pasar kerja yang ada.
Ke depan, untuk menjamin kualifikasi pencari kerja usia muda
yang ada benar-benar sesuai dengan kebutuhan pasar, ada baiknya dijajaki
kemungkinan kerja sama dengan lembaga swasta tertentu yang terbukti telah
bekerja secara profesional dan berhasil meningkatkan kompetensi serta
kecakapan hidup penganggur terdidik di tanah air. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar