Premanisme
Politik
Abdillah Toha ; Mantan Ketua Badan Kerja Sama Antarparlemen DPR
|
KOMPAS,
05 November 2014
MENURUT Wikipedia, kata ”premanisme (berasal dari bahasa
Belanda, vrijman = orang bebas, merdeka, dan isme = aliran) adalah sebutan peyoratif yang sering
digunakan untuk merujuk pada kegiatan sekelompok orang yang mendapatkan
penghasilannya terutama dari pemerasan
kelompok masyarakat lain.” Wikipedia menambahkan, ”sering terjadi perkelahian
antarpreman karena memperebutkan wilayah garapan, yang beberapa di antaranya
menyebabkan jatuhnya korban jiwa.” Apabila definisi itu benar, paling sedikit
ada empat unsur dalam premanisme. Persaingan, pemerasan, kekerasan, dan perebutan
wilayah (kekuasaan). Yang tidak disebut dalam definisi di atas adalah unsur
tindak (yang berbau) kriminal.
Adapun politik sebagai profesi secara sederhana dapat diartikan
sebagai kegiatan yang menyangkut pilihan-pilihan dalam menyelenggarakan
negara atau bagian dari negara sesuai dengan nilai-nilai dan ideologi yang
diyakini oleh pelaku politik. Politisi adalah pelaku politik.
Apabila kedua kata itu digabung, premanisme politik adalah
politik yang menekankan pada adu kekuatan dalam persaingan. Jika perlu dengan
kekerasan dalam memperebutkan (wilayah garapan) kekuasaan.
Bukan pilih gerombolan
Barangkali hal inilah yang sekarang sedang terjadi di negeri
kita, khususnya ketika memperhatikan apa yang sedang terjadi di DPR
belakangan ini. Sangat menyedihkan karena anggota DPR yang terhormat dengan
gaji besar itu dipilih untuk memperbaiki nasib rakyat yang memilihnya, bukan
untuk memperebutkan kekuasaan demi kejayaan partainya.
Rakyat tidak pernah memilih gerombolan atau gang. Tidak memilih
pengelompokan Koalisi Merah Putih atau Koalisi Indonesia Hebat, tetapi
memilih tiap-tiap individu yang gambar dan namanya tertera dalam kertas
pemungutan suara. Tidak pula memilih ketua umum atau pimpinan partai yang
mengatur, menggembala, dan mengendalikan arah suara anggotanya. Rakyat
mengharapkan wakil yang dipilihnya mendahulukan kepentingannya dan
menyalurkan aspirasinya.
Apa yang terjadi di DPR saat ini, seperti preman, adalah
perebutan wilayah. Ini wilayah saya itu wilayah kamu. Jangan ganggu saya dan
saya tak akan mengganggu kamu. Apabila perlu, saya akan menggunakan otot
untuk melawan kamu. Saya wakil partai, bukan wakil rakyat. Kesetiaan saya
yang pertama kepada partai, seperti juga ketaatan anggota gang kepada
pemimpinnya.
Seperti preman yang memalak masyarakat untuk memberi
perlindungan, anggota DPR berpeluang ”memalak” pemerintah melalui negosiasi
anggaran dan rancangan undang-undang demi kepentingan kelompok atau
partainya. Anggota DPR akan memberi ”perlindungan” kepada pemerintah jika
kepentingannya tak terganggu.
Apakah perilaku anggota Dewan itu masuk kategori kriminal?
Jawabnya, seperti juga preman yang tidak bisa dipidanakan karena menerima
”sumbangan sukarela”, negosiasi anggaran dan rancangan undang-undang adalah
sah sesuai aturan. Preman baru bisa dipidanakan ketika korbannya melapor
ditekan atau dipaksa dengan ancaman kekerasan. Anggota Dewan juga baru dapat
dipidanakan jika tertangkap menerima imbalan langsung dari pihak yang
diuntungkan oleh kiprahnya di DPR, seperti sudah terbukti beberapa kali.
Tentu kita di sini tidak berbicara tentang semua anggota DPR.
Tentu lebih banyak anggota DPR yang secara moral baik dibandingkan dengan
yang tidak. Namun, kita juga tahu bahwa berdasarkan survei, sejauh ini hanya
sekitar 20 persen anggota DPR yang vokal berbicara dan berpengaruh terhadap
kiprah DPR. Sisanya mayoritas diam (silent
majority) yang tidak punya cukup kompetensi atau nyali untuk menyuarakan
nuraninya apabila tidak sepaham atau segaris dengan bleid partai.
Mereka adalah anggota-anggota yang tidak suka ”berkelahi” demi
memperjuangkan keyakinannya. Mereka memilih hidup tenang dan damai walau
harus mengalah. Atau sebagian mereka adalah yang menjadi anggota hanya demi
menikmati status dan penghasilan.
Para pendiri bangsa kita ternyata punya pandangan jauh ke depan
ketika memilih demokrasi sebagai sistem pemerintahan, tetapi sekaligus
khawatir atas kemungkinan ekses-eksesnya dengan memperkenalkan Pancasila
sebagai dasar negara. Sila keempat dengan jelas mengartikan demokrasi sebagai
”kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan”. Musyawarah guna mencapai kesepakatan harus didahulukan untuk
mencapai apa? Untuk mencapai ”keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”
dalam rangka ”persatuan Indonesia”. Itu semua demi ”kemanusiaan yang adil dan
beradab” atas dasar keyakinan bahwa kita adalah sama-sama bersaudara sebagai
makhluk ”Tuhan Yang Maha Esa”.
Bukan demokrasi yang mencari menang dalam voting, untuk mencapai
kesejahteraan dan kejayaan kelompok atau partai, yang berisiko mencerai-beraikan persatuan
Indonesia tanpa memedulikan keadaban manusiawi yang jauh dari perilaku
kehidupan bertuhan.
Kehidupan demokrasi kita yang di satu sisi menjadi model dan
dipuji oleh negara-negara lain tampaknya sedang mengalami ujian berat. Lulus
tidaknya kita dalam ujian ini bergantung pada kemauan dan kemampuan kita
mengubah premanisme politik jadi politik yang bermoral dan beretika dengan
arah tujuan yang jelas demi kejayaan bangsa.
Pilihan kita adalah apakah politik demi mengalahkan lawan atau
untuk mencari titik temu kebenaran bersama demi bangsa dan negara. Apakah
politik untuk merebut kekuasaan demi kekuasaan atau kekuasaan untuk
menyejahterakan rakyat. Apakah kita akan mendahulukan kepentingan partai dan
kelompok atau bekerja untuk seluruh bangsa. Apakah kita memilih keuntungan
politik jangka pendek atau bekerja untuk manfaat jangka panjang, baik bagi
partai maupun bangsa. Atau, apakah kita tidak peduli bahwa risiko yang lebih
besar justru sistem demokrasi itu sendiri yang bisa runtuh dan diambil alih
oleh kekuatan otoriter seperti yang sudah banyak terjadi di beberapa negara
demokrasi baru yang lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar