Perppu
Itu Diuji ke MK
Moh Mahfud MD ; Guru
Besar Hukum Konstitusi
|
KORAN
SINDO, 08 November 2014
Setelah reda karena ditenggelamkan oleh berita-berita tentang
tarung politik antara Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat
(KIH) di DPR, kini isu UU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), apakah akan
secara langsung atau melalui DPRD, muncul kembali sebagai berita.
Aktivis Didik Supriyanto dan kawan-kawannya mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi
(MK) melalui pengujian formal atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perppu) No. 1 Tahun 2014 yang dikeluarkan oleh Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY), 18 hari sebelum mengakhiri masa pengabdiannya.
Seperti diketahui, suhu politik panas membara pada minggu
terakhir bulan September lalu ketika DPR membahas dan memutuskan RUU Pilkada
yang akhirnya, setelah diwarnai walk
out, menetapkan mekanisme pemilihan melalui Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD). Presiden SBY menjadi sangat galau dan menyatakan ketidaksetujuannya.
Semula ada wacana Presiden SBY tidak akan menandatangani RUU
tersebut. Tetapi kemudian Kepala Negara memilih menandatanganinya pada 2
Oktober 2014 menjadi UU No 22 Tahun 2014. Kemudian, pada hari yang sama,
mengeluarkan pencabutan atasnya melalui Perppu No 1 Tahun 2014. Masyarakat
pun ribut dengan berbagai kritik panas, liar, dan kadang melempar bully secara kasar.
Kalau tak setuju, mengapa tak dinyatakan dalam sidang saat DPR
mengambil keputusan bersama pemerintah? Kalau tak setuju, mengapa dulu
mengajukan RUU Pilkada tak langsung yang disertai surat resmi presiden kepada
DPR? Kalau tak setuju, mengapa tidak menginstruksikan Fraksi Partai Demokrat
di DPR agar bergabung dengan PDIP menolak pilkada melalui DPRD?
Sebenarnya lebih dari sekadar banyaknya kritik pedas dan bully liar pada Pak SBY itu, saat ini,
ada fakta yang harus diantisipasi secara arif yaitu kemungkinan terjadinya
kekosongan hukum. Meski ada yang berpendapat lain tetapi pada umumnya pakar
hukum tata negara berpendapat, jika kelak DPR menolak Perppu tersebut maka
akan terjadi kekosongan hukum.
Alasannya, Perppu itu sah saat dikeluarkan sehingga sah pula
saat mencabut berlakunya UU Pilkada. Oleh sebab itu, jika DPR kelak menolak
Perppu itu maka UU Pilkada No 22 Tahun 2014 sudah tidak bisa hidup lagi. Ada
contoh tentang ini, yakni, pengangkatan Tumpak Hatorangan sebagai Plt. Ketua
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang didasarkan atas Perppu No 4 Tahun
2009.
Untuk menggantikan kekosongan ketua KPK setelah Antasari Azhar
dihukum dan mengantisipasi tidak kuorumnya pimpinan KPK jika Bibit Samad dan
Chandra Hamzah dijadikan tersangka (dalam kasus Cicak Buaya) Presiden SBY
mengeluarkan Perppu No. 4 Tahun 2009 tentang Pengangkatan Plt. Pimpinan KPK.
Berdasarkan Perppu tersebut, Tumpak Hatorangan kemudian terpilih menjadi Plt.
Ketua KPK. Tetapi ketika ternyata Perppu itu ditolak oleh DPR maka kedudukan
Tumpak tak diusik, tetap dalam jabatannya sampai terpilihnya Busyro Muqoddas
di DPR. Tumpak terus menjadi Plt Ketua KPK meskipun Perppu yang menjadi dasar
pengangkatannya ditolak oleh DPR. Alasannya, pengangkatan Tumpak dilakukan
oleh Perppu yang masih sah berlaku karena belum ditolak DPR.
Akan muncul masalah serius, jika Perppu Pilkada kelak ditolak
oleh DPR, sebab UU Pilkada yang ada sudah dicabut oleh Perppu ketika Perppu
itu masih sah. Maka menjadi menarik ketika Didik Supriyanto dkk mengajukan
pengujian formal ke MK agar Perppu tersebut dinyatakan inkonstitusional.
Alasannya, Perppu itu tidak memenuhi syarat-syarat keadaan genting dan
memaksa sebagaimana ditentukan dalam Putusan MK No. 138/PUU/VII/2009.
Sungguh berbahaya jika kelak ada Presiden yang sembarangan
mengeluarkan Perppu saat tidak ada alasan-alasan genting yang memaksa. Jika
kelak MK membatalkan Perppu tersebut karena inkonstitusional, bisa saja MK
menghidupkan kembali UU Pilkada yang sudah dibatalkan oleh Perppu tersebut.
Alasannya sederhana. Keputusan DPR ketika menolak Perppu adalah keputusan
politik yang hanya bisa menyatakan menolak atau menerima Perppu tanpa bisa
menghidupkan kembali UU yang telah dicabut oleh Perppu itu.
Sedangkan putusan MK adalah putusan hukum. Jika satu UU/Perppu
dinyatakan inkonstitusional oleh MK, bisa saja UU/Perppu itu dianggap tidak pernah
ada. Yang penting, pilihan vonisnya harus jelas, apakah menyatakan ”batal”
atau menyatakan ”membatalkan”.
Jika vonis MK menyatakan batal (ex-tunc) maka putusannya berlaku surut sehingga UU/Perppu
tersebut dianggap tidak pernah ada dan akibat-akibat hukum yang pernah
ditimbulkannya, seperti pencabutan sebuah UU, bisa dihidupkan kembali. Dalam
menyatakan batal itu MK, minimal dalam konklusinya, harus menyatakan bahwa
UU/Perppu batal dan UU yang dicabutnya berlaku kembali.
Tetapi jika vonis itu menyatakan membatalkan (ex-nunc) maka vonis itu bersifat
prospektif, berlaku ke depan, sehingga akibat-akibat yang sudah terjadi
dianggap sah dan diteruskan sampai selesai atau sampai ada UU baru. Ada
contoh jelas tentang ini. Melalui putusan No. 01-021-022/PUU/I/2013 tanggal
15 Desember 2004 MK menyatakan batal UU No. 20 Tahun 2002 tentang
Ketenagalistrikan dan memberlakukan kembali UU yang sebelumnya telah dicabut
oleh UU tersebut.
Harus diingat, pengujian yang dilakukan oleh Didik Supriyanto
bukanlah uji materiil, melainkan uji formal. Ia tak mempersoalkan pilkada
langsung atau tak langsung. Yang dipersoalkan adalah prosedur dan
syarat-syarat keluarnya Perppu yang dinilainya inkonstitusional dan lebih
merupakan selera politik presiden.
Didik sebenarnya dikenal sebagai pendukung fanatik Pilkada
Langsung. Maka itu, MK harus menutup mata seperti dewi keadilan, tak boleh
terseret arus politik. Pikiran MK harus sepenuhnya yuridis-konstitusional
yang salah satu pijakannya adalah kemanfaatan hukum bagi bangsa dan negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar