Pelindo
Incorporated
Rhenald Kasali ; Pendiri
Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
|
KORAN
SINDO, 06 November 2014
Sudah sejak dahulu saya risau melihat kita terlalu lama
mengabaikan pembangunan ekonomi kelautan. Kita hanya bisa tertegun-tegun
menyaksikan ikanikan kita dicuri nelayan-nelayan asing.
Kita hanya bisa melongo melihat terumbu-terumbu karang rusak.
Lalu pelabuhan-pelabuhan kita juga belum menjadi tempat transit utama bagi kapal-kapal
kontainer yang ingin mengirimkan barang-barang ekspornya ke mancanegara.
Intinya adalah potensi kelautan kita begitu kaya. Lokasi pelabuhan kita
begitu strategis.
Tapi, kita hanya berhasil memetik sedikit manfaat saja dari
kekayaan yang melimpah ruah dan posisinya strategis tersebut.Buktinya begitu
banyak nelayan kita yang masih hidup di bawah garis kemiskinan.Lalu daya
saing pelabuhan-pelabuhan kita juga masih tertinggal ketimbang pelabuhan
milik negara-negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia.
Belum lagi sumber daya kelautan lainnya, mulai dari garam yang
masih impor hingga energi, mineral, pariwisata, dan sebagainya. Pokoknya kaya
sekali. Itu sebabnya ketika pemerintahan Jokowi-JK menawarkan gagasan
Pendulum Nusantara, semangat saya betul-betul terbakar. Itu pula sebabnya
saya tergelitik membuat tulisan panjang lebar tentang mengapa kita perlu
membangun ekonomi kemaritiman sampai beberapa serial.
Seperti kali ini, saya juga masih ingin melanjutkan topik yang
sama. Hanya kali ini saya ingin to the point. Saya ingin mengulas tentang
banyaknya manfaat yang bisa kita peroleh jika memiliki BUMN yang besar di
sektor kelautan. Salah satunya adalah BUMN yang mengurusi masalah
kepelabuhanan. Saat ini kita memiliki empat BUMN kepelabuhanan.
Ada PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) I, III, dan IV, serta PT
Indonesia Port Corporation (IPC yang dulu dikenal sebagai Pelindo II).
BUMN-BUMN itu kini jalan sendiri-sendiri. Belum bersinergi, apalagi
terintegrasi walau harus kita angkat jempol, CEO-nya bagus-bagus. Padahal di
depan mata saya melihat banyak manfaat seandainya empat BUMN tadi bisa
menjadi satu. Bagaimana caranya? Saya tidak tertarik untuk membahas soal ini.
Bagi saya, silakan saja untuk bisa bersatu memakai skema merger
atau akuisisi. Silakan juga kalau pilihannya adalah dengan membentuk holding
company yang masing-masing berbagi kepemilikan saham atau dengan model joint
operation. Bagi saya, yang penting mereka bersatu sehingga menjadi besar dan
bisa saling sinergi satu sama lain. Bukan berjalan sendiri sesuai maunya BUMN
kepelabuhanan negeri tetangga yang jadi besar karena kita bersaing, karena
kita serahkan pasar kita sebesar-besarnya untuk mereka.
Besar, tapi Lincah
Apa saja manfaatnya? Pertama, meningkatnya nilai dari empat
perusahaan pelabuhan kita, baik dari sisi ukuran, volume bisnis, kinerja
maupun ekuiti dan asetnya. Ingat, kita sekarang hidup di abad global dalam
fase regional. Persaingan di era ini jelas semakin sengit.
Pada era ini, ukuran dan efisiensi menjadi faktor kunci. Jadi,
bukan lagi small is beautiful.
Sangat merepotkan kalau kita punya banyak perusahaan, tetapi ukurannya
kecil-kecil. Perusahaan-perusahaan seperti ini pasti bakal sulit bersaing di
pasar global. Malah yang terjadi perusahaan-perusahaan itu akan bersaing satu
sama lain. Harusnya kita mulai bangun dan bertanya-tanya, janganjangan kita
telah dikerjai negeri tetangga.
Bertanyalah mengapa ekonomi maritim mereka menjadi sangat besar,
sekali lagi sangat besar, sementara kita sangat karut-marut, logistic cost
kita sangat mahal. Menjadi besar itu menguntungkan. Di industri migas, untuk
memperkuat daya saingnya, dua perusahaan raksasa asal Amerika Serikat (AS),
Exxon dan Mobil Oil, memilih bergabung pada 1998.
Kini, per Juni 2014, aset Exxon Mobil mencapai USD358,98 miliar
atau sekitar Rp4.308 triliun. Ini berarti nyaris 2,5 kali APBN kita untuk
tahun 2014. Dengan aset sebesar itu, Exxon Mobil mempunyai cukup modal untuk
mengembangkan teknologi fracking yang memungkinkan mereka mengeluarkan minyak
dan gas dari sela bebatuan karang nun jauh di perut bumi.
Hal yang di masa lalu tidak mungkin dilakukan karena mahalnya
biaya. Kini, berkat teknologi fracking, pasokan energi baru di AS jadi
berlimpah. Kini AS kaya dengan gas alam. Cadangan mereka diperkirakan cukup
hingga 100 tahun ke depan.
Dengan ukuran sebesar itu, Exxon Mobil jelas siap bertanding
dengan perusahaan migas lainnya. Misalnya dengan Shell dari Belanda, Total
asal Prancis, BP dari Inggris atau Chevron yang sama-sama dari AS. Di India,
Tata Motor sedang mengembangkan industri automotifnya. Untuk memperkuat brand
image-nya, pada 2008 Tata Motor mengambil alih Jaguar dan Land Rover dari
Ford Motor, AS.
Nilai pengambilalihannya mencapai USD2,3 miliar. Guna memperkuat
posisinya di industri hiburan, Disney dan Pixar memutuskan bergabung. Di
industri investment bank, JP Morgan dan Chase pun akhirnya memilih bergabung
ketimbang bertarung sendirisendiri. Jadi, untuk bertarung dalam kancah bisnis
global, size does matter.
Besarnya skala usaha akan sangat menentukan apakah kita akan
memenangi persaingan atau hanya akan menjadi pecundang. Dulu memang sempat
mencuat anggapan bahwa elephant can’t dance. Kalau ukuran perusahaan sudah
terlalu besar, bakal sulit untuk bergerak lincah. Sulit untuk efisien.
Struktur organisasinya berlapis- lapis, terlalu birokratis,
sehingga pengambilan keputusan menjadi lambat. Akibatnya banyak peluang yang
menguap begitu saja, tak bisa mereka tangkap. Tapi, kini, ungkapan tersebut
tak berlaku lagi. Perkembangan ilmu manajemen dan solusi yang berbasis
teknologi informasi membuat banyak perusahaan raksasa tetap mampu bergerak
dengan lincahnya.
Sederet Manfaat
Kedua, semakin besar ukuran perusahaan, semakin besar pula
kapasitasnya untuk memperoleh pendanaan. Baik dari sumber-sumber dalam negeri
maupun luar negeri. Pada awal Oktober lalu, Pelindo III baru saja menerbitkan
obligasi internasional (global bond)
senilai USD500 juta atau sekitar Rp6 triliun. Saya menilai emisi obligasi ini
sangat sukses.
Kelebihan permintaannya (oversubscribed)
sampai 13 kali. Bagi saya, ini bukti bahwa bisnis infrastruktur, terutama
pelabuhan, sangat diminati investor. Saya membayangkan seandainya empat BUMN
pelabuhan kita bergabung menjadi satu, katakanlah dengan nama baru Pelindo
Incorporated, dana yang berhasil dihimpun pasti akan jauh lebih besar.
Kita akan mempunyai modal yang cukup untuk membangun
pelabuhan-pelabuhan di antero Nusantara dan menjadikan posisi Indonesia
sangat strategis dalam lalu lintas perdagangan dunia. Ketiga, dengan memiliki
satu perusahaan yang mengelola pelabuhan, sinergi yang tercipta pasti akan
lebih optimal. Bukan seperti sekarang, yang satu lari ke barat, lainnya lari
ke timur.
Contohnya, saat ini berth
windows atau kesepakatan waktu khusus untuk berlabuh dan berlayar
antarpelabuhan saja tidak sama. Ini tentu mengganggu efisiensi kerja maskapai
pelayaran. Keempat, peningkatan kecepatan pelayanan dan pengambilan
keputusan. Pelayanan memang menjadi salah satu isu krusial bagi
pelabuhan-pelabuhan kita. Celakanya, antarpelabuhan di negara kita
seakan-akan tidak ada standarnya.
Misalnya menyangkut pengurusan dokumen impor barang, kadang ada
yang bisa selesai dalam satu hari, tetapi pernah pula sampai berbulanbulan
tak juga tuntas. Ini tentu meningkatkan ketidakpastian dalam
berbisnis—hal yang sangat tidak disukai kalangan dunia usaha.
Kelima, prinsip complementarity
bisa segera dijalankan. Siapa yang jadi hub di antara mereka akan
menguntungkan bangsa ini ketimbang hanya bersaing, lalu semua memilih hub
Singapura atau Iskandaria di Malaysia. Itu sebabnya langkah ini menjadi amat
strategis dan tentu ada masalah geopolitis yang harus kita ukur. Kemajuan
yang kita capai jelas merupakan ancaman bagi negeri tetangga.
Kalau pesawat Sukhoi buatan Rusia yang mulai banyak ordernya
bisa kandas di Gunung Salak, apalah artinya kita bila harus berhadapan dengan
negeri-negeri kecil namun punya dukungan aliansi kekuatan Barat yang
tersembunyi? Saya kira kita bisa menyebut sederet manfaat lainnya jika
penggabungan empat BUMN pelabuhan bisa kita wujudkan.
Misalnya, dari sisi perolehan perpajakan akan naik,
produktivitas pelabuhan juga meningkat, biaya logistik menurun, dan banyak
lagi lainnya. Saya kira, ibarat baja, dia harus ditempa selagi panas. Jadi
harus segera, jangan tunggu sampai dingin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar