“Mission
Impossible” Menteri Pertanian
MT Felix Sitorus ; Praktisi
Agribisnis dan Peneliti Sosial Independen,
Alumnus Program Doktoral Sosiologi Pedesaan IPB
|
SINAR
HARAPAN, 31 Oktober 2014
Mission impossible swasembada pangan 2018 sudah menanti Amran Sulaeman, menteri
pertanian (mentan) Kabinet Kerja Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) periode
2014-2019, segera setelah pelantikannya, Senin (27/10). Tidak ada waktu
mengambil napas karena Presiden Jokowi sudah tegas memerintahkan, “Kerja,
kerja, kerja!”
Pesan mission impossible
itu keras: pantang mundur, pantang gagal. Karakter Amran Sulaeman agaknya
sesuai untuk mengemban pesan itu sehingga posisi mentan dibebankan kepadanya.
Amran tampaknya adalah petarung yang banyak kerja sedikit bicara, penganut
nilai-nilai siri na pacce yang pantang mundur dan pantang gagal saat suatu
amanah sudah diemban.
Itu terbukti dari sejarah hidup yang menempanya menjadi sosok
komplet, yaitu akademikus, praktisi bisnis, sekaligus politikus. Sebagai
akademikus, ia telah meraih gelar pendidikan tertinggi (doktor), pernah
mengajar, dan aktif meneliti khususnya tentang pemberantasan hama tikus.
Sebagai praktisi bisnis, ia adalah pemilik sekaligus Direktur
Utama PT Grup Tiran, meliputi 10 perusahaan yang sukses bergerak di berbagai
bidang. Salah satunya bisnis produk racun dan alat pemberantasan hama tikus.
Sebagai politikus, ia anggota DPR dari Partai Amanat Rakyat
(PAN) periode 2009-2014. Ia kemudian Ketua Tim Sahabat Rakyat Jokowi
(relawan) untuk Indonesia tengah dan timur ketika kampanye Pemilihan Presiden
(Pilpres) 2014.
“Impossible”, tapi Bisa
Dalam serial televisi Mission Impossible, semua misi adalah
impossible, tapi selalu bisa dicapai. Demikian pula dengan swasembada pangan
2018, pasti bisa dicapai asalkan, seperti dipertontonkan dalam film Mission
Impossible, Kementerian Pertanian (Kementan) tidak bekerja dengan langgam
business as usual seperti selama ini.
Karena itu, Mentan Amran Sulaeman yang berlatar praktisi bisnis sekaligus
politikus plus akademikus diharapkan berpikir out of the box sehingga tidak
terbawa ke langgam dan hasil kerja yang sama.
Swasembada pangan 2018, sebagaimana dicanangkan Jokowi di
hadapan Seknas Tani pada 4 September 2014, adalah pemenuhan seluruh kebutuhan
pangan pokok nasional, khususnya beras, jagung, kedelai, dan gula secara
domestik, tanpa impor sama sekali. Artinya, dalam tempo paling lambat empat
tahun, Amran harus mampu memimpin Kementan untuk menjadi fasilitator
sekaligus katalisator peningkatan produktivitas dan produksi pangan nasional.
Jadi. taraf swasembada dapat tercapai pada 2018.
Revolusi Manajemen
Prestasi swasembada beras pada 1984 gagal dipertahankan menjadi
swasembada berkelanjutan karena revolusi hijau pada 1970-an gagal
mentransformasikan pola manajemen usaha tani dari “tradisi” menjadi
“(agri)bisnis”.
Revolusi itu hanya berhasil mentransfer pengetahuan teknis budi
daya modern berupa paket panca-usaha tani; benih unggul, pengolahan tanah
yang baik, pemupukan yg tepat, pengendalian hama/penyakit, dan pengairan.
Akibatnya ketika Soeharto mengendurkan kendali militeristik atas petani sejak
1985, petani tak mampu menangani teknologi panca-usaha sesuai rekomendasi
baku sehingga produktivitas dan produksi padi nasional melandai. Hasilnya,
Indonesia kembali menjadi importir beras sampai sekarang.
Karena itu, untuk mencapai sasaran swasembada pangan 2018,
revolusi sistem manajemen pertanian pangan dari “tradisi” ke “agribisnis
(kerakyatan)” merupakan keharusan. Ini merupakan revolusi mental untuk
transformasi radikal perilaku manajerial petani dari “tradisi repetitif”
menjadi “inovasi progresif”. Dengan demikian, target usaha tani akan berubah
radikal, dari sekadar “cukup” menjadi “surplus” yang meningkat. Usaha tani
pangan lantas dikelola sebagai unit agribisnis modern, sarat inovasi dan
modal, yang memungkinkan peningkatan produktivitas, produksi, dan akhirnya
pendapatan petani.
Untuk transformasi manajerial tersebut, Mentan Amran Sulaeman
dan Kementan perlu mengambil sejumlah langkah. Pertama, perlu ada
transformasi organisasi petani dari kelompok tani/gapoktan menjadi Badan
Usaha Milik Petani (BUMP). Ini sebagai wujud institusional agribisnis
kerakyatan. Dengan menjadi BUMP, usaha tani pangan berubah dari unit-unit
individualistik (banyak, tapi kecil-kecil) menjadi unit perusahaan skala
menengah. Ini membuat posisi tawarnya seimbang dengan perusahaan-perusahaan
agribisnis hulu (perbenihan, pupuk, pestisida), hilir (perdagangan dan
pengolahan), serta pendukung (perbankan dan penelitian).
Kedua, menghubungkan (bridging) BUMP dengan BUMN bidang
pertanian (Pupuk Indonesia, Sang Hyang Seri, Pertani, Bulog, BRI) dalam skema
kemitraan bisnis. Ini memungkinkan peningkatan akses petani kepada benih,
sarana produksi, modal, dan pasar hasil. Kinerja petani akan terdongkrak
karena ada jaminan ketersediaan asupan (input) dan pemasaran hasil (output).
Ketiga, membangun kerja sama segitiga BUMP, Balai Penyuluhan
Pertanian, dan Balitbang Pertanian untuk membangun sistem pertanian presisif
sebagai wujud manajemen agribisnis kerakyatan modern. Sistem yang didukung
oleh pemetaan pertanaman berdasarkan data pengindraan jauh (satelit/foto
udara) ini memungkinkan petani menerapkan teknologi budi daya terbaik dan
dapat mengambil keputusan tentang perlakuan teknis yang efisien dan efektif
untuk meningkatkan produktivitas dan produksi usaha tani.
Keempat, menjalankan program asuransi gagal panen tanaman pangan
untuk memberi perlindungan bagi petani dari kemungkinan kerugian gagal panen.
Program insentif ini mendorong peningkatan kinerja pertanian tanaman pangan.
Empat langkah revolusioner tersebut akan mewujudkan sistem agribisnis
kerakyatan yang kuat, pilar utama penyokong swasembada pangan 2018. Target
impossible ini adalah harga mati sebab kalau tidak tercapai, sebagaimana
Soekarno dan Soeharto telah jatuh akibat; antara lain masalah rawan pangan,
pemerintahan Jokowi-JK bisa bernasib sama. Tentu saja tidak ada yang
menginginkan hal tersebut terjadi, kecuali mungkin lawan politik Jokowi-JK
yang bernafsu merebut kekuasaan pada 2019. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar