Mengukur
Kebahagiaan
Komaruddin Hidayat ; Guru
Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
|
KORAN
SINDO, 07 November 2014
Jika ekonom sering meneliti indeks prestasi ekonomi seseorang
atau bangsa dengan pendekatan kuantitatif, kalangan psikolog akhir-akhir ini
melengkapinya dengan melakukan penelitian tingkat kebahagiaan seseorang atau
masyarakat.
Kalangan psikolog berangkat dari sebuah pertanyaan dan keraguan,
benarkah tingkat kekayaan materi seseorang serta-merta mendatangkan
kebahagiaan? Faktor-faktor apa sajakah yang membuat seseorang lebih bahagia?
Beberapa eksperimentasi penelitian tentang kebahagiaan itu diceritakan oleh
Richard Wiseman dalam 59 Seconds, Think
a little, change a lot (2009) yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia (Pustaka Alvabet 2014).
Suatu hari karyawan sebuah perusahaan memperoleh bonus uang.
Selang beberapa bulan kemudian mereka itu disurvei, untuk mengukur seberapa
besar dampak bonus uang tadi terhadap emosi rasa bahagianya. Secara garis
besar, mereka terbagi menjadi dua kelompok. Satu kelompok membelanjakan
uangnya untuk membeli barang, kelompok yang lain untuk membeli pengalaman
hidup, semisal rekreasi mengunjungi daerah wisata atau tempat lain yang baru.
Masing-masing dibagi pertanyaan untuk menjawab tingkat
kesenangan dengan bonusnya tadi. Hasilnya? Ternyata mereka yang membeli
pengalaman baru seperti berwisata kesan kebahagiaannya lebih tinggi dan lebih
lama–bahkan masih tersimpan. Sementara yang membeli barang kebahagiaannya
hanya berlangsung sebentar. Terlebih lagi ketika melihat barang sejenis,
produk mutakhir, maka kebanggaannya kian menurun. Diceritakanlah orang yang
membelanjakan uangnya untuk berwisata.
Ketika bertemu teman atau orang yang juga pernah berkunjung ke
tempat yang sama, mereka bisa berbagi kesan dan pengalaman, meskipun
kunjungannya itu sudah lama. Saya pun lalu teringat orangorang tua dari desa
yang pernah pergi haji. Setiap ketemu teman atau tetangga yang baru pulang
haji, kenangan indah itu seakan muncul kembali, lalu mereka terlibat obrolan
yang asyik dan penuh antusias.
Biaya pergi haji sekitar Rp35 juta rupiah itu telah memberikan
deposito kebahagiaan yang sekali-sekali mudah dibuka dan dirasakan kembali.
Kalau saja uang sebesar itu dibelikan benda yang tidak produktif, sekadar
memenuhi selera kepemilikan terhadap barang baru, pasti durasi kesenangannya
amat pendek. Karena nilai sebuah barang akan terkena penyusutan, seperti
mobil yang harga jualnya pasti turun setelah dipakai.
Apa yang diceritakan kembali oleh Richard Wiseman itu juga
mengingatkan saya pada teman-teman yang pernah melakukan perjalanan wisata
bareng, baik di dalam maupun di luar negeri. Beberapa bulan lalu bersama
sekitar 30 orang saya jalan-jalan ke Eropa, mengunjungi lima negara dengan
kendaraan bus.
Setiap membuka kembali album foto-fotonya, atau ketemu teman
seperjalanan, kenangan indah itu muncul kembali, serasa ingin mengulanginya
lagi. Begitu pun ketika dua minggu lalu bersama teman-teman berkunjung ke
Belitung dengan pantainya yang bersih dan indah, tempat syuting film Laskar
Pelangi, kenangan itu masih terasa sampai sekarang. Jadi,jumlah uang yang
sama, ketika dibelanjakan akan mendatangkan tingkat kebahagiaan dan kepuasan
batin yang berbeda.
Membeli pengalaman hidup yang baru itu rupanya lebih tinggi dan
tahan lama tingkat kebahagiaannya ketimbang membeli barang yang bersifat
sekunder atau konsumtif. Lebih lanjut Richard Wiseman meneliti, mengapa orang
lebih senang membeli barang yang bermerek atau bergengsi ketimbang untuk
membeli pengalaman? Lagi-lagi, beberapa temuannya cukup menarik diketahui,
meskipun tidak selalu benar dan sesuai dengan budaya Indonesia.
Menurutnya, mereka yang memilih belanja barang ketika
mendapatkan bonus, diduga kuat memiliki hubungan dengan masa kecilnya yang
kurang bahagia dan kurang percaya diri sehingga memerlukan kompensasi berupa
barang berharga untuk mendongkrak tingkat percaya dirinya. Temuan survei ini
tentu saja bisa benar, bisa salah. Namun kita pun dengan mudah bisa melakukan
pengamatan sendiri terhadap orang-orang di sekeliling kita.
Benarkah mereka yang senang membeli barang bermerek itu memiliki
hubungan dengan defisit percaya diri di masa lalunya? Kalau saja asumsi
teoretis ini digunakan untuk meneliti para pejabat tinggi negara dan kalangan
anggota DPR di Senayan, mungkin teori ini patah, tidak valid. Saya rasa
mereka itu bermental pejuang, jauh dari sikap materialistik.
Namun bisa juga justru semakin memperkuat kebenaran teori ini. Bahwa
membeli mobil dan barang-barang mewah itu mencerminkan kualitas pribadinya
yang terbentuk tidak dengan tiba-tiba. Pesan pokok dari cerita survei di atas
ialah setiap orang pasti menginginkan hidup bahagia, karena orang yang
bahagia lebih kreatif dan tidak mengancam bagi lingkungannya.
Mereka lebih senang memberi, bukannya meminta dan menerima. Yang
pasti, rakyat akan senang jika para pemimpinnya itu kaya harta dan kaya hati,
sehingga lebih ikhlas mencintai dan melayani rakyatnya. Bukannya meminta, tetapi
memberi. Bukannya menindas, tetapi
menolong dan menyelamatkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar