Mengevaluasi
Kurikulum 2013
Tati D Wardi ; Dosen
FTIK UIN Jakarta
|
KOMPAS,
01 November 2014
SUKA atau tidak, Kurikulum 2013 sudah diterapkan pemerintah per
Juli 2014. Meskipun menuai banyak kontroversi, produk kebijakan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono itu hampir
pasti akan terus berlanjut.
Presiden Joko Widodo telah menyatakan komitmennya. Artinya,
Kurikulum 2013 akan menjadi panduan pendidikan Indonesia (setidaknya) untuk
lima tahun ke depan. Sekarang yang perlu dipikirkan adalah bagaimana kita
bisa mengevaluasi penerapan Kurikulum 2013. Sebagai sebuah kebijakan publik,
sudah semestinya Kurikulum 2013 dievaluasi secara berkala. Apa yang perlu
dievaluasi?
Aspek ”kebaruan” yang ditawarkan dalam Kurikulum 2013 antara
lain memosisikan standar kompetensi lulusan siswa sebagai acuan dalam
kegiatan, isi, dan penilaian proses pembelajaran. Materi-materi pelajaran
yang dulu terpisah kini disampaikan secara tematik-integratif dan dinilai
secara deskriptif. Ini tak pelak mensyaratkan atmosfer pembelajaran yang
interaktif, eksploratif, dan yang menumbuhkan siswa inkuisitif.
Menciptakan kondisi seperti ini tidak bisa seketika dan instan.
Ada beberapa elemen yang berjalin kelindan yang turut menentukan sukses
tidaknya penerapan Kurikulum 2013: guru, siswa, buku, dan wali murid. Keempat
elemen itulah yang perlu kita evaluasi satu per satu.
Guru merupakan pemegang mandat langsung pelaksanaan Kurikulum
2013. Tanpa guru dengan kesiapan memadai, Kurikulum 2013 hanya berhenti
sebagai konsep belaka dengan seperangkat buku pegangan mengajar dan buku
siswa, tetapi tanpa pihak yang mengoperasikannya. Menyadari hal itu,
Kemdikbud melakukan beberapa tahapan pelatihan terhadap guru. Dimulai dengan
pengumpulan narasumber, yakni para ahli (pendidik, sejarawan, jurnalis,
ilmuwan, peneliti, dan aktivis perempuan) yang terlibat dalam perancangan ide
dasar Kurikulum 2013. Para narasumber ini lalu memberikan pencerahan kepada
akademisi yang terpilih untuk menjadi instruktur nasional. Selanjutnya
instruktur nasional melakukan pelatihan guru sasaran seluruh Indonesia.
Persoalannya, masa pelatihan guru ini, yang bervariasi dua
minggu hingga dua hari, terhitung singkat. Dalam rentang waktu pelatihan
tersebut, instruktur nasional melatih guru perihal bagaimana Kurikulum 2013
diterapkan di kelas. Namun, bisakah dari pelatihan yang singkat itu terjadi
perubahan paradigma mengajar guru seperti yang diharapkan?
Evaluasi tentang siswa
Salah satu cara mengetahuinya adalah dengan melakukan evaluasi
tentang siswa. Ini terkait langsung dengan bagaimana guru mempraktikkan
Kurikulum 2013 di dalam kelas. Perubahan kurikulum berangkat dari pemikiran
bahwa kurikulum yang ada tidak lagi relevan dengan kebutuhan untuk mendidik
manusia Indonesia masa depan.
Dalam rantai perubahan Kurikulum 2013, siswa otomatis berada di
akhir. Ketika sampai pada siswa, wajah asli penerapan Kurikulum 2013 terkuak.
Sudah menjadi rahasia umum, siswa Indonesia umumnya cenderung pasif. Ajakan
guru berinteraksi aktif yang disyaratkan dalam Kurikulum 2013 bisa saja tidak
disambut antusias oleh siswa.
Di sini akan tampak kualitas guru yang menginterpretasikan dan
mempraktikkan Kurikulum 2013 di dalam kelas. Bisa saja karena merasa
frustrasi, guru kemudian menyalahkan siswa dan akhirnya mereka kembali
menerapkan pembelajaran lama. Karena itu, perlu ditanyakan kepada siswa
tentang pengalaman mereka mengikuti pembelajaran dengan Kurikulum 2013.
Apakah, misalnya, siswa merasa sudah difasilitasi untuk mengamati, menanya,
mengolah, menyajikan, menyimpulkan, dan mencipta di dalam kelas?
Begitulah mata rantai penyebaran dan pelatihan Kurikulum 2013:
dimulai dari narasumber, kemudian instruktur nasional, sampai ke guru yang kemudian
menyampaikannya kepada siswa.
Setidaknya ada dua kemungkinan yang akan muncul dari proses ini.
Pertama, pembelajaran Kurikulum 2013 bisa saja memunculkan penafsiran yang
tidak monolitik. Kedua, terdistorsinya pemahaman konsep mendasar Kurikulum 2013.
Kemungkinan pertama ini terhitung netral. Interpretasi yang
tidak tunggal bisa mengindikasikan bahwa guru kreatif dan memiliki
kemandirian berpikir. Kemungkinan kedua, terjadi kekeliruan pemahaman
terhadap pembelajaran Kurikulum 2013 yang efeknya adalah pemiskinan makna dan
penyederhanaan praktik Kurikulum 2013 itu sendiri. Satu hal yang perlu
dicatat, Kurikulum 2013 memang menyediakan panduan rinci kepada guru. Ini
mungkin membantu guru pemula. Namun, bagi guru yang sudah berpengalaman,
keserbalengkapan panduan semacam ini justru malah mengungkung kreativitas dan
independensi mereka dalam mengajar.
Aspek lain yang perlu mendapatkan evaluasi adalah buku. Jika
guru merupakan pemegang mandat, peran buku adalah rujukan utama apa itu isi
mandat dan bagaimana diterapkan. Bagi guru dan siswa, buku memediasi kegiatan
pembelajaran di dalam kelas—apa yang mau dipelajari jika tak ada buku?
Komitmen Kemdikbud adalah memenuhi pengadaan buku siswa dan pegangan guru
dari pencetakan hingga pengirimannya. Yang perlu ditanyakan adalah kualitas
buku dan penggunaannya oleh guru dan siswa. Kita sudah dengar tentang
banyaknya salah ketik (typo) dan kontroversi isi yang tidak sensitif—contoh
topik ”pacaran sehat” dengan gambar siswa berkerudung. Kemdikbud sudah
seharusnya mempunyai tim evaluasi untuk perbaikan kualitas buku pegangan dan
siswa.
Selanjutnya orangtua. Sebagai wali murid, orangtua adalah bagian
tak terpisahkan dari pendidikan siswa. Penting sekali terjalin kerja sama
yang baik antara guru dan orangtua. Itu dimulai dengan menyamakan pemahaman
tentang apa yang baru dengan Kurikulum 2013, dan bagaimana konsekuensinya
dengan pendidikan dan penilaian siswa.
Banyak orangtua yang mungkin masih belum memahami kaitan antara
penyatuan mata pelajaran yang dulu terpisah (tematik-integratif) dan tujuan
yang hendak dicapai, yakni menumbuhkan kemandirian berpikir dan karakter
siswa. Kebingungan orangtua termasuk memahami penilaian tentang kompetensi
siswa. Bahwa penilaian siswa bukan hanya pada pengetahuan, melainkan juga perilaku
dan keterampilan mereka. Dan juga bahwa penilaian tersebut bukan dalam bentuk
angka, melainkan dalam bentuk deskripsi capaian kompetensi siswa—contoh siswa
pandai membandingkan dengan memperkirakan panjang suatu benda dengan istilah
sehari-hari.
Evaluasi sudah seyogianya jadi bagian integral dari sebuah
kebijakan. Tak terkecuali kebijakan Kurikulum 2013. Dengan mengevaluasi
penerapannya pada pihak-pihak yang terlibat seperti guru, siswa, buku, dan
wali murid, kita setidaknya bisa mencegah kemungkinan kurikulum baru ini
terjebak pada sindrom praktik lama dalam label baru. Dengan begitu, Kurikulum
2013 diharapkan bisa mewujudkan kebaruan yang dijanjikannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar