Mengatasi
Jalan Buntu
Refly Harun ; Pengajar
dan Praktisi Hukum Tata Negara
|
KOMPAS,
07 November 2014
“In Mexico an air
conditioner is called politician because it makes a lot of noise but doesn’t
work very well” Len Deighton, 1986
PERSETERUAN antara kubu Koalisi Merah Putih dan Koalisi
Indonesia Hebat belum juga reda, bahkan kini memasuki babak baru.
Kedua kubu ribut dalam soal pemilihan pimpinan alat kelengkapan
DPR. Karena buruk bermusyawarah, kini parlemen terbelah. Menguasai semua
pimpinan DPR ditambah MPR, ternyata, tak membuat kubu Koalisi Merah Putih
(KMP) berhenti. Pimpinan alat kelengkapan DPR pun ingin disapu bersih tanpa
menyisakan peluang bagi Koalisi Indonesia Hebat (KIH) walaupun ada pemenang
pemilu di sana (PDI-P).
Namun, langkah sapu bersih tak berlangsung mulus. Soalnya, kubu
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menyeberang ke KIH setelah kongres di
Surabaya mengantarkan Romahurmuziy (Rommy) sebagai Ketua DPP PPP menggantikan
Suryadharma Ali (SDA). Rommy membawa gerbong PPP ke haribaan Presiden Joko
Widodo. Parlemen pun terbelah dua menjadi lima fraksi melawan lima fraksi.
Pasal 232 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 (UU MD3) dan Pasal
284 Ayat (1) juncto Pasal 251 Ayat (1) Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2014
tentang Tata Tertib menyatakan bahwa pengambilan keputusan sah apabila
diambil dalam rapat yang dihadiri lebih dari setengah jumlah anggota rapat
dan terdiri atas lebih dari setengah jumlah fraksi. Dengan ketentuan ini, apa
pun yang diputuskan DPR nantinya, dari kubu mana pun, terancam tidak sah. DPR
terancam deadlock. Walaupun kubu KMP terlihat unggul karena menguasai
pimpinan DPR, ketentuan tentang kuorum fraksi itu mengarahkan DPR pada jalan
buntu.
Pada awalnya, kuorum lebih dari separuh unsur fraksi tersebut
selalu bakal tercapai karena KMP mengontrol enam dari sepuluh fraksi yang ada
di DPR, yaitu Fraksi Golkar, Gerindra, Demokrat, PAN, PKS, dan PPP.
Dalam banyak kesempatan, Fraksi Demokrat menyatakan sebagai
penyeimbang. Namun, dalam pemilihan pimpinan dan alat kelengkapan DPR,
Demokrat selalu berada di sisi KMP. Baik dalam pemilihan pimpinan DPR maupun
MPR, Fraksi Demokrat selalu dapat mengambil keuntungan sebagai penyeimbang
karena tinggal bergabung dengan kelompok yang kuat.
Faktor PPP
Skenario KMP menguasai DPR secara permanen, termasuk sapu bersih
alat kelengkapan, menjadi tidak mulus lantaran PPP keluar dari koalisi.
Dengan keluarnya PPP, otomatis jumlah fraksi dalam KMP hanya lima. Kuorum pengambilan
keputusan tidak akan tercapai apabila kubu KIH melakukan ”boikot”. Kendati
sudah ada hasil kongres PPP yang lain, dengan ketua Djan Faridz, yang
tercatat di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia saat ini adalah versi
Rommy. Sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan sebaliknya, kubu Rommy
yang dipandang legal dari sisi hukum.
Dalam sidang 28 Oktober lalu, pimpinan DPR dinilai berpihak
karena menerima pengajuan nama-nama untuk alat kelengkapan DPR dari PPP kubu
SDA. Rommy dan pendukungnya tidak terima dengan akomodasi pimpinan DPR.
Mereka beralasan sudah keluar Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H
Laoly yang mengesahkan kepengurusan PPP yang dipimpinnya. Pengesahan tersebut
sudah tentu memunculkan reaksi karena begitu cepat, hanya berselang satu hari
setelah Yasonna, yang berasal dari PDI-P, dilantik sebagai Menkumham.
Dari perspektif hukum, baik pimpinan DPR maupun Menkumham
melakukan kesalahan karena tidak menunggu terlebih dulu putusan mahkamah PPP.
Pasal 32 UU No 2/2011 soal tentang Perubahan UU No 2/2008 tentang Parpol
jelas menyatakan bahwa perselisihan parpol, termasuk perselisihan
kepengurusan, diselesaikan oleh mahkamah parpol. Keputusan mahkamah parpol
bersifat final dan mengikat internal terhadap perselisihan yang berkenaan
dengan kepengurusan.
Mencari solusi
Seharusnya pertikaian ini diselesaikan secara musyawarah-mufakat
sesuai dengan tradisi demokrasi Pancasila. Hal ini jadi tidak jalan karena
kubu KIH hanya diberikan lima dari 65 alat pimpinan yang ada. Itu pun, seperti
dikatakan Wakil Ketua Fraksi PDIP Saleh Basarah, hanya diperuntukkan bagi
PDI-P. Padahal, menurut Saleh, mereka hanya menuntut 16 pimpinan alat
kelengkapan, tetapi tidak diberikan oleh kubu KMP.
Lalu, jika musyawarah-mufakat tidak terjadi, apa yang harus
dilakukan? Penting tetap dinyatakan bahwa musyawarah-mufakat adalah jalan
yang terbaik. Kedua belah pihak harus mengupayakan semaksimal mungkin agar
terjadi musyawarah-mufakat itu, terutama di level pimpinan puncak, yaitu
ketua-ketua umum parpol. Jika musyawarah-mufakat tidak tercapai, jelas akan
terjadi kebuntuan politik di DPR karena kedua kubu didukung jumlah fraksi
yang sama.
Kebuntuan politik tersebut tentu harus dipecahkan dengan
mengambil jalan eksternal. Pertama-tama yang bisa dilakukan adalah mengajukan
kembali judicial review UU MD3 ke Mahkamah Konstitusi menyangkut pemilihan
dengan sistem paket. Saya menilai pemilihan inilah yang merupakan awal dari
segala kekisruhan.
Pemilihan sistem paket sengaja didesain KMP untuk melanggengkan
jalan mereka menguasai parlemen. Dalam pemilihan pimpinan DPR, model paket
ini telah memunculkan ironi. Partai pemenang pemilu (PDI-P) sama sekali tidak
terwakili dalam unsur pimpinan. Padahal, pada periode DPR 2009-2014, parpol
pemenang pemilu otomatis menduduki kursi ketua DPR, dengan empat wakil
berasal dari partai pemenang kedua hingga kelima.
Walaupun MK pernah menolak pengujian UU MD3 yang diajukan PDI-P,
bukan berarti tidak ada peluang bagi permohonan dikabulkan. Putusan
sebelumnya tersebut sama sekali tidak menyinggung konstitusionalitas sistem
paket. Yang diperkarakan adalah hilangnya kesempatan parpol pemenang pemilu
untuk duduk di pucuk pimpinan Dewan dan alat kelengkapan.
Apabila jalan pengujian undang-undang tidak dilakukan, sementara
kebuntutan parlemen tetap berlangsung, yang pada gilirannya akan menghambat
kinerja pemerintahan Jokowi nantinya, tak ada jalan lain, Presiden Jokowi
dapat mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) jika
kondisi memang genting dan memaksa. Namun, saya pribadi tak mendukung
penetapan perppu itu karena akan melibatkan Presiden Jokowi dalam pertikaian
internal di DPR dan belum tentu produktif. Langkah menetapkan perppu harus
jadi jalan terakhir jika negara memang mengalami kegentingan yang memaksa.
Jalan pengadilan dan jalan perppu belum tentu menjadi penyelesai
akhir yang adil dan bisa diterima kedua belah pihak. Bisa saja jalan itu
memicu pertikaian baru. Karena itu, saya tetap mendorong kedua kubu untuk
berdamai soal alat kelengkapan. Musyawarah-mufakat kiranya harus menjadi
jalan yang terus diperjuangkan karena itulah praktik demokrasi Pancasila yang
utuh.
Apabila voting tetap
ingin dilakukan, harus dipastikan bahwa musyawarah-mufakat memang tak mungkin
terjadi. Dalam kondisi seperti ini sangat absah untuk dilakukan voting. Sayangnya, mekanisme voting yang ada, yaitu memilih paket
calon pimpinan alat kelengkapan DPR, hanya memunculkan politik zero sum game, satu meniadakan yang
lain. Kalau saja pemilihannya dengan prinsip one person one vote, jalan tidak akan buntu karena tidak akan ada
boikot. Alat kelengkapan sudah pasti akan diisi baik oleh wakil KMP maupun
KIH.
Untuk menutup tulisan ini, sekali lagi penting diimbau kepada
kedua kubu untuk duduk satu meja menyelesaikan segala perbedaan dengan musyawarah-mufakat.
Kalau tidak, sindiran Len Deighton pada awal tulisan ini pantas pula
disematkan kepada politisi kedua belah pihak, baik dari KMP maupun KIH. Semua
politisi itu hanya bisa membuat kegaduhan, tetapi tidak mampu bekerja baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar