KIH
Gagal Tanggapi Perubahan
Bambang Soesatyo ; Sekretaris Fraksi Partai Golkar DPR;
Presidium Nasional KAHMI 2012–2017
|
KORAN
SINDO, 04 November 2014
Koalisi Indonesia Hebat (KIH) gagal menanggapi perubahan.
Dominasi Koalisi Merah Putih (KMP) di DPR saat ini adalah wujud nyata dari
desain perubahan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang sejak awal ingin
membangun pemerintahan dengan koalisi kekuatan politik yang ramping. KIH seharusnya
menerima status minoritas mereka sebagai konsekuensi logis dari perubahan
itu.
Publik tentu masih ingat saat Jokowi mengatakan bahwa dia ingin
koalisi partai politik (parpol) pendukung yang ramping dalam pemerintahannya.
Tentu saja ada konsekuensi dari desain koalisi ramping versi Jokowi itu.
Secara tidak langsung, bagian terbesar dari kekuatan politik di DPR didorong
untuk berada di luar pemerintahan. Ekstremnya, disuruh menjadi oposisi.
Desain itu sudah terwujud.
Karena itu, fakta bahwa gabungan parpol dalam KMP menggenggam
posisi mayoritas mestinya disikapi dengan lapang dada. Jokowi bersama parpol
anggota KIH harus siap mental menghadapi kenyataan itu. Bahkan, KIH pun harus
mau realistis atas status minoritas mereka di DPR.
Sesungguhnya, dengan koalisi ramping, Presiden Jokowi secara
tidak langsung sudah mendesain kesetaraan eksekutif-legislatif. Pemerintahan
Presiden Jokowi ingin mengakhiri ”dominasi” eksekutif atas legislatif yang
sudah berlangsung puluhan tahun. Akibat dominasi eksekutif itu, DPR sudah
dianggap kehilangan daya kritisnya, bahkan dilecehkan dengan sebutan tukang
stempel.
Dengan semakin dewasanya demokrasi di Indonesia, dominasi
eksekutif itu harus diakhiri. Pemerintah dan DPR harus setara. Kesetaraan
eksekutif-legislatif menuntut DPR yang kuat dan independen. Itulah
konsekuensi perubahan yang lahir dari konsep koalisi ramping yang diinginkan
Presiden Jokowi. Desain inilah yang mestinya dipahami oleh semua komponen KIH
di DPR RI.
Jika KIH kemudian berulah dengan membentuk pimpinan DPR
tandingan untuk mengganggu ritme kerja DPR, parpol-parpol itu praktis gagal
menanggapi perubahan. KIH bisa dituduh sebagai kekuatan politik yang menolak
kesetaraan eksekutif-legislatif. Padahal untuk mengikis perilaku korup para
oknum birokrat sekaligus mewujudkan good
and clean governance, kesetaraan eksekutif-legislatif menjadi syarat
mutlak. Dan, agar bisa efektif menjalankan fungsi check and balances, DPR tidak boleh lagi berada di bawah ketiak
pemerintah.
Manakala DPR tidak bisa efektif melaksanakan fungsi checks and balances itu, akan ada
banyak masalah yang berpotensi tidak bisa dipertanggungjawabkan oleh
presiden. Skandal Bank Century, praktik kartel minyak dan kartel-kartel
komoditi lainnya adalah beberapa contoh kasus paling faktual yang sampai
sekarang tidak bisa dipertanggungjawabkan oleh pemerintah, karena kekuatan
DPR untuk melakukan pengawasan terus dipreteli oleh pemerintah.
Kesetaraan eksekutif-legislatif dalam arti yang
sebenar-benarnya, belum pernah terwujud. Sepanjang era Orde Baru, DPR
betul-betul hanya jadi tukang stempel. Bahkan 10 tahun periode kepresidenan
Susilo Bambang Yudhoyono pun, fungsi checks and balances sama sekali tidak
efektif karena dipreteli oleh apa yang dikenal dengan Sekretariat Gabungan
Koalisi Parpol Pendukung pemerintah.
Peran DPR yang salah itu tak boleh berulang. Unsur KMP di DPR
periode 2014-2019 sudah mempertegas posisinya. KIH pun seharusnya demikian,
mendukung pemerintahan Presiden Jokowi-JK tanpa harus kehilangan daya
kritisnya. Tidak pada tempatnya KIH mencurigai KMP ingin menjegal pemerintah.
Potensi Instabilitas
Karena itu, tindakan KIH membuat gaduh di DPR patut
dipertanyakan motifnya. Gaduh di DPR sekarang ini berpotensi mengganggu
pemerintahan Jokowi-JK yang startnya terbilang mulus. Sangat kontras. Ketika
semua menteri Kabinet Kerja mulai bekerja, KIH malah berulah membuat DPR
terbelah.
KIH seharusnya sadar bahwa membuat pimpinan DPR tandingan adalah
manuver politik yang berpotensi menimbulkan kerusakan sangat serius.
Pasalnya, manuver KIH ini bisa menyeret pemerintahan Jokowi-JK ke pusaran
konflik yang berujung pada stagnasi jalannya pemerintahan mereka.
Manuver KIH dengan membentuk pimpinan DPR ilegal secara tidak
langsung menempatkan pemerintah dalam posisi dilematis. Pasalnya, KIH secara
tidak langsung memaksa Jokowi-JK untuk membuat pilihan yang sangat ekstrem,
yakni mengakui pimpinan DPR yang sah, atau mengakui pimpinan DPR ilegal yang
dibentuk koalisi parpol pendukung Jokowi-JK.
Mengakui pimpinan DPR yang sah adalah sebuah keniscayaan
konstitusional bagi Jokowi-JK. Sebaliknya, Jokowi-JK bertindak
inkonstitusional jika mengakui pimpinan DPR ilegal bentukan KIH.
Presiden-Wapres akan terlibat konflik dengan pimpinan DPR yang sah. Jokowi-JK
diyakini tidak akan mau terperangkap dalam konflik seperti ini.
Persoalannya pun akan bertambah rumit bagi Jokowi-JK jika
menolak mengakui pimpinan DPR versi KIH. Di sinilah dilema bagi Jokowi-JK.
Bukan tidak mungkin akan terjadi keretakan hubungan antara Jokowi-JK dan
parpol anggota KIH yang mendukung mereka.
Lebih dari itu, medan konflik baru yang dibangun KIH akan
merusak mekanisme kerja sama DPR dengan pemerintah, terutama terkait
anggaran. KIH harus menyadari bahwa jika pemerintahan Jokowi-JK yang baru
seumur jagung ini stagnan atau terhenti akibat konflik di DPR, kerusakan yang
ditimbulkannya akan sangat serius. Manuver KIH berpotensi menimbulkan
instabilitas. Setelah itu, muncul kecenderungan berikutnya berupa tumbuhnya
kesan ketidakpastian. Kalau kecenderungan seperti itu berlarut-larut,
kepercayaan semua komponen publik terhadap pemerintahan Jokowi-JK akan
merosot mendekati titik nol.
Dengan begitu, manuver KIH sekarang ini bukan hanya tidak
cerdas, tetapi benar-benar tanpa pertimbangan yang matang dan arif. Presiden
dan Wapres sudah menunjukkan rasa tidak nyaman akibat masalah yang berkembang
di DPR. Jokowi-JK seharusnya fokus pada langkah-langkah awal pemerintahan
mereka. Tetapi akibat ulah KIH di DPR, kedua pemimpin mau tak mau harus
menyisihkan waktu untuk mengamati perkembangan di DPR.
Padahal, ada beberapa persoalan strategis yang harus segera
ditangani Jokowi-JK, misalnya soal menipisnya stok BBM bersubsidi yang mulai
menimbulkan ekses di sejumlah daerah. Untuk mengatasi persoalan ini,
pemerintah harus bekerja sama dengan DPR. Bagaimanapun, isu BBM bersubsidi
adalah pertaruhan politik bagi pemerintah sekarang ini.
Kalau benar alokasi BBM bersubsidi habis sebelum waktunya,
pilihannya hanya dua. Menambah alokasi BBM bersubsidi dengan persetujuan DPR,
atau memberi akses kepada Pertamina untuk menjual premium dan solar dengan
harga keekonomian. Jokowi-JK, KIH seharusnya lebih peduli pada
persoalan-persoalan seperti ini, daripada sekadar membuat gaduh di DPR.
Sayang, dengan suasana di DPR yang sarat konflik seperti harihari ini,
pemerintahan Jokowi-JK tentu saja dipaksa menunggu sampai situasinya
kondusif. Persoalannya, sampai kapan KIH akan berhenti berulah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar