Kerja
4.0
Mohammad Nuh ; Dosen
Jurusan Teknik Elektro ITS
|
JAWA
POS, 06 November 2014
SATU minggu lebih Kabinet Kerja telah bekerja. Kita berikan
kesempatan dan dukungan kepada pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wapres
Jusuf Kalla untuk merealisasikan janji-janjinya saat kampanye. Ada hal yang
menarik untuk dicermati saat Presiden Joko Widodo mengumumkan para menteri
–anggota kabinet yang akan membantunya. Beliau memberi nama Kabinet Kerja,
dengan semangat kerja, kerja, kerja. Ungkapan ’’kerja’’ yang diulang beberapa
kali itu menarik untuk disimak.
Ungkapan ’’kerja’’ yang diulang beberapa kali biasanya digunakan
untuk membangunkan orang atau sekelompok orang yang sedang tidur atau
bermalas-malasan (semacam weak-up call)
untuk segera bangun atau bangkit karena waktunya harus bekerja. Bisa juga
untuk menegaskan satu-satunya jawaban terhadap suatu persoalan sehingga
jawaban tersebut harus diulang beberapa kali.
Dan itu benar! Dari sudut apa pun, tantangan dan persoalan
bangsa yang sangat besar dan rumit tersebut harus dihadapi dengan kerja.
Persoalannya adalah kerja seperti apa yang bisa menjawab tantangan dan
persoalan, yang memberikan hasil (output)
maksimal dan yang bisa memberikan dampak (outcome)
terbesar. Kerja bukanlah untuk kerja itu sendiri, tapi kerja untuk
menghasilkan sesuatu sebagai jawaban terhadap tantangan dan persoalan.
Meminjam rumus dasar dalam Teori Sistem, yaitu hubungan antara
input [I(s)], proses [X(s)], dan output [Y(s)] bahwa output Y(s) merupakan
perkalian antara input I(s) dan proses X(s), atau Y(s)= I(s).X(s). Dengan
rumusan tersebut, tidak selamanya proses itu pasti menghasilkan sesuatu,
tetapi tanpa proses bisa dipastikan tidak akan menghasilkan sesuatu. Dengan
demikian, proses itu hanya untuk memenuhi syarat perlu, tetapi belum memenuhi
syarat cukup (necessary but not
sufficient).
Kerja itu ibarat sebuah proses, yang dengan kerja semata tidak
menjamin membuahkan hasil yang dibutuhkan untuk menjawab tantangan dan
persoalan. Masyarakat pada umumnya tidak terlalu hirau terhadap kerja itu
sendiri, it’s your own business.
Biasanya yang mereka butuhkan adalah hasil dari kerja itu.
Evolusi Kerja
Dalam dinamikanya, kerja telah mengalami evolusi seiring dengan
perkembangan ilmu, teknologi, manajemen, kepemimpinan, ketersediaan sumber
daya, kultur, dan peradaban. Evolusi tersebut ditandai dengan versi sehingga
muncul Kerja 1.0, Kerja 2.0, demikian, dan seterusnya.
Kerja 1.0 (Kerja Versi 1.0) adalah kerja nir (tanpa): visi,
pemahaman substansi persoalan, perencanaan, dan target. Pokoknya kerja, tanpa
berpikir panjang. Kerja versi tersebut biasanya dilakukan masyarakat
tradisional dengan tingkat kultur dan peradaban yang masih rendah dan penuh
’’kepasrahan’’. Hasil Kerja 1.0 itu dicirikan dengan rendahnya tingkat
keberhasilan dan keberlangsungan, hasilnya hanya bisa untuk memenuhi
kebutuhan jangka pendek, sangat rentan terhadap kompetisi, dan hampir bisa
dipastikan sebagai pecundang dalam era kompetisi.
Kerja 2.0 adalah kerja yang berbasis pada input (input based), yaitu kerja dengan
berpandangan bahwa peningkatan output hanya bisa dicapai dengan meningkatkan
input. Proses dianggapnya sebagai sesuatu yang tetap dengan apa adanya (given).
Contoh sederhananya adalah seorang petani dengan modal lahan 1
hektare menghasilkan Rp 10 juta per tahun. Untuk menaikkan penghasilan
menjadi Rp. 20 juta per tahun, yang dia lakukan ialah menambah lahan dari 1
hektare menjadi 2 hektare. Secara matematika sederhana, pandangan tersebut
tidak salah. Hanya, dia belum mengenal prinsip intensifikasi yang bersumber
dari prinsip efisiensi dan optimasi.
Kerja 2.0 itu biasanya dilakukan oleh mereka yang bekerja tanpa
visi meskipun sudah mengenal dasar-dasar manajemen.
Kerja 3.0 adalah kerja yang berorientasi kepada hasil (output based). Pada versi itu,
ketersediaan input tidak dijadikan sebagai kendala utama dalam mencapai
target, tetapi lebih berfokus kepada pemanfaatan kemajuan manajemen,
kepemimpinan, dan teknologi untuk mencapai target. Dengan luas lahan yang
sama 1 hektare, dengan Kerja 3.0, hampir bisa dipastikan hasilnya jauh lebih
besar.
Kerja 3.0 adalah kerja berdasar visi, tidak terjebak pada
hal-hal yang sifatnya kekinian, berpikiran terbuka, dan adaptif terhadap
kemajuan manajemen, kepemimpinan, serta teknologi.
Kerja 4.0 adalah kerja yang berorientasi kepada dampak (outcome
based). Bukan sekadar hasil yang menjadi target utama, namun seberapa jauh
dampak yang ditimbulkan dari hasil tersebut, atau dalam bahasa agama adalah kemanfaatan
dan kemaslahatan yang dihasilkan.
Pembangunan jembatan adalah contoh sederhana dari Kerja 4.0.
Jembatan itu adalah hasil (output),
tetapi arus orang dan barang yang menjadi semakin banyak dan lancar adalah
dampak dari jembatan tersebut. Yang menjadi pertimbangan bukan sekadar
jembatannya, tetapi kemanfaatan dan kemaslahatan maksimal yang menjadi
pertimbangan utamanya. Untuk itu, harus dimanfaatkan jejaring dan sinergitas.
Dalam Kerja 4.0, visi yang kuat, jelas, dan terukur menjadi
dasar utama. Visi tersebut harus mampu diterjemahkan dalam tahapan-tahapan
teknis yang berkesinambungan secara jelas dan terukur. Jangan sampai kita
hanya menang dalam pertempuran, tapi kalah dalam peperangan (you may win the battle, but you’ll loose
the war).
Dalam mengelola bangsa dan negara, sudah saatnya digunakan
pendekatan Kerja 4.0. Sebenarnya kita sudah punya Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional 2005–2025 (Undang-Undang No 17 Tahun 2007) sebagai visi
bangsa. Tetapi, tampaknya, kita lebih tertarik kepada visi-misi presiden lima
tahunan dan terkadang lepas (disconnect)
dari apa yang sudah diamanahkan dalam UU tersebut.
Bahkan, kita lebih tertarik kepada kehebohan kerja yang dikemas
ala infotainment, bukan pada
substansi hasil kerja itu. Saking hebohnya, terpaksa harus melakukan
labelisasi program yang selama ini sudah berjalan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar