Jerusalem,
Jerusalem
Trias Kuncahyono ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
05 November 2014
Setiap kali ingat Jerusalem, setiap kali pula ingat yang ditulis
pemazmur, ”Berdoalah untuk kesejahteraan Jerusalem: biarlah orang-orang yang
mencintaimu mendapatkan sentosa.” Setelah beberapa kali melihat dan
mengunjungi Jerusalem, benar yang dikatakan pemazmur: Jerusalem memang harus
didoakan.
Sesuai namanya, Jerusalem adalah ”Kota Perdamaian”. Namun,
inilah ironisnya, justru di kota ini perdamaian nyaris tak pernah tinggal
begitu lama walaupun hadir. Padahal, Jerusalem adalah kota tempat Pangeran
Perdamaian akan datang nanti di akhir zaman. Namun, di kota yang menjadi awal
mula kebahagiaan ini, cinta diagungkan sekaligus kebencian dipelihara.
Hari Kamis pagi lalu menjadi saksi betapa kebencian dipelihara,
bahkan disuburkan, orang-orang Israel. Pada hari itu, Israel menutup wilayah
yang dikelola umat Muslim di Kompleks Masjid Al-Aqsa. Ini kali pertama sejak
tahun 2000 ketika Ariel Sharon yang kemudian menjadi perdana menteri disertai
1.000 polisi memasuki kompleks yang oleh umat Muslim disebut Haram al-Sharif,
yang di dalamnya berdiri Masjid Al-Aqsa dan Dome of the Rock.
Tindakan Sharon itulah yang kemudian melahirkan gerakan
perlawanan, Intifadah kedua, yang sering disebut Intifadah Al-Aqsa, 28
September 2000 sampai 8 Februari 2005, dengan 3.000 orang Palestina dan 1.000
orang Israel tewas, ditambah 64 orang asing.
Tindakan Israel, Kamis lalu, sebagai buntut bentrokan antara
para remaja Palestina dan polisi Israel. Bentrokan menyusul tewasnya Moataz
Hejazi, pria Palestina, ditembak polisi. Ia dituduh menembak aktivis Israel,
Yehuda Glick, yang mengampanyekan orang Yahudi diperbolehkan berdoa di
Kompleks Masjid Al-Aqsa.
Kompleks Al-Aqsa, Jerusalem Timur, dan Tepi Barat direbut Israel
pada perang 1967. Setelah perang Kompleks Al-Aqsa dikembalikan dan dikontrol
Kementerian Wakaf Jordania. Meski demikian, orang Yahudi boleh masuk ke
kompleks masjid, tetapi dilarang sembahyang di dalamnya. Inilah yang dituntut
kelompok Yehuda Glick didukung kelompok ultrakanan.
Meski PM Israel Benjamin Netanyahu menyatakan tidak akan
mengubah keadaan yang sudah berlaku sejak 1967, tindakan penutupan kompleks telah
menyulut api permusuhan.
Harap diketahui bahwa tidak ada tempat di Jerusalem yang lebih
sensitif dibandingkan Temple Mount (Bukit Kuil) atau Haram al-Sharif itu,
yang dalam bahasa Ibrani oleh orang Yahudi disebut Har haBayit, Tempat yang
Sangat Suci. Inilah tempat paling suci di Jerusalem Kuno, Jerusalem Timur.
Paling tidak empat agama menggunakan tempat ini sebagai ibadah: Yudaisme,
Kristen, Romawi (dahulu), dan Islam.
Sedikit api tepercik di sini, dalam waktu cepat akan berkobar,
membakar tak terkendali. Perang besar, yang bahkan bisa lebih besar dari
perang Gaza, akan pecah di titik terpanas di Jerusalem itu apabila kedua
belah pihak tak mampu menahan diri dan mendinginkan hati. Proses perdamaian
yang sudah bertahun-tahun dilakukan pun akan tak ada gunanya.
Jerusalem akan terbakar lagi untuk kesekian kali. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar