Harapan
Buruh Migran
Anis Hidayah ; Direktur
Eksekutif Migrant CARE
|
KOMPAS,
07 November 2014
PATUT disyukuri, proses demokratisasi berjalan cukup matang di
negeri ini. Hiruk pikuk politik yang mengiringi kontestasi pemilu yang
dikhawatirkan banyak orang akan merobohkan pilar demokrasi akhirnya tak
terjadi. Bagi buruh migran Indonesia, Presiden Joko Widodo adalah harapan
untuk perubahan nasib dan perlindungan lebih baik. Ini tecermin setidaknya
dari antusiasme buruh migran Indonesia di luar negeri berpartisipasi pada
Pilpres 2014 yang meningkat tajam. Pada pemilu-pemilu sebelumnya, mereka
sering absen.
Keterlibatan buruh migran pada kontestasi politik yang baru saja
usai memiliki makna mendalam. Ada harapan besar terhadap presiden terpilih
untuk membebaskan mereka, terutama yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga
migran Indonesia, dari segala bentuk diskriminasi, eksploitasi,
kriminalisasi, pelanggaran hak asasi manusia, dan perbudakan yang selama ini
menjerat secara sistematis.
Kemiskinan yang mengantarkan jutaan warga Indonesia, terutama
perempuan, yang terpaksa bekerja di luar negeri merupakan masalah utama yang
harus dijawab pemerintahan baru. Terbatasnya ketersediaan lapangan pekerjaan
serta belum terpenuhinya hak atas pendidikan secara baik dan merata
mengakibatkan migrasi menjadi pilihan akhir dan penuh risiko. Artinya,
menjawab benang kusut migrasi harus dimulai dari penanggulangan kemiskinan
dengan menyediakan lapangan pekerjaan dan pemenuhan hak atas pendidikan bagi
warga negara yang merupakan bagian dari skema pembangunan manusia.
Ketersediaan sumber daya manusia Indonesia yang kompatibel akan
menempatkan migrasi bukan jalan akhir di tengah kebuntuan, melainkan sebuah
pilihan. Ini jadi salah satu pernyataan pokok Sekjen PBB Ban Ki-moon di New
York, September 2013. Ia mendesak agar migrasi jadi pilihan bagi siapa pun,
bukan keterpaksaan dan beban karena biaya mahal dan ketiadaan jaminan
perlindungan.
Biaya termahal
Tak dapat dimungkiri, hingga kini migrasi identik dengan
industri yang menguntungkan bagi pihak yang berbisnis menempatkan buruh
migran, yang celakanya dilegitimasi undang-undang. Adalah UU No 39/2004
tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri
yang hingga hari ini melegalkan praktik pengambilan keuntungan secara
besar-besaran dari buruh migran dan mengesampingkan perlindungan HAM bagi
mereka.
Menurut kajian Bank Dunia (2013), biaya penempatan BMI di
Indonesia menempati posisi teratas/termahal di seluruh dunia. Lebih
menyedihkan lagi, laporan Global Slavery Index 2013 yang dirilis Walk Free
menyebutkan, Indonesia memiliki jumlah penduduk yang diperbudak terbesar
ke-16 di seluruh dunia. Laporan ini mengukur perbudakan di 162 negara dengan
memperkirakan jumlah orang di setiap negara yang terkena dampak praktik
perbudakan.
Karena itu, keinginan untuk membangun manusia Indonesia jangan
sampai melupakan saudara-saudara kita yang terjebak dalam praktik perbudakan
ini.
Arah kebijakan
Sekarang adalah momentum bagi pemimpin baru bangsa ini untuk
membuktikan harapan dengan segera membangun tata kelola migrasi yang aman,
terutama bagi perempuan.
Pertama, menutup celah-celah bisnis/praktik pengambilan
keuntungan dalam seluruh tahapan migrasi dengan menghadirkan pelayanan negara
bagi warganya. Peran swasta yang selama ini dominan harus digeser dengan
pelayanan publik yang menjadi kewajiban negara. Jangan sampai daerah asal
buruh migran dibiarkan terus sebagai lahan bisnis para calo yang jadi
kepanjangan tangan para perusahaan penempatan untuk mencari mangsa.
Kedua, reformasi kelembagaan yang korup, tumpang tindih, dan
berpotensi konflik. Selama ini, migrasi dikelola 18 instansi yang antara satu
dan yang lain tak bersinergi, termasuk Badan Nasional Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia yang justru sering membuat aturan yang
hanya menempatkan buruh migran sebagai sapi perah. Untuk itu, Presiden harus
berani melakukan evaluasi terhadap kinerja dengan semangat profesionalisme bukan
koalisi.
Ketiga, diplomasi yang aktif dan protektif bagi seluruh warga
negara Indonesia di luar negeri. Kantor KBRI dan perwakilan lain di luar
negeri harus lebih menjadi rumah yang nyaman bagi buruh migran. Kita tidak
berharap kolong jembatan atau penampungan-penampungan yang tak dapat
dipertanggungjawabkan menjadi pilihan bagi mereka untuk berlindung.
Keempat, pemerintah harus menyediakan mekanisme perlindungan dan
pengawasan terstruktur dan sistematis dengan melibatkan pemerintah daerah.
Untuk itu, pemerintah harus memiliki kemauan yang sungguh-sungguh
melaksanakan hukum, bukan malah diam ketika buruh migran dikriminalkan saat
bersinggungan dengan kepentingan bisnis seperti lazim selama ini terjadi.
Langkah di atas harus dimulai dengan mengimplementasikan secara
sungguh-sungguh International Convention on The Protection of The Rights of
All Migrant Workers and Their Families yang telah diratifikasi Pemerintah
Indonesia. Rencana revisi UU No 39/2004 mestinya memiliki semangat konvensi
ini, tetapi nyatanya gagal dilakukan parlemen periode lalu.
Akhirnya, mungkin benar kita telah terlalu lama memunggungi
laut, memunggungi samudra, serta memunggungi selat dan teluk. Namun, ketika
saat ini hendak berbalik menghadap laut, jangan sampai kita menutup mata rapat-rapat
karena di seberang lautan nun jauh di sana ada jutaan buruh migran Indonesia
yang menanti perlindungan. Masih ada 265 TKI yang terancam hukuman mati,
ribuan yang dipenjara. Juga jutaan pekerja rumah tangga migran yang bekerja
lebih dari 16 jam sehari di balik dinding dingin rumah majikan yang selalu
diam ketika mereka mengalami berbagai macam pelanggaran, baik sebagai pekerja
dan terutama sebagai manusia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar