Guru
Besar Nyabu dan Ironi PT
Redi Panuju ; Pengajar Ilmu Komunikasi Unitomo Surabaya
|
JAWA
POS, 19 November 2014
PERISTIWA
tangkap tangan terhadap seorang guru besar yang sedang nyabu di sebuah kamar
hotel (plus bersama seorang mahasiswi muda belia) sontak menjadi pemberitaan
luas baik di media massa maupun media sosial. Prof Dr Musakkir yang masih
aktif menjabat wakil rektor III (bidang kemahasiswaan) Universitas Hasanuddin
(Unhas) itu menjadi terkenal dari sebelumnya.
Masyarakat
bertanya-tanya, mengapa seorang guru besar, sosok di mana setumpuk ilmu
bersemayam di dalam kalbunya, sampai bisa melakukan perbuatan yang melanggar
hukum? Perbuatan yang sudah pasti diketahui bertentangan dengan kearifannya
sebagai seorang ilmuwan, bertentangan dengan kepatutan sosial, moralitas,
agama, ekspektasi sosial, dan tentu hati nuraninya sendiri?
Masyarakat
juga mengaitkan dengan kedudukannya dalam struktur sosial perguruan tinggi
yang menjalankan fungsi memproduksi nilai-nilai luhur dan menyemaikannya
kepada seluruh warga kampusnya agar berkarakter keilmuan dan sekaligus
kesalehan. Ketika kampus justru memproduksi hal-hal yang sebaliknya, kesannya
menjadi kontras alias ironis!
Dalam
beberapa tahun terakhir ini, memang harus kita akui kampus-kampus perguruan
tinggi suntuk hanya memproduksi simbol-simbol keilmuan, sampai lupa pada
fungsi yang hakiki simbol-simbol itu. Separo energi insan kampus diforsir
mengurusi hal-hal yang bersifat administratif dan formalistik untuk memenuhi
standar baku yang ditetapkan Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti) maupun BAN
PT (Badan Akreditasi Nasional).
Seseorang
yang punya cita-cita menjadi ilmuwan, ketika masuk menjadi tenaga akademik di
sebuah kampus, harus siap menghadapi kenyataan. Petinggi kampus tidak akan
bertanya ide-ide keilmuan apa yang akan dikembangkan bila menjadi tenaga
pengajar di perguruan tinggi? Pertanyaannya: siapkah saudara memenuhi kredit
poin sekian angka kredit setiap semester? Sekian angka dari pengajar, sekian
dari pengabdian masyarakat, sekian dari penelitian, dan sekian dari
pengembangan ilmu.
Kalau
tidak bisa memenuhi syarat administratif angka kredit yang sudah ditetapkan,
tidak akan bisa mendapat jabatan akademik. Setelah mendapat jabatan akademik
pun, terus dituntut mengumpulkan angka kredit sampai 800-an hingga mendapat
gelar akademik tertinggi (guru besar dengan sebutan profesor).
Semangat
untuk mengejar simbol-simbol (misalnya, sertifikat pengabdian masyarakat
hingga sertifikat seminar) sering membebani ilmuwan. Tak ayal, untuk memenuhi
syarat-syarat itu, banyak dilakukan artifialisasi formalisme. Maka, muncul
sertifikat tembakan, jurnal-jurnalan, plagiarisme, dan sebagainya.
Karena
itu, muncul ironi dalam realitas kehidupan kampus. Individu-individu yang
idealismenya tinggi menjadi malas mengurus dokumen-dokumen formal tersebut.
Kalaupun yang bersangkutan akhirnya menjadi guru besar, biasanya itu terjadi
berkat orang-orang di sekitar yang mau menjadi relawan mengumpulkan karya-karyanya
menjadi angka kredit.
Maka,
banyak individu yang karyanya banyak menjadi acuan dan berpengaruh dalam
pemikiran teoretis yang statusnya dalam struktur sosial kampus tak pernah
naik. Ashadi Siregar sebagai contoh. Dosen Ilmu Komunikasi UGM yang karya
karyanya tak terhitung jumlahnya dan disegani mahasiswanya tersebut sampai
pensiun tak pernah menjadi guru besar. Sementara itu, murid-muridnya yang
kebetulan menjadi dosen di almamaternya sudah memakai toga kebesaran saat
upacara wisuda.
Selebihnya
juga banyak dijumpai individu yang sebelumnya tidak pernah published, namun tiba-tiba mendapat SK
Presiden menjadi profesor. Itulah realitas sosial yang berkembang di
perguruan tinggi, cenderung menjadi habitus tempat mencetak simbol-simbol
aristokrasi modern. Nuansanya lebih kental mengejar kekuasaan akademik
ketimbang membangun kearifan moral atau mengembangkan ilmu pengetahuan yang
substantif.
Karena
itu, meskipun kampus-kampus perguruan tinggi semakin mentereng dengan
bangunan-bangunan fisik dan keindahan tamannya, semakin sulit kita temukan
begawan-begawan yang mengajar kontemplasi keilmuan. Sulit rasanya kita
berharap kampus PT dapat melahirkan sosok-sosok sekaliber Karl Marx, Max
Weber, Habermas, Talcott Parson, Heideger, Ciffort Geerzt, William Lidle, dan
seterusnya.
Fungsi-fungsi
struktur PT barangkali telah mengalami disfungsionalitas karena orientasi
formalitas yang berlebihan. Karena itu, di samping semakin menjauh dari
keilmuan yang substansial, efeknya justru menjadikan beban kerja para ilmuwan
tersebut semakin berat dan sering bertentangan dengan hati nurani. Karena
beban yang berat itu, acap kali penyakit stres dan depresi menjadi bagian
dari realitas sosial PT.
Fenomena nyabu merupakan satu saja dari tindakan eskapisme (escape from stress). Lainnya, tawuran
mahasiswa, pergaulan bebas, jual beli nilai, hingga pelecehan seksual,
tersimpan bagai dalam air laut yang tenang. Tinggal tunggu terekspos di
media, peta problem PT akan semakin terkuak. Semoga Tuhan tetap melindungi kehidupan kampus kita sebagai benteng
terakhir keberadaan moralitas masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar