“Extra
Mile”
Samuel Mulia ; Penulis
kolom “Parodi” Kompas Minggu
|
KOMPAS,
02 November 2014
SEORANG laki-laki muda flamboyan menawarkan sotonya dengan penuh
semangat. Ia menawarkan dengan menjelaskan perbedaan berbagai jenis soto yang
ada di hadapannya. Saya mendengarkan penjelasannya dan kemudian memutuskan
untuk tidak memesan soto itu.
Bekerja sebatas upah
Setelah mengelilingi beberapa kios makanan, saya memilih tahu
gejrot sebagai pengisi perut di sore hari itu. Saya memilih tempat duduk
secara acak dan mendapatkannya dekat dengan kios segala jenis soto itu.
Seorang ibu datang ke kios soto itu dan menanyai segala jenis
soto yang ditawarkan. Seorang wanita muda melayani ibu itu tanpa penjelasan
apa pun, berbeda dengan pria muda di atas. Ia hanya menjawab pertanyaan yang
diajukan si pembeli tanpa merasa perlu untuk memberikan penjelasan yang
seharusnya menjadi tanggung jawabnya sebagai penjual.
Bahasa tubuhnya pun tak menyiratkan ia memiliki keinginan untuk
meyakinkan pembelinya untuk membeli. Ia seperti melakukan pekerjaan
sebagaimana seharusnya. Maksud saya, ia hanya menjawab kalau ada yang
bertanya. Ia seperti merasa ini bukan warung soto saya, apa pedulinya saya
harus melakukan pekerjaan yang lebih dari seharusnya.
Saya melihat peristiwa itu kemudian terinspirasi untuk
menulisnya, hanya berdasarkan semua kejadian yang saya lihat dengan mata
telanjang. Tentu akan ada banyak cerita di balik mengapa si pria flamboyan
dan wanita muda itu berbeda dalam menjual produknya dan meyakinkan
pembelinya.
Tetapi, yang saya lihat hanya dengan mata telanjang itu telah
mengingatkan saya bagaimana saat saya pernah bekerja di beberapa perusahaan
dengan tabiat seperti wanita muda itu. Bahkan saya menghakimi pembelinya
sejak pertama kali mereka masuk ke toko. Penghakimanlah itu yang saya gunakan
untuk memutuskan dengan cara apa dan menggunakan bahasa tubuh seperti apa
yang akan saya gunakan dalam melayani.
Sebagai karyawan, saya tak pernah dan mungkin lebih tepatnya tak
memiliki kebutuhan seperti pemilik perusahaan. Karyawan itu buat saya hanya
bekerja sebatas upah yang diterima. Jam kerja juga sesuai dengan kontrak yang
sudah disepakati bersama. Kalau pun lembur, masih saya anggap oke-oke saja.
Maka, saat saya bekerja sebagai wartawan alias karyawan, paling
sebal kalau sudah mendapat tugas di luar jam kerja. Saya berpikir waktu
istirahat malam hari saya berkurang. Waktu untuk bersantai juga berkurang.
Layani pembeli
Waktu masih menjadi mahasiswa kedokteran, paling sebal kalau
mendapat tugas jaga pada akhir pekan. Tidak bisa malam mingguan itu seperti
neraka rasanya. Apalagi mendapat giliran jaga pada malam Tahun Baru atau
hari-hari khusus seperti Hari Valentine meski dari dulu tetap jomblo.
Saya malas bersemangat meyakinkan pembeli. Saya merasa kelelahan
dan kecewa karena setelah penjelasan panjang lebar dan keramahtamahan itu tak
ada transaksi apa pun yang terjadi. Biasanya, kalau saya sudah melakukan
tugas yang masuk ke dalam kategori extra mile dan tak terjadi transaksi, maka
saya mengumpat dalam hati. Umpatannya tak perlu saya tulis di sini.
Apalagi kalau berhadapan dengan pembeli yang bawelnya setengah
mati, menawar seperti tak memiliki perasaan, bersuara mengentak dengan bahasa
tubuh seperti orang terkaya di dunia ini. Maka saya tidak melawannya dengan
kelembutan, saya malah memasang bahasa tubuh yang sama. Mengapa? Karena saya
berpikir, pembeli itu buat saya bukan raja.
Buat saya, pembeli itu raja adalah kalau pembelinya tidak tahu apa
yang mau dibeli. Karena tak tahu apa-apa, berdasarkan pengalaman akan menjadi
lebih mudah dimanipulasi. Nah, pembeli sejenis ini yang akan saya layani
dengan semangat luar biasa.
Melakukan pekerjaan yang ekstra itu buat saya sesuatu yang
melelahkan. Sebagai karyawan, saya selalu berpikir saya hanya perlu memiliki
mental karyawan, saya tak pernah perlu bekerja sebagai karyawan dengan mental
pemilik perusahaan.
Sebagai karyawan, saya hanya bekerja, saya bahkan tak memiliki
hasrat atau berantusias dalam apa yang saya lakukan. Hal yang saya pikirkan
sebagai karyawan dan penjual adalah saya, bukan pembeli. Padahal, melakukan
pekerjaan ekstra itu tak semata-mata untuk pembeli, pemilik perusahaan,
tetapi untuk saya.
Setelah saya memiliki usaha sendiri, saya mengerti dengan sangat
apa perlu dan keuntungannya melakukan pekerjaan ekstra itu. Melakukan sesuatu
yang ekstra, memiliki dua keuntungan.
Pertama, keuntungan duniawi. Melakukan pekerjaan yang ekstra
adalah sebuah cara memberi kenyamanan pembeli, memelihara kesetiaan
pelanggan, dan berakhir dengan menaikkan pemasukan dan keuntungan, serta
memberikan saya bonus.
Kedua, secara spiritual. Melakukan pekerjaan ekstra itu bukan
penyiksaan, itu waktunya melayani sesama manusia secara nyata dengan sabar.
Ini akan menjadi tabungan yang suatu hari saya perlukan ketika tiba waktunya
saya harus angkat kaki dari dunia ini.
Saya pernah dinasihati seorang pengusaha saat saya sebal karena
harus melakukan pekerjaan ekstra. Begini. ”Iman
tanpa perbuatan tak ada artinya. Layani pembeli....” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar