Desa,
Tertinggal, Transmigrasi
Ivanovich Agusta ; Sosiolog
Pedesaan IPB
|
KOMPAS,
31 Oktober 2014
BERATNYA amanat kepada pemerintah dalam Undang-Undang Desa (UU
No 6/2014) ataupun ketransmigrasian (UU No 29/2009) membuhulkan relevansi
pendirian Kementerian Desa, Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Apalagi
secara faktual telah terjadi perubahan pola pendorong transformasi desa sejak
1984, dari masyarakat kepada pemerintah. Indikasinya, bantuan pemerintah
pusat, provinsi, dan kabupaten/kota dalam anggaran desa mengisi 76 persen
(total Rp 13,5 triliun) pada tahun 2011. Adapun pendapatan dari dalam desa
hanya mencapai 18 persen (total Rp 3 triliun).
Sayang, selama ini pemerintah kesulitan memandang totalitas desa
di Tanah Air. Miopia tersebut mencakup ketidaktahuan secara pasti tentang
jumlah dan tingkat perkembangan desa hingga kesulitan menemukan kaidah
beserta jalur pembangunan desa yang khas.
Kurangnya kesadaran tentang lanskap totalitas desa menghasilkan
perencanaan pembangunan yang minimal. Selama periode Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional 2010-2014, misalnya, 24 kementerian dan lembaga
berencana memasuki hanya sekitar 12.500 desa.
Ironisnya, 54 persen desa (42.000) dimasuki Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Selain bersifat ad hoc bagi swasta (dibandingkan dengan kerja rutin birokrasi
pemerintah), program yang disokong donor luar negeri ini lebih mengedepankan
kerja konsultan daripada pembangunan desa sendiri.
Dari dokumen utang Indonesia kepada donor untuk PNPM Mandiri
Perdesaan periode 2012-2015, tertulis 69 persen utang (450 juta dollar AS)
ditujukan bagi konsultan pendamping dan tenaga ahli.
Program pemberdayaan yang bertujuan meningkatkan kapasitas warga
desa dalam persaingan pasar ini pun mengerucut kepada desa-desa maju yang
lebih mampu bersaing. Desa swasembada sebagai peringkat desa termaju hanya
berjumlah 3 persen dari semua desa. Namun, 65 persen lokasi PNPM diletakkan
pada kelas desa ini.
Berlawanan dari hal tersebut, desa swadaya masih mencapai 46
persen. Sayang kelas yang setara dengan desa tertinggal ini hanya dikunjungi
1-7 persen program pembangunan.
Kaidah pembangunan desa
Jumlah desa terus meningkat dari 69.000 tahun 2003, 70.000 tahun
2005, 75.000 tahun 2008, 80.000 tahun 2011, hingga diperkirakan 86.000 tahun
depan. Namun, perencanaan yang minim dan kebijakan berbasis persaingan
antardesa di atas telah menyempitkan akses terhadap pembangunan.
Pada masa depan, kesalahan kebijakan itu perlu diperbaiki sesuai
dengan kaidah pembangunan yang khas tersusun dari kondisi desa nusantara
sendiri. Pertama, konstitusi dan beragam peraturan perundang-undangan
turunannya senantiasa mencantumkan visi kesejahteraan warga negara sebagai
tujuan akhir pembangunan. Berdasarkan visi itu, dapat diambil kebijakan
afirmatif yang disusun khusus bagi desa swadaya atau tertinggal, baru
selanjutnya diarahkan kepada desa swakarya atau desa transisi.
Kedua, peningkatan pembangunan berlangsung serupa pada beragam tipologi
desa. Landasan evolusi desa dalam kebijakan selama ini—yaitu dari desa hutan
menuju desa sawah lalu menjadi desa industri dan jasa—ternyata tidak memiliki
bukti-bukti riil di sini.
Sebaliknya, desa-desa persawahan, perkebunan, pesisir, pertambangan,
perindustrian, dan jasa ada yang berposisi tertinggal sampai yang maju.
Konsekuensinya strategi pembangunan desa dilarang seragam. Keragaman
kebijakan desa seharusnya disesuaikan dengan tipe geografi dan tipe mata
pencarian tersebut.
Ketiga, pola pelaksanaan pembangunan desa mencipta kurva
kecepatan S. Desa tertinggal ataupun desa maju secara relatif sama-sama
lambat berproses untuk membangun. Sebaliknya, desa swakarya atau transisi
justru sangat responsif terhadap umpan-umpan pembangunan.
Perbedaan pola kecepatan tersebut menimbulkan kebutuhan
diperbesarnya alokasi pembangunan bagi desa tertinggal. Adapun pada desa-desa
transisi perlu disusun kelembagaan pengawal perubahan sosial yang sangat
cepat.
Keempat, substansi pembangunan sendiri perlu disesuaikan dengan
peringkat desa. Statistika desa menunjukkan memang terdapat substansi inti
yang harus selalu tersedia, yaitu program kesehatan, layanan transportasi,
peningkatan kapasitas pemerintah desa, dan pemberdayaan masyarakat.
Program air minum
Secara khusus pada desa tertinggal perlu ditambah program air
minum dan kelembagaan keagamaan. Pada desa transisi tambahan program yang
dibutuhkan lebih banyak lagi, meliputi listrik, pos dan telematika, energi,
pengembangan industri, kredit, perdagangan, lembaga kemasyarakatan, dan
permukiman. Desa-desa maju hanya perlu tambahan program industri, energi,
pendidikan, dan perdagangan.
Desa-desa transmigrasi selama ini mengikuti pola serupa.
Tambahan kekhasan di wilayah transmigrasi ialah dualisme masyarakat lokal dan
pendatang.
Untuk mengintegrasikan keduanya, lazim dikembangkan transmigrasi
swakarsa yang dikembangkan masyarakat sendiri. Di samping lebih mahir
mempertimbangkan potensi sumber daya lokal, transmigran swakarsa lazimnya
juga piawai menjalin hubungan dan menghindari konflik dengan warga lokal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar