Agenda
Pajak Menkeu Baru
Chandra Budi ; Bekerja
di Ditjen Pajak, Alumnus Pascasarjana IPB
|
SINAR
HARAPAN, 01 November 2014
Setelah sempat tertunda, akhirnya Presiden Jokowi mengumumkan
nama-nama menteri dalam kabinet kerjanya, Minggu (26/10). Menteri keuangan
(menkeu) yang baru dipercayakan kepada mantan wakil menkeu era SBY, Bambang
Brodjonegoro. Tentunya banyak tugas penting yang menanti menkeu baru, mulai
dari menjaga defisit APBN-P 2014 sampai pembenahan Direktorat Jenderal Pajak
(Ditjen).
Menarik di sini, Bambang Brodjonegoro, seperti yang disebutkan
Presiden Jokowi, adalah ahli desentralisasi fiskal yang berlatar belakang
akademikus. Ditambah pengalaman kerja beliau yang pernah menjadi Kepala Badan
Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, sangat diyakini menkeu baru ini
mumpuni dalam hal kebijakan ekonomi makro. Justru tantangannya adalah
bagaimana menkeu baru mengelola sektor perpajakan (pajak dan bea cukai) yang
sangat mikro. Untuk itu, menkeu baru harus mempunyai agenda pembenahan pajak
yang konkret.
Penerimaan
Tinggal dua bulan lagi, tetapi capaian realisasi penerimaan
pajak baru sekitar 70 persen dari target APBN-P 2014. Diperkirakan,
realisasinya sampai akhir tahun ini hanya 92-93 persen. Artinya, menkeu baru
harus menyiasati pengeluaran—melakukan penghematan—agar defisit anggaran
tidak membengkak.
Kejadian ini merupakan pengulangan tahun-tahun sebelumnya. Dalam
kurun waktu tiga tahun terakhir, penerimaan pajak tidak mencapai target yang
ditetapkan. Pada 2011, pencapaian penerimaan pajak 97 persen, kemudian tahun
2012 menurun hingga 94 persen. Terakhir, pada 2013, penerimaan pajak hanya
menembus 92 persen. Pertanyaan selanjutnya adalah apa yang salah dalam
pengelolaan pajak?
Setidaknya, ada dua akar masalah yang dihadapi Ditjen Pajak saat
ini. Pertama, kontribusi penerimaan pajak yang selama ini sangat tergantung
pada segelintir wajib pajak badan atau perusahaan yang berorientasi ekspor
komoditas.
Akibatnya, komposisi dalam struktur penerimaan pajak sangat
didominasi setoran wajib pajak badan ini. Saking tergantungnya pada wajib
pajak tersebut, apabila setoran pajak mereka ini turun sedikit saja maka
tidak akan mampu ditutupi setoran pajak wajib pajak orang pribadi.
Hal ini wajar terjadi karena beradasarkan bukti empiris,
diketahui sekitar 90 persen lebih penerimaan pajak berasal dari wajib pajak
badan. Hampir 85 persen setoran tersebut disumbangkan seribuan wajib pajak
badan saja. Kegagalan pencapaian target pajak dalam tiga tahun terakhir ini
diyakini sebagai akibat menurunnya setoran wajib pajak badan tadi yang
merupakan efek dari melambatnya perekonomian global.
Masalah kedua adalah munculnya gejala (symptom) demotivasi pegawai yang menyebabkan turunnya semangat
dan jiwa militansi untuk mengali potensi penerimaan pajak. Hal ini dipicu
adanya kesenjangan antara apa yang diharapkan pegawai dengan kebijakan yang
ada.
Kebijakan selama ini lebih menempatkan pegawai sebagai sumber
daya bukan aset (kapital). Padahal, ketahanan untuk mencapai hasil (grit) sangat diperlukan bagi pegawai
Ditjen Pajak ketika bertugas di seluruh Indonesia, dari ujung barat sampai
ujung timur Indonesia.
Sangat dikhawatirkan, apabila hubungan antara pegawai pajak
dengan Ditjen Pajak (engagement) ke
depan lebih didominansi ikatan tanpa emosi (shopper). Menambah kuantitas pegawai akan percuma apabila tidak
diikuti kebijakan pegawai yang menempatkan pegawai sebagai aset berharga
Ditjen Pajak.
Agenda
Fokus pertama dalam agenda pembenahan pajak menkeu baru adalah
meningkatkan kontribusi penerimaan pajak yang berasal dari wajib pajak orang
pribadi. Dengan bertambahnya porsi pajak yang berasal dari wajib pajak orang
pribadi ini, tekanan eksternal pelambatan ekonomi dunia akan sedikit
pengaruhnya terhadap pencapaian penerimaan pajak.
Selain itu, best practices
dunia, kontribusi penerimaan pajak orang pribadi selalu lebih besar daripada
perusahaan.
Peluang untuk meningkatkan penerimaan pajak orang pribadi
sebenarnya terbuka lebar.
Data terbaru BPS (2013) membenarkan pernyataan tersebut. Dari
sekitar 110,8 juta orang yang berkerja, baru 24,13 juta orang atau 21,7
persen yang terdaftar sebagai wajib pajak. Selanjutnya, dari jumlah wajib
pajak terdaftar tersebut, yang membayar pajak hanya 670.000 wajib pajak atau
2,7 persennya.
Ironisnya, sebanyak lebih 586.000 wajib pajak yang membayar tersebut
atau sekitar 87,5 persennya membayar pajak kurang dari Rp 100 juta setahun
atau hanya Rp 8,3 juta sebulan saja. Padahal, apabila dibandingkan dengan
data eksternal yang ada, terdeteksi masih banyak yang belum bayar pajak,
padahal mereka mampu.
Hasil riset Standard Chatered menyatakan, jumlah orang Indonesia
dengan penghasilan di atas Rp 200-400 juta dapat mencapai 4 juta penduduk.
Belum lagi, diperkirakan jumlah pemilik kekayaan bersih di atas Rp 9 miliar
dapat mencapai 60.000 penduduk.
Permasalahan utama yang dihadapi Ditjen Pajak dalam menggali
potensi pajak tersebut adalah kurangnya ketersediaan data eksternal. Padahal,
data tersebut sebenarnya ada dan dimiliki institusi pemerintah juga.
Contohnya, data kepemilikan kendaraan mewah yang dikuasai Dinas Pendapatan
Daerah setempat.
Ditjen Pajak sangat sulit memperoleh data tersebut, walaupun ada
aturan dalam UU Pajak tentang kewajiban setiap instansi pemerintah untuk
memberikan data terkait perpajakan ke Ditjen Pajak.
Untuk itu, menkeu dapat menggunakan wewenangnya dalam proses
alokasi dan evaluasi anggaran pemerintah daerah di mana mewajibkan mereka
memberikan data terkait perpajakan ke Ditjen Pajak.
Menkeu dapat saja menunda dana alokasi umum atau dana alokasi
khusus ke pemerintah daerah apabila ternyata mereka tidak kooperatif
memberikan data tersebut.
Fokus kedua agenda pajak menkeu baru adalah mengembalikan
motivasi pegawai. Seiring dengan revolusi mental yang dicanangkan Presiden
Jokowi, sangat tepat apabila menkeu baru segera mengimplementasikannya ke
jajaran Ditjen Pajak.
Kata kuncinya adalah menjadikan pegawai sebagai aset berharga
milik organisasi. Bradley (2008) dalam bukunya The New Human Capital Strategy menyatakan, untuk memperbaiki
kinerja karyawan dan perusahaan, perusahaan harus memperlakukan karyawannya
sebagai manusia seutuhnya. Kalau perusahaan membuat karyawannya sukses,
mereka akan bahagia. Kalau mereka bahagia, kinerjanya akan meningkat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar