Titik
Kritis APBN 2015
Mudrajad Kuncoro ; Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI);
Guru
Besar Emeritus Institut Teknologi Bandung (ITB)
|
KOMPAS,
02 Oktober 2014
RAPBN 2015 merupakan RAPBN terakhir bagi Kabinet Indonesia Bersatu II
dan kesepuluh sejak awal KIB I yang dipimpin Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono. Bedanya, RAPBN 2015 disusun pemerintahan SBY, tetapi akan
dilaksanakan pemerintahan hasil Pilpres 2014 yang dipimpin Jokowi-JK.
Masalahnya, setelah Jokowi-JK dilantik sebagai presiden-wapres ketujuh,
apakah pemerintah baru akan punya ruang fiskal dan waktu cukup untuk mengubah
APBN, sekaligus memasukkan berbagai program prioritas yang akan dilaksanakan
lima tahun mendatang seperti dijanjikan waktu kampanye?
Titik
kritis
Saya mencatat ada sejumlah titik kritis yang perlu dicermati Jokowi dan
kabinet baru. Pertama, volume APBN 2015 yang mencapai Rp 2.020 triliun jelas
terbesar dalam sejarah Indonesia. Namun, ironisnya, kemampuan stimulus
fiskalnya relatif minim. Dalam RAPBN 2015, porsi belanja pemerintah pusat
ditetapkan Rp 1.380 triliun (68 persen) dan transfer ke daerah dan dana desa
Rp 640 triliun (32 persen). Jika dirinci, belanja pusat tersedot untuk subsidi
Rp 433 triliun, belanja pegawai Rp 506 triliun, pembayaran bunga utang Rp 154
triliun, dan pendidikan Rp 119 triliun. Keempatnya menyumbang sekitar 60
persen dari total belanja negara.
Besarnya belanja birokrasi sering dikritisi karena tak sebanding dengan
tingkat pelayanan publik ke masyarakat dan kurang menimbulkan dampak
pengganda pengeluaran yang langsung dirasakan masyarakat maupun perekonomian.
Buktinya, peranan konsumsi pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB)
hingga triwulan II-2014 hanya 8 persen, padahal konsumsi rumah tangga dan
investasi mencapai 55,8 persen dan 31,5 persen. Dengan kata lain, APBN belum
menjadi prime mover ekonomi
nasional dan menimbulkan dampak pengganda yang besar bagi ekonomi rakyat.
APBN banyak tersedot untuk menggerakkan mesin birokrasi pusat dan
daerah. Usulan memangkas jumlah kementerian (misalnya dari 34 kementerian
menjadi 17) ataupun merger antar-kementerian dan lembaga (perindustrian,
industri kreatif, dan UKM; perdagangan, BKPM, luar negeri) sungguh layak dipertimbangkan.
Demikian juga menghentikan pemekaran daerah, yang hanya memperbesar transfer
ke daerah untuk belanja aparatur, membangun gedung pemda, studi banding, dan
belanja barang, serta sering tidak berdampak langsung terhadap kesejahteraan
rakyat lokal.
Titik kritis lain adalah asumsi dasar ekonomi makro yang melandasi
perhitungan RAPBN 2015, yaitu: (1) pertumbuhan ekonomi 2015 diharapkan
mencapai 5,6 persen; (2) inflasi 2015 dijaga pada kisaran 4,4 persen; (3)
nilai tukar rupiah diperkirakan stabil pada Rp 11.900 per dollar AS; (4) suku
bunga Surat Perbendaharaan Negara 3 bulan diperkirakan 6,2 persen; (5) harga
minyak mentah Indonesia 105 dollar AS per barrel; (6) asumsi lifting minyak
mentah sekitar 845.000 barrel per hari dan gas bumi sekitar 1.248.000 barrel
setara minyak per hari.
Titik kritisnya, bagaimana jika harga minyak melambung lagi di atas
asumsi, target lifting minyak dan gas tak tercapai, inflasi melonjak akibat
kenaikan tarif listrik (dan kemungkinan harga BBM dan elpiji), nilai tukar
rupiah gonjang-ganjing akibat normalisasi kebijakan moneter AS yang menaikkan
tingkat bunga menimbulkan gejolak amat tajam di sektor keuangan? Apalagi
fondasi dasar ekonomi kita belum begitu kuat diguncang gejolak ekonomi
eksternal dan internal. Analisis sensitivitas nilai tukar rupiah, suku bunga,
harga minyak, inflasi, dan lifting minyak perlu dilakukan secara hati-hati.
Reformasi
politik anggaran
Masalah mendasar politik anggaran pada era SBY adalah maraknya kapling
anggaran dan terlalu besarnya belanja wajib. Akibatnya, ruang fiskal untuk
menjalankan program-program produktif menjadi minim. Pertanyaannya, apakah
Jokowi dengan program prioritas Nawa Cita dan ahli waris ideologi Trisakti
Bung Karno akan mengubah politik anggaran yang sudah dijalankan 10 tahun di
bawah SBY?
Hingga 20 Oktober 2014, setidaknya ada enam prioritas pembangunan yang
ditetapkan SBY: (1) pertumbuhan ekonomi; (2) penciptaan lapangan pekerjaan;
(3) stabilitas harga; (4) pemberantasan kemiskinan; (5) ketahanan pangan; (6)
ketahanan energi. Masalahnya, prioritas kebijakan SBY selama 10 tahun tak
tecermin sepenuhnya dalam alokasi APBN. Ketika mengantarkan Nota Keuangan dan
RAPBN 2015 pun, SBY menjelaskan bahwa penyusunan anggaran belanja kementerian
dan lembaga dalam RAPBN 2015 masih bersifat baseline, yang substansi utamanya
hanya memperhitungkan kebutuhan pokok penyelenggaraan pemerintahan dan
pelayanan ke masyarakat.
Sembilan program prioritas Jokowi, yang disebut Nawa Cita, digagas
untuk menunjukkan ”peta jalan” perubahan menuju Indonesia yang berdaulat
secara politik, berdikari (mandiri) secara ekonomi, dan berkepribadian dalam
kebudayaan. Negara Indonesia adalah negara besar. Namun, faktanya, masyarakat
Indonesia sering tak percaya diri saat menghadapi berbagai tantangan zaman.
Oleh sebab itu, mindset rakyat harus diubah melalui revolusi mental. Jokowi
ingin mengubah dengan menanamkan pola pikir ”bangsa Indonesia adalah bangsa
yang kaya dan makmur karena rakyatnya mau berusaha. Bangsa yang rakyatnya
bekerja keras”.
Dalam konteks politik anggaran, menarik yang dikemukakan Irene S Rubin
dalam The Politics of Public Budgeting:
Getting and Spending, Borrowing and Balancing (2002). Ia mengajukan
perspektif real-time budgeting bahwa dalam politik anggaran diperlukan
penyesuaian terus-menerus atas arus keputusan dan informasi yang berasal dari
arus lain dan lingkungan ekonomi yang terus berubah. Arus (streams) dimaksud meliputi, pertama,
budget process cluster: bagaimanakah proses pengambilan keputusan APBN? Siapa
saja yang terlibat? Seberapa besar pengaruh kepentingan parpol, rakyat,
politisi, dan pendukung Jokowi diakomodasi? Fakta di DPR, partai pendukung
Jokowi (PDI-P, Nasdem, PKB, Hanura) hanya memegang 207 atau sekitar 40 persen
total kursi wakil rakyat di DPR. Seberapa kuat partai pendukung Jokowi di DPR
memperjuangkan aspirasi dan politik anggaran yang digariskan Jokowi?
Kedua, revenue cluster:
bagaimana mengestimasi berapa penerimaan negara yang tersedia tahun depan,
dengan asumsi tak ada perubahan struktur pajak dan kebijakan perubahan jenis
pajak. Apakah pajak akan dinaikkan atau diturunkan? Manakah pajak yang akan
difokuskan dan bagaimana dampaknya bagi daerah maupun golongan ekonomi yang
berbeda? Dari sisi penerimaan, perpajakan masih jadi penyumbang terbesar
dalam penerimaan dalam negeri dari 2007 hingga RAPBN 2015. Total pendapatan
negara Rp 1.762,3 triliun, terdiri dari penerimaan perpajakan Rp 1.371
triliun, penerimaan negara bukan pajak Rp 388 triliun, dan penerimaan hibah
Rp 3,4 triliun.
Sebagian besar penerimaan perpajakan masih didominasi penerimaan Pajak
Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Titik kritis yang perlu
dicermati: (1) belum meluasnya wajib pajak, dalam arti masih kecilnya jumlah
masyarakat yang memiliki NPWP dan membayar pajak karena terkait prinsip
perpajakan yang lebih mengutamakan basis PPh; (2) pencapaian target lifting
migas dan berfluktuasinya perkembangan harga minyak internasional amat
berpengaruh terhadap penerimaan migas; (3) terkait upaya pencapaian target
penerimaan sumber daya alam nonmigas, tantangan berasal dari komoditas
mineral dan batubara di pasaran dunia, belum optimalnya mekanisme pengawasan
produksi mineral dan batubara, kehutanan, perikanan, serta isu kelestarian
lingkungan hidup.
Masalah mendasarnya, rasio penerimaan pajak terhadap PDB (tax ratio) selama 2009-2014 hanya
11-12,4 persen. Padahal, negara berpenghasilan menengah umumnya 19 persen.
Terungkapnya kasus Gayus Tambunan dan Dhana Widyatmika membuktikan jaringan
mafia pajak sudah sistemik. Untuk membongkarnya, pemerintah, khususnya Ditjen
Pajak dan Kementerian Keuangan, harus kooperatif dan mau berubah. Menkeu yang
baru nanti harus berani membongkar mafia pajak, menuntaskan reformasi
birokrasi, dan mencanangkan perang melawan korupsi yang masih jauh dari usai.
Target jangka pendeknya 100 orang terkaya harus jadi 100 pembayar pajak
terbesar di negeri ini.
Ketiga, expenditure cluster:
yang mengestimasi berapa dan bagaimana alokasi belanja pemerintah pusat dan
transfer ke daerah? Pertanyaan mendasarnya, program apa yang akan dibiayai
melalui APBN dan APBD? Program utama Jokowi adalah Indonesia sehat dan
cerdas. Implikasinya, belanja kesehatan dan pendidikan perlu jadi ”ujung
tombak”, baik dalam alokasi belanja pemerintah pusat maupun strategi dan
program aksi semua kementerian. Belanja pendidikan dan kesehatan ditargetkan
hanya Rp 119 triliun dan Rp 20 triliun dalam RAPBN 2015. Alokasi belanja
kedua pos ini relatif minimalis untuk mewujudkan MDG dan meningkatkan Indeks
Pembangunan Manusia agar sejajar Malaysia, Thailand, dan Singapura.
Masalah lainnya, belanja terbesar dalam RAPBN 2015 adalah subsidi
energi yang diperkirakan Rp 363 triliun, dengan porsi subsidi BBM Rp 291
triliun dan subsidi listrik Rp 72 triliun. Ini nilai yang fantastis karena
mencakup hampir 18 persen total APBN atau 31 persen total belanja pemerintah
pusat. Hal ini tentu dapat mengganggu sustainabilitas fiskal. Inilah
tantangan utama Jokowi, yakni perlunya terobosan untuk mendorong penghematan
konsumsi BBM domestik dan diversifikasi dalam penggunaan sumber energi
non-BBM, mengurangi beban subsidi, dan memperbaiki mekanisme penyaluran
subsidi yang salah sasaran.
Penggunaan e-KTP perlu diikuti dengan single identity number, yang bisa dimanfaatkan untuk
mengidentifikasi siapa si miskin dan layak mendapatkan subsidi BBM maupun
subsidi untuk orang miskin. Fungsi alokatif dan distributif APBN perlu
dibenahi. Hal mendasar yang membuat APBN 2015 patut dipertanyakan dapat
dilihat dari kecilnya alokasi dana bantuan sosial yang hanya Rp 8 triliun
(sekitar 0,6 persen dari total belanja pemerintah pusat). Padahal, bantuan
sosial pada 2013 Rp 73,6 triliun. Angka ini relatif minimalis untuk
memberikan perlindungan dan pelayanan sosial bagi masyarakat dan pengurangan
kemiskinan.
Keempat, balance cluster:
bagaimana mekanisme membiayai defisit APBN? Apakah mengandalkan pajak atau
pinjaman (dalam negeri atau luar negeri)? Sumber ketidaksinambungan fiskal
yang perlu diwaspadai adalah beban utang dalam negeri yang peningkatannya
jauh lebih pesat daripada utang luar negeri. Penerbitan surat utang negara
(SUN) perlu dilakukan dengan penuh kehati-hatian dengan mempertimbangkan
beban pembayaran SUN yang jatuh tempo dan kemampuan APBN tahun bersangkutan.
Apalagi diberitakan, pemerintah akan menambah pembiayaan defisit anggaran Rp
16 triliun menjadi Rp 257,5 triliun dalam RAPBN-P 2015 akibat membengkaknya
belanja pemerintah. Penggeseran beban utang, baik dalam negeri maupun luar
negeri, dapat dilakukan lewat penataan ulang (reprofiling), penjadwalan kembali (rescheduling), dan restrukturisasi utang perlu dikaji mendalam
agar bebannya bisa disebar sesuai maturitas jatuh temponya. Karena itu,
strategi mengendalikan defisit anggaran di bawah 3 persen dari PDB dan
menurunkan rasio utang terhadap PDB dalam batas ”aman” perlu diteruskan.
Kelima, budget implementation
cluster: bagaimana APBN-P 2015 nanti disusun setelah Jokowi-JK dilantik?
Tim transisi dan menteri teknis dalam KIB II yang terkait dengan perencanaan
dan RAPBN 2015 perlu duduk satu meja serta berkompromi dalam menentukan
prioritas anggaran dan program pembangunan.
Untuk mendorong peran APBN sebagai stimulus pembangunan, Jokowi perlu
menitikberatkan prioritas kebijakan dengan melakukan sejumlah perubahan
politik anggaran dengan fokus lima hal di atas. Perubahan alokasi dan
prioritas belanja negara perlu segera dilakukan melalui upaya efisiensi
berbagai jenis belanja yang kurang produktif, menghilangkan sumber-sumber
kebocoran anggaran yang masih ada, memperlancar penyerapan anggaran,
meningkatkan tingkat kemudahan berusaha (ease
of doing business), meningkatkan anggaran infrastruktur yang punya daya
dorong kuat terhadap pertumbuhan ekonomi (listrik, jalan, pelabuhan, tol
laut), serta pengembangan infrastruktur pada semua koridor ekonomi.
Jokowi-JK juga perlu mengatasi hambatan investasi infrastruktur dengan
membentuk infrastructure fund, menambah pelaksanaan penawaran saham perdana
BUMN atau swasta, dan menambah jumlah dana jangka panjang, termasuk
mempermudah penerbitan obligasi daerah. Saya yakin, dengan pengalaman panjang
Jokowi-JK di pemerintahan, berbagai masalah dan pentingnya reorientasi
politik anggaran dapat dicari solusinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar