Rabu, 22 Oktober 2014

Diplomasi Poros Maritim Jokowi

Diplomasi Poros Maritim Jokowi

Ludiro Madu ;  Dosen di Prodi Ilmu Hubungan Internasional,
Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta
DETIKNEWS, 21 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


Riuh-rendah pelantikan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (20/10) perlu segera dibarengi dengan rencana/program kerja selama 5 tahun ke depan, 2014-2019. Salah satunya terkait dengan diplomasi maritim sebagai 'sokoguru' politik luar negeri Indonesia. Melalui diplomasi maritim, kebijakan luar negeri perlu diabdikan dan ditujukan untuk mencapai kepentingan nasional, yakni mencapai dan mewujudkan Indonesia yang berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Diplomasi tetap dijalankan berdasarkan politik luar negeri bebas dan aktif.

Jokowi menegaskan arti penting diplomasi maritim dalam pidato pelantikannya. Tujuan utama diplomasi maritim adalah Jalesveva Jayamahe, yaitu '...untuk mengembalikan Indonesia sebagai negara maritim. Samudra, laut, selat dan teluk adalah masa depan peradaban kita.' Selain itu, Presiden Jokowi mengajak kita mengingat himbauan '...Presiden Pertama Republik Indonesia, Bung Karno, bahwa untuk membangun Indonesia menjadi negara besar, negara kuat, negara makmur, negara damai, kita harus memiliki jiwa cakrawarti samudera; jiwa pelaut yang berani mengarungi gelombang dan hempasan ombak yang menggulung.'

Dalam pelaksanaannya, kebijakan luar negeri Jokowi perlu mempertimbangkan kesinambungan dan perubahan/reorientasi dari 10 tahun kebijakan luar negeri di era Presiden SBY. Kesinambungan berkaitan dengan upaya melanjutkan capaian positif diplomasi SBY million friends, zero enemies. Sedangkan, reorientasi kebijakan luar negeri ditempuh dalam upaya sistematis untuk mengedepankankan diplomasi maritim. Urgensi reorientasi itu adalah memperoleh manfaat sebesar-besarnya dari Komunitas ASEAN 2015 dan kerjasama multilateral-bilateral selama ini.

Kesinambungan

Tidak ada keraguan mengenai prestasi Presiden SBY dalam perumusan dan pelaksanaan politik luar negeri bebas dan aktif. Peran aktif Indonesia di ASEAN dalam 10 tahun ini telah mengembalikan kepemimpinan Indonesia di organisasi regional itu. Kepiawaian diplomasi Indonesia juga menonjol dalam keanggotaan aktif pada forum G7, APEC, MDGs dan berbagai forum multilateral lainnya. Pengakuan itu diwujudkan dalam bentuk kepercayaan kepada Indonesia sebagai tuan rumah dan ketua forum-forum multilateral itu.

Warisan SBY dalam politik luar negeri juga berkaitan dengan inisiatif dalam menyelenggarakan berbagai forum internasional. Tujuan forum itu adalah untuk promosi demokrasi (termasuk kompatibilitas Demokrasi dan Islam), pluralisme/multikulturalisme masyarakat, dialog antar-agama (interfaith), dan resolusi konflik damai sebagai modalitas utama politik luar negeri Indonesia. Bali Democracy Forum merupakan contoh nyata inisiatif global Indonesia untuk membangun arsitektur demokrasi di kawasan Asia.

Kebijakan luar negeri SBY juga terkait dengan visi-misi politik luar negeri Jokowi, yaitu menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Salah satunya adalah membangun blue economy dalam rangka konektivitas maritim APEC. Gagasan itu disampaikan SBY di Brasil, Juni 2012 sebagai inisiatif untuk memanfaatkan sumber daya alam bagi pembangunan ekonomi, kesejahteraan masyarakat, dan kesehatan lingkungan. Gagasan itu kembali diangkat sebagai agenda pertemuan APEC di Denpasar di akhir 2013. Peningkatan aktivisme diplomasi itu telah mengangkat profil negara ini sebagai the rising power, dan bahkan menjadi middle power dalam pergaulan antar-bangsa.

Reorientasi

Prestasi SBY menjadi warisan penting bagi politik luar negeri Jokowi, meskipun reorientasi tetap perlu dilakukan. Beberapa langkah reorientasi meliputi: pertama, penetapan arah dasar dan target pencapaiannya. Jokowi perlu segera membicarakannya bersama kabinetnya. Perumusan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) atau Rencana Pembangunan Jangka Panjang- Menengah-Pendek perlu dilakukan untuk memperkuat visi dan misi Pemerintahan Jokowi dan JK. Dalam konteks itu, politik luar negeri menjadi salah satu upaya nyata pemerintahan Jokowi untuk mewujudkan program kerjanya.

Kedua, menugaskan Kementerian Luar Negeri (Kemlu) sebagai leading sector dalam mengkoordinasikan pelaksanaannya melalui diplomasi maritim. Pemilihan sosok Menteri Luar Negeri yang memiliki latar belakang, pengalaman, dan networking di bidang maritim menjadi langkah awal mendasar. Beberapa nama seperti top diplomat karir senior perempuan Retno Marsudi, Yuri Thamrin, Desra Percaya, Arief Havas Oegroseno, dan Dino Patti Jalal perlu lebih dipertimbangkan ketimbang profesional dari luar Kemlu.

Ketiga, identifikasi negara-negara yang paling berpotensi diajak bekerjasama dalam rangka mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Upaya ini memerlukan kerja keras out of the box dari lingkaran konsentris politik luar negeri Indonesia selama ini. Tiongkok, AS, Singapura, Thailand, Perancis, Belanda, dan Rusia adalah beberapa negara dengan sumber daya maritim yang perlu mendapat perhatian. Langkah ini tentu saja dikaitkan dengan peningkatan intensitas kerjasama bilateral di negara-negara itu.

Harapannya adalah Indonesia sebagai poros maritim dunia benar-benar merupakan program kerja nyata bagi pemerintahan Jokowi, dan bukan slogan kampanye pilpres semata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar