Pilkada
via DPRD dan Korupsi
Bambang Widjojanto ; Komisioner KPK
|
KOMPAS,
02 Oktober 2014
DRAMA serta pertarungan ide, gagasan, intrik, dan muslihat di DPR
seputar pilkada langsung versus tak langsung usai sudah. Anggota Dewan yang
terhormat telah menjatuhkan pilihannya untuk mengusung pilkada tak langsung
melalui DPRD. Salah satu alasan penting yang selalu dikemukakan untuk
mendelegitimasi pilkada langsung adalah maraknya korupsi akibat pilkada
langsung.
Korupsi
kepala daerah
Kesimpulan itu seolah masuk akal. Faktanya, ada begitu banyak kepala
daerah dicokok penegak hukum dalam 10 tahun terakhir. Per Januari 2014,
Direktur Jenderal Otonomi Daerah mengeluarkan data yang menyatakan tak kurang
dari 331 kepala daerah/wakil kepala daerah dari 524 kabupaten/kota seluruh
Indonesia terlibat korupsi selama kurun 2004-2014.
Pertanyaan reflektif yang perlu diajukan, apakah betul korupsi yang
dilakukan kepala daerah itu secara langsung disebabkan oleh pemilihan
langsung? Bukankah biaya politik yang tinggi itu juga disebabkan partai yang
memaksa untuk minta uang ”mahar” kepada calon, jorjoran biaya kampanye untuk
mendongkrak citra calon yang ”dijagokannya”, serta pengeluaran dana yang berlebihan
dan tidak masuk akal karena ingin ”membujuk” pemilih. Adilkan jika kesalahan
itu dibebankan kepada pemilih dan ”direbutnya” hak konstitusional rakyat
untuk memilih pemimpinnya.
Jika diajukan pertanyaan sebaliknya, apakah pilkada melalui DPRD tidak
ada korupsinya? Tidak ada satu pihak pun dari kelompok pro pemilihan via DPRD
yang bisa menjawab dan memastikan bahwa pemilihan melalui DPRD bisa bebas
dari korupsi. Seorang kolega peneliti berujar, semua pilkada pada era Orde
Baru dipastikan kolusif dan koruptif karena semua calon sudah diatur sedari
awal.
Kepala daerah adalah ”hamba sahaya” dari penguasa dan elite partai yang
sudah tentu bekerja untuk kepentingan kekuasaan yang sebagian besarnya
bersifat nir-kemaslahatan rakyat.
Ada pernyataan yang meloncat dengan menyimpulkan bahwa pemilihan
langsung adalah penyebab utama kepala daerah korupsi. Dalam pengalaman Komisi
Pemberantasan Korupsi, ada sekitar 52 kasus korupsi kepala daerah yang
ditangani KPK sepanjang 2004-2014. Sekitar 81 persen kasus korupsi kepala
daerah itu berupa perbuatan melawan hukum dan atau penyalahgunaan kewenangan
sebagaimana tersebut dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana
Korupsi (UU Tipikor).
Ada sekitar 13 persen berkaitan dengan tindak penyuapan seperti tersebut
dalam Pasal 5, Pasal 6 atau Pasal 12 Huruf a dan b UU Tipikor. Sementara
sisanya berkaitan dengan tindak pemerasan yang dilakukan penyelenggara
negara.
Kasus Annas Maamun, Gubernur Riau, beberapa hari lalu ditangkap dan
dinyatakan sebagai tersangka oleh KPK. Kasusnya diduga berkaitan dengan
penerimaan suap atas pengalihan kawasan hutan tanaman industri (HTI) menjadi
kebun kelapa sawit. Kasus kepala daerah lainnya, seperti Bupati Gunung Mas
Hambit Bintih, Wali Kota Palembang Romi Herton, dan Bupati Tapanuli Tengah
Bonaran Situmeang, berkaitan dengan penyuapan pasca pemilihan dalam sengketa
pilkada di Mahkamah Konstitusi.
Kementerian Dalam Negeri menyatakan, sejak 2004 hingga Agustus 2014
atau 10 tahun sejak orde Reformasi dilahirkan, ada sekitar 3.169 anggota DPRD
provinsi dan kabupaten/kota yang terjerat hukum, yang sebagian besar
didominasi kasus-kasus korupsi. Fakta ini hendak menegaskan bahwa korupsi
yang dilakukan anggota Dewan tersebut sekitar 10 kali lipat jauh lebih banyak
daripada korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah.
Apabila menggunakan pendekatan fenomena ”puncak gunung es” dan diajukan
pertanyaan reflektif atas fakta di atas, apakah kita meyakini bahwa dari
20.257 anggota Dewan terhormat yang mewakili daulat rakyat lebih dari 240
juta orang, jumlah riil pelaku korupsinya hanya 3.169 orang?
Akuntabilitas
kewenangan
Yang agak mengerikan, ada fakta tantangan struktural yang harus
dihadapi oleh parlemen. Akuntabilitas penggunaan kewenangan anggota Dewan
belum dapat ditegakkan secara optimal karena sifat dan karakter kekuasaan
yang cenderung kolusif dan koruptif belum bisa dikelola dan dikontrol melalui
sistem yang ada di parlemen. Untuk urusan sumir manajerial, seperti ”daftar
presensi kehadiran” saja, parlemen masih belum sepenuhnya punya kemampuan
mengelola.
Belum lagi menghadapi masalah fundamental lain, seperti tak adanya
indikator serta mekanisme dan sistem yang mengatur potensi ”konflik
kepentingan” dalam penggunaan kewenangan utama parlemen. Hal ini untuk
memastikan bahwa kewenangan publik yang dimiliki anggota Dewan ditujukan
hanya guna kepentingan kemaslahatan rakyat yang diwakilinya. Karena faktanya,
selalu ada kesenjangan yang cukup lebar antara kepentingan konstituen atau
rakyat yang diwakilinya dan seluruh sikap serta perilaku anggota Dewan.
UU No 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) yang juga baru
disahkan tidak cukup maksimal mengatur sistem untuk meningkatkan
akuntabilitas anggota Dewan guna meminimalkan potensi sikap dan perilaku
koruptif dan kolusif anggota Dewan.
Lingkup dan indikator penggunaan kewenangan tidak cukup jelas dan tegas
dirumuskan sehingga potensi diskresi yang berlebihan dan tak terkontrol masih
dapat dilakukan anggota Dewan untuk mendesakkan kepentingannya sendiri
seolah-olah kepentingan institusi. Majelis Kehormatan yang awalnya bernama
Badan Kehormatan belum dapat dilihat kemampuannya dan tidak bisa diandalkan
menjaga serta menegakkan citra dan kewibawaan DPR.
Bilamana keseluruhan tantangan di atas tidak dapat dikelola dan
dikendalikan parlemen secara baik dan bertanggung jawab, dapat dipastikan
transaksi dan pasar gelap kekuasaan yang bersifat sistemik, terstruktur, dan
masif serta berkelanjutan akan terjadi dengan sempurna.
Hal inilah yang disebut sebagai korupsi politik yang potensial dipakai
untuk mengorupsi hak-hak konstitusional rakyat. Salah satunya, hak
fundamental rakyat sebagai pemilik daulat rakyat yang sejati untuk memilih
sendiri kepala daerahnya.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar