Rabu, 22 Oktober 2014

Revolusi Mental dan Pengelolaan Masa Lalu

Revolusi Mental dan Pengelolaan Masa Lalu

Fidelis Regi Waton ;  Pamong Rohani KMKI Berlin, Belajar Filsafat Politik di Humboldt-Universität zu Berlin, Jerman
SATU HARAPAN,  20 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


Benang merah program pemerintahan Presiden terpilih Joko Widodo dipadatkannya dalam wacana revolusi mental. Perubahan mental sangat penting bagi pembaharuan politik. Satu aspek strategis dan vital dalam mengimplementasikan revolusi mental dan reformasi politik adalah pergaulan dengan masa lalu.

Kuman amnesia (lupa) sejarah tetap berkembang biak di negeri kita.  Upaya sistematis untuk mengkhianati sejarah belum berhasil dibendung. Pengolahan masa lalu masih menjadi proyek yang kompleks dan komplit.

Padahal, seperti diwasiatkan pendiri negara ini, Bung Karno, kita seharusnya “jasmerah” (jangan sekali-sekali melupakan sejarah). Secara ontologis sejarah merupakan tenunan kejadian masa lampau, masa kini dan masa depan yang mengonstruksi bangunan eksistensi kita. Masa lalu adalah bagian hakiki kehidupan berbangsa dan bernegara.

“The past is never dead. It's not even past” (masa lalu tidak pernah mati. Ia tidak pernah sirna), tandas William Faulkner. Pengaruh dan akibat masa lalu senantiasa relevan. Siapa yang menutup mata terhadap masa lalu, ia akan buta terhadap masa kini dan kelak. Diktum ini bukanlah sugesi dan harus dilegitimasi secara yuridis. Di Jerman penyangkalan terhadap kejadian tragis Holocaust-Auschwitz dikategorikan sebagai pelanggaran hukum.

Setiap transformasi dari rezim otoriter ke demokrasi tidak boleh melalaikan pertanyaan seputar pergaulan dengan masa lalu. Demokratisasi yang benar dan jujur mesti mengelola masa lalu dengan segala risiko dan konsekuensinya. Kebenaran harus ditegakkan. Mitos diganti dengan fakta. Proses ini sempat dimulai Gus Dur melalui gagasan rekonsiliasi nasional yang kelak pudar di balik eufori kebebasan. Geliat reformasi politik justru bersarang pada kamuflase dan sikap inkonsistensi.

Esensi penanggulangan masa lalu adalah penyelesaian hukum: penetapan pelaku dan identifikasi korban (aktor kejahatan harus dihukum dan korban direhabilitasi), tata hukum direvisi, latar belakang kebiadaban dijelaskan dan didokumentasikan sebagai awasan dan peringatan. Institusi sipil maupun militer yang mendongkrak rezim lama harus dibersihkan. Pertanyaan tentang kesalahan dan tanggung jawab wajib dilontarkan.

Apa yang terjadi di Indonesia? Pertama, secara mendadak mencuat fenomen ekdisis (pergantian kulit). Kromosom tidak pernah digugat. Militer dan Golkar sebagai pendongkrak Orde Baru mengganti kemasan, mengelak dari kesalahan dan tanggung jawab sekaligus meloloskan diri dari jeratan hukum.

Setelah ambruknya rezim Hitler, Partai Pekerja Nasional-Sosialis Jerman bersama dengan segala organisasi pendukungnya dilarang (10/10/1945) dan ditetapkan sebagai organisasi kejahatan. Tamatnya dinasti Saddam Hussein berakibat pelarangan Partai Baath dan pembersihan segala unsur birokrasi dan struktur yang berkaitan dengannya.

Spirit Orde Baru yang militeris dan Golkaris tetap dilestarikan dalam cara berpikir dan hidup  nasional. Stigmatisasi dan tuduhan komunis begitu gampang dilontarkan. Komentar berbau rasis-agamis terus terpupuk. Penyeragaman, uniformitas, ritual upacara bendera, kekerasan, ketertiban dan kedisiplinan ala militer tetap diidealisasikan, diapresiasi dan diejawantahkan sebagai takaran hidup bersama. Reformasi politik belum menyentuh zona mental, karakter dan akhlak.

Kedua, Hitler tidak sempat diadili karena ia telah melakukan suicide, namun para aktor dan arsitek kejahatan semasa Nazi diproses secara hukum: Proses Nuernberg (1946-1949), pengadilan Adolf Eichmann di Yerusalem (1961) dan proses Auschwitz (1963-1965) di Frankfurt am

Di Indonesia merajalela realitas impunitas dan ketiadaan itikad untuk memproses aneka kasus pelanggaran hak-hak asasi manusia. Para aktor kejahatan sipil dan militer masa lalu tidak pernah diperiksa, diseret ke pengadilan dan dihukum. Mereka malah secara leluasa  melancarkan aksi penghilangan jejak hitam sejarah dan menampilkan diri bagaikan pahlawan. Tanpa rasa salah dan malu mereka menduduki, getol memperebutkan atau mempengaruhi tampuk kekuasaan.

Ketiga, korban tidak pernah direhabilitasi, malah diledek dan kembali dikorbankan dengan cara penghalangan investigasi, pembalikkan fakta dan penghilangan bukti yang dilancarkan para pelaku kejahatan bersama antek-anteknya yang berkolaborasi dengan aparat hukum yang korup. Penghargaan kita terhadap korban sangat rentan. 

Keempat, dekonstruksi penulisan sejarah sebagai sejarah pemenang tetap terpenjara dalam tagihan. Penulisan kembali sejarah harus berorientasi pada perspektif korban.

Kelima, mentalitas pencitraan masih bertengger megah. Kritik dan pengungkitan sejarah gelap serta-merta dicap sebagai desakralisasi negara dan pencorengan nama bangsa. Kebanggaan nasional justru juga harus ditunjukkan dengan ketulusan untuk mengakui dan menerima realitas kebiadaban dan ketidakberesan. 

Pergaulan yang sehat dan fair terhadap noktah-noktah hitam sejarah menjadi tanda kualitas kedewasaan dan integritas moral suatu bangsa. Segelap apapun lembaran hitam sejarah, kita tidak boleh malu untuk mengakui dan menerimanya sebagai bagian identitas bangsa dan berani mengelolanya secara sportif.

Sejarah memang tidak bisa lagi diubah, direparasi dan dikoreksi, tetapi ia harus diterima dan segala rongsokannya dibenahi. Kutukan sejarah terus mengakrabi bangsa dan negara kita, jika kita tidak serius untuk mengolah sejarah dan belajar darinya.

Sejarah tetaplah guru terbaik, namun guru cerdas ini selalu memiliki murid-murid edan yang tidak mau belajar darinya. Era baru bersama Presiden Jokowi dengan tekad luhur revolusi mental kiranya tidak mengesampingkan pengolahan masa lalu. Inilah kesempatan emas untuk menguji seberapa jauh kecerdasan kita sebagai murid sejarah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar