Minggu, 01 Juni 2014

TV Politik

TV Politik

Ubaidillah Canu  ;   Kandidat Master Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)
REPUBLIKA,  31 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Bicara tentang kampanye tidak bisa terlepas dari peran media massa. Pemilu erat kaitannya dengan persaingan untuk men dapatkan kekuasaan. Pemilu atau pemilihan umum dalam negara demokrasi sering disebut pesta demokrasi, yakni seluruh rakyat berkumpul di tempat-tempat pemungutan suara untuk menyuarakan aspirasinya, menggunakan suaranya untuk menentukan seorang pemimpin. Setelah pemilu selesai, masyarakat biasanya merasa lega dalam hati dan mengharapkan kehidupan yang lebih baik.

Sebentar lagi seluruh rakyat Indonesia akan kembali melakukan pesta rutin yang diselenggrakan oleh negara kita dalam menentukan pemimpin baru bangsa ini untuk satu periode (lima tahun) ke depan. Pada periode kali ini, begitu masif kita cermati peran media dalam memainkan isu dalam mengangkat elektabilitas dari capres dan cawapresnya masing-masing.

Seperti kita ketahui bersama, perkembangan teknologi media massa berjalan dengan pesat. Dalam masyarakat modern, media massa mempunyai peran yang signifikan sebagai bagian dari kehidupan manusia sehari-hari. Banyak ahli komunikasi yang menyatakan bahwa saat ini kita hidup dalam apa yang dinamakan masyarakat komunikasi massa. Apa yang dimaksud dengan masyarakat komunikasi massa itu?

Secara sederhana, masyarakat komunikasi massa adalah satu masyarakat yang kehidupan kesehariannya tidak bisa dilepaskan dari media massa. Masyarakat komunikasi massa, menjual dan membeli barang melalui media massa, mencari informasi mutakhir, mencari bahan untuk pendidikan, mencari hiburan, dan bahkan mencari jodoh pun melalui media massa. (Iriantara, 2007)

Media massa yang sejatinya ber fungsi sebagai informasi dan sarana memperluas wawasan dan pengetahuan, telah dipolitisasi oleh para elite politik dalam merealisasi harapannya untuk saling menjatuhkan lawannya masing-masing agar memuluskan capres dan cawapres yang akan dimenangkan. Peran media massa kini telah mengalami pergeseran peran yang sangat dramatis dari sarana informasi berubah menjadi sarana kampanye hitam (black campaign). Kampanye hitam dilakukan dengan melibatkan peran media dalam membangun opini negatif kepada para kandidat yang ingin dijatuhkan elektabilitasnya. Bahkan, tidak sesekali kampanye tersebut menjurus pada tindakan fitnah dan pencorengan nama baik. 

Bagi budaya politik kita ini menjadi lumrah dilakukan oleh para elite politik.
Kampanye hitam yang sedang marak terjadi melalui media massa di Indonesia menuju Pilpres 9 Juli mendatang ini pada dua basis, yakni basis Prabowo-Hatta dan basis Jokowi-JK. Kampanye hitam yang menyerang Prabowo-Hatta adalah tuntutan kejelasan kasus pelanggaran HAM Mei 1998 lalu, sementara itu Jokowi pun mendapat kampanye hitam tentang isu kepentingan antara Megawati dan Amerika Serikat jika Jokowi terpilih sebagai presiden. Kampanye hitam semakin mengganas di media sosial seperti Facebook dan Twitter seolah menjadi sasaran utama menyerukan kampanye hitam berisi pembenaran suatu parpol dan penjatuhan terhadap parpol lain.

Sekarang tidak ada yang namanya TV berita di Indonesia. Apa ada yang masih mengira Metro TV dan TV One itu TV berita? Bukan. Mereka lebih tepat disebut TV politik. Isinya didominasi berita gontok-gontokkan politik antara kubu Prabowo-Hatta dengan TV One alias Golkar TV, MNC TV, Global TV, dan RCTI alias Hari Tanusudibjo TV yang ikut-ikutan terjun ke politik sebagai kontestan habis manis sepah dibuang.

Sementara kubu Jokowi-JK dengan Metro TV alias NasDem TV, ikut pula Kompas TV sebagai pendukung kubu ini. Sekarang lihat saja konten siaran keduanya. Metro TV selalu memberitakan sisi baik Jokowi-JK dan melakukan konspirasi di balik agenda acara yang disiarkan stasiun TV tersebut. Begitu pula dengan TV One yang Pro Prabowo-Hatta menjadi counter issu terhadap hujatan dari kubu Jokowi-JK dan melakukan kampanye seputar kebijakan Prabowo-Hatta.

Adanya fenomena seperti ini telah menuntut rakyat Indonesia untuk semakin cerdas dan bijak dalam menentukan pilihannya. Dalam upaya peningkatan kualitas pola pikir masyarakat, perlu adanya peran media massa. Namun, pikiran masyarakat kembali diuji ketika media massa juga diserang oleh kampanye hitam yang mengatakan bahwa media ini bayaran, media itu orderan, dan lain-lain. Semuanya kembali pada rasionalitas konstituen politik dalam hal ini rakyat Indonesia.

Oleh karena itu, terlepas dari benang kusut tadi, kita tetap bisa menentukan pilihan kita yakni dengan cara menghayati bagaimana cara para calon pemimpin bertutur kata. Kritisi visi misinya, dan lihat adakah ketulusan dan empati yang terjalin ketika mereka berjumpa dengan rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar