Minggu, 01 Juni 2014

Fenomena Pendukung Jokowi

Fenomena Pendukung Jokowi

Hendardi  ;   Ketua Badan Pengurus Setara Institute
MEDIA INDONESIA,  31 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
KEMUNCULAN Joko `Jokowi' Widodo dalam panggung politik kontemporer di Indonesia tergolong unik. Bagaimana tidak, ia disebut berpotongan ndeso, dicap lugu, diragukan kemampuannya untuk menjadi seorang presiden, dituding bukan seorang nasionalis, `pemimpin penipu', dianggap sebagai `boneka', bahkan dianggap `sakit', tapi malah datang dukungan secara bergelombang hingga hari-hari ini.

Apa sih hebatnya Jokowi hingga banyak orang mengeluelukannya? Sebenarnya ia biasa saja. Seorang kawan bernama Theodorus Jacob Koekerits--biasa dipanggil Ondos (mendiang)--menemukan dan memantau bakat politik Jokowi ketika beberapa kali ia berkunjung ke Solo. Hasil pantauannya dilaporkan kepada Ketua Umum PDIP Megawati. Maka, ditariklah Jokowi ke Jakarta untuk bertarung menghadapi incumbent mantan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo.

Jokowi dan media

Rupanya kesederhanaan dan kebiasaan Jokowi blusukan yang mendekatkan sosoknya pada rakyat kebanyakan itulah yang menggugah kalangan jurnalis dan media massa. Kostum kampanye dengan baju kotakkotak--bukan mewakili kostum parpol pengusung mereka-menjadi identitas Jokowi bersama Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Kostum itu menjadi sangat populer. Mereka pun menang.

Berkat media, Jokowi ibarat superstar politik. Beberapa kebijakannya sebagai Gubernur DKI juga mendapat dukungan dari warganya seperti rumah susun, kampung deret, dan waduk. Ketika melakukan peninjauan, ia tak sungkan turun ke gorong-gorong, saat lapar makan di warteg. Ia juga membuat gebrakan lelang jabatan lurah, pelantikan pejabat di alam terbuka, dan berani mencopot jabatan wali kota.

Metode dan gaya blusukan yang dipertontonkannya, semakin banyak warga yang dijumpainya, sembari juga mendengar unek-unek mereka. Ia juga `berkonflik' dengan pihak rumah sakit yang mengabaikan pasien miskin. Ia dikesankan membela `orang kecil'. Limpahan pemberitaan itu membuat banyak orang tergugah kendati tak sedikit pula yang mencemoohnya. Namun, semua cemoohan itu dijawabnya dengan `rapopo!'

Kesan yang tampak ialah Jokowi siap menerima kritik, cibiran, dan cemoohan apa pun yang ditujukan kepadanya tanpa perlu membalas dengan kata-kata bernada marah, melainkan dengan kerja. Semua itu mendapatkan blow up dari media sehingga semakin banyak orang merindukan figur politik Jokowi.

Di balik tampang yang ndeso dan lugu, Jokowi juga bisa tampil gaul. Ia termasuk generasi muda dasawarsa 1980-an yang pernah didera penindasan politik. Namun, pada masa itu juga muncul budaya global yang sebagian terbentuk melalui musik rock termasuk heavy metal. Ketika dua kelompok musik--Guns N' Roses dan Metallica--manggung di Jakarta, Jokowi salah seorang penggemar yang berbaur dengan fan lainnya yang ikut berjingkrak-jingkrak. Dari seorang personel Metallica, ia dihadiahi gitar bas.

Barisan pendukung

Gairah partisipasi politik di Indonesia sejak Orde Baru hingga pra-Jokowi kiranya belum pernah sekuat sejak kemunculan Jokowi di Jakarta. Partisipasi politik itu tidak mereka salurkan melalui partai-partai politik, tetapi dengan membentuk kelompok-kelompok relawan. Kerelaan politik mereka langsung teridentifikasi kepada Jokowi--bukan partai-partai politik.

Mengapa mereka tidak menyalurkan kepada partai-partai politik? Karena sebagian relawan tersebut telah mendengar dan menyaksikan di televisi serta membaca berita bagaimana sejumlah pemimpin parpol menjadi tersangka korupsi, seperti kasus impor daging sapi yang melibatkan Presiden PKS, kasus Hambalang dengan tersangka Ketua Umum Partai Demokrat, serta yang terakhir kasus korupsi penyelenggaraan haji yang disangkakan pada Ketua Umum PPP.

Karena itu, fenomena relawan pendukung Jokowi juga tergolong unik. Pertama, mereka tidak mengidentifikasikan kepentingan politik kepada PDIP atau partai koalisinya. Mereka memang mendukung Jokowi, tapi belum tentu mendukung PDIP. Identifikasi politik itu juga tak lepas dari kemuakan mereka atas para pemimpin dan `kader' partai politik yang lebih berkepentingan pada kehendak berkuasa, bagi-bagi kursi, bukan blusukan menjangkau mereka yang terabaikan.

Kedua, mereka membentuk kelompok-kelompok relawan secara independen. Memang sebagian ada yang berasal dari PDIP, tapi kebanyakan bukan pimpinan atau pengurus. Bisa jadi mereka tak puas dengan model partai yang lebih didominasi trah Soekarno tersebut. Bersama relawan lainnya mereka membentuk Sekretariat Nasional (Seknas) Jokowi, Barisan Relawan Jokowi Presiden (Bara JP), Jokowi for President (JKW4P), Jokowi Ahok Social Media Volunteers (Jasmev), Jokowi untuk Nusantara (Jora), Jokowi untuk Indonesia Baru (JUIB), Gerakan Penyelamat Bangsa Menuju Indonesia Baru, Jokowi Presidenku, Posko Center Rakyat Jokowi for President, Kebangkitan Indonesia Baru (KIB), Jokowi Mania (Jo-Man), Srikandi Jokowi, dan Bangun Gotong Royong Jakarta (Bang Rojak), dan masih banyak lagi. Para relawan itu tersebar dari Aceh hingga Papua.

Ketiga, dari sisi stratafikasi sosial, mereka berasal dari lapisan pekerja, pedagang kecil, penarik becak, pengojek, pekerja profesional, jurnalis, dosen atau staf pengajar, mahasiswa, dan aktivis LSM. Bergabungnya elemen-elemen tersebut mungkin dapat saja dipandang sebagai bentuk kebangkitan populisme di Indonesia. Mereka seperti sedang memupuk harapan kebutuhan politik pada sosok Jokowi.

Keempat, partisipasi politik barisan relawan yang terus bergelombang itu disuarakan dalam satu tekad: masukkan Jokowi ke daftar bakal calon presiden (capres)! Mereka telah berperan membentuk pendapat umum mengenai Jokowi. Maka, serangkaian aktivitas politik mereka yang bergairah untuk mencalonkan Jokowi telah mengakibatkan banyak lembaga survei sulit menghasilkan tokoh politik yang dapat menandingi keunggulan Jokowi. Cepat atau lambat, Megawati sebagai pengambil keputusan juga tak dapat berpaling dari Jokowi. Pada 14 Maret lalu, pencalonan Jokowi dideklarasikan di Rumah Pitung.

Kini, para relawan itu meningkatkan kerja mereka untuk mengajak mayoritas rakyat yang berhak memilih untuk menentukan pilihan mereka kepada Jokowi. Kerja mereka akan berujung pada pemilihan presiden, 9 Juli mendatang: hari penentuan.

Tentu saja, yang menjadi pertanyaan ialah apakah semua itu cukup? Mereka harus berhitung, siapa lawan yang mereka hadapi dalam duel maut (sudden death) mendatang? Mereka harus berhitung tidak hanya atas apa kekuatan yang tampak, tetapi juga apa kekuatan tak kasatmata pada lawan mereka yang dapat saja tak mereka pertimbangkan. Bukankah, kecil atau besar, demokrasi pemilihan cenderung dicurangi dan dilanggar di mana pun?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar