Tuntutan
Pekerjaan Layak
Razali
Ritonga ; Direktur
Statistik Kependudukan dan Ketenagakerjaan BPS RI
|
REPUBLIKA,
17 Juni 2014
Meski banyak pihak mengapresiasi
kemajuan ekonomi makro yang dicapai Indonesia, namun sayangnya kemajuan
ekonomi makro itu belum berdampak banyak bagi kesejahteraan buruh. Hal ini
terdeteksi dari tuntutan buruh yang kerap mereka kumandangkan dalam berbagai
kesempatan.
Dalam kesempatan memperingati
Hari Buruh Sedunia (May Day) 1 Mei lalu, misalnya, ada 10 tuntutan yang disampaikan
buruh. Adapun ke-10 tuntutan itu dapat dikelompokkan pada soal upah, jaminan
sosial, dan kesejahteraan anak dan keluarganya. Secara keseluruhan, ke-10
tuntutan itu merepresentasikan tuntutan buruh yang mendambakan hidup
sejahtera dan bermartabat.
Ternyata bak gayung bersambut,
tun tutan buruh itu cepat diakomodir para calon presiden dan wakil presiden
dalam kampanye mereka untuk nantinya direalisasikan jika mereka terpilih. Meski
demikian, tak sedikit pihak yang belum cukup memahami bagaimana mengimplementasikan
kebijakan ketenagakerjaan untuk memenuhi tuntutan buruh dimaksud?
Pekerjaan layak
Secara faktual, tuntutan buruh
itu tampaknya baru bisa dipenuhi jika pemerintah berhasil menciptakan pekerjaan
yang layak (decent work) bagi buruh.
Adapun pekerjaan layak menurut Badan Perburuhan Internasional (ILO) secara
konseptual memenuhi empat aspek, yakni hak dasar pekerja, promosi, perlindungan
sosial, dan kesetaraan dalam tripartit.
Patut dicatat bahwa pekerjaan
layak telah dikumandangkan ILO sejak 1999. Namun, celakanya, hingga kini
pekerjaan layak itu masih jauh dari yang diharapkan. Hal ini tecermin dari
jam kerja yang terlalu panjang, perlindungan minim, jaminan sosial rendah,
promosi kurang jelas, status pekerjaan tidak pasti, pelatihan minim, dan
tempat bekerja kurang representatif.
Secara faktual, pekerjaan tidak
layak lebih banyak ditemukan pada sektor informal ketimbang di sektor formal.
Di sektor informal, pekerjaan tidak layak terutama pada pekerja bebas, yaitu
mereka yang bekerja pada orang lain/majikan/institusi yang tidak tetap (lebih
dari satu majikan dalam sebulan terakhir) dengan menerima upah berupa uang dan
atau barang dengan sistem pembayaran harian atau borongan.
Hasil Sakernas Februari 2014,
misalnya, menunjukkan sekitar 11,49 juta pen duduk bekerja pada status
pekerjaan tergolong pekerja bebas. Pekerja bebas dinilai kurang layak karena
pekerjaannya tidak stabil dan kurang aman (precarious work).
Sementara pada sektor formal, pekerjaan
tidak layak terutama teridentifikasi pada pekerja dengan sistem outsourcing. Diketahui, pekerjaan outsourcing tergolong kurang layak
kerena rentan di PHK dan tanpa pesangon, serta tidak memperoleh perlindungan
sosial.
Sejatinya, mereka yang bekerja
pada pekerjaan tidak layak umumnya memperoleh gaji yang kurang memadai, pekerjaan
bersifat jangka pendek, tidak menerima jaminan kesehatan dan perlindungan sosial
lainnya, posisi tawar rendah, dan ketidakpastian bekerja. Bahkan, mereka rentan
mengalami kecelakaan dan menderita sakit.
Kapabilitas rendah
Namun, hadirnya pekerjaan tak layak
itu tidak dapat dilepaskan dari kondisi sumber daya manusia (SDM) kita yang
kapabilitasnya tergolong rendah.
Sebagai ukuran kapabilitas
adalah pendidikan dan kesehatan. Pada aspek pendidikan, misalnya, hal itu terlihat
dari rendahnya pendidikan yang ditamatkan.
Hasil Sakernas Februari 2014,
misalnya, menunjukkan bahwa lebih dari dua pertiga (64,6 persen) penduduk
yang bekerja berpendidikan sekolah menengah pertama ke bawah. Dengan
pendidikan rendah umumnya produktivitas yang dihasilkan juga rendah sehingga
pendapatan yang diterima menjadi kurang layak.
Salah satu aspek penting dalam
menyiapkan pekerjaan layak adalah melalui pendidikan, baik melalui pendidikan
formal maupun melalui pelatihan keterampilan. Di Inggris, misalnya, meski
negara itu tergolong negara maju, namun pemerintahnya terus mengupayakan agar
pekerjaan semakin layak. Adapun upaya yang dilakukan adalah pelatihan untuk meningkatkan
keterampilan, khususnya pada pekerja rentan.
Namun, untuk menciptakan pekerjaan
layak juga perlu memperhatikan sisi usaha/perusahaan tempat buruh bekerja,
terutama soal regulasi terkait dengan hak pekerja. Pemerintah perlu membuat
regulasi yang mendukung kelayakan bekerja bagi buruh. Meski demikian, perlu
kehati-hatian dalam mendesain regulasi, mengingat regulasi yang terlalu
banyak dan kompleks akan semakin menurunkan kemampuan dunia usaha guna
mengimplementasikannya (Bernstain.et.al,
2006).
Penciptaan pekerjaan layak
memang perlu terus diupayakan untuk mengikuti perkembangan kemajuan ekonomi.
Indonesia yang kini masuk kelompok negara G-20 diharapkan tidak hanya merefleksikan
kemajuan dan kekuatan ekonominya tapi juga mencerminkan martabat buruhnya.
Sangat diharapkan siapa pun
presiden dan wakil presiden terpilih pada Juli mendatang akan mengagendakan
program pembangunan ketenagakerjaan yang salah satu di antaranya meningkatkan
kesejahteraan dan martabat buruh dengan menyiapkan pekerjaan yang layak.
Namun, untuk jangka panjang,
pemerintah yang baru nantinya perlu lebih komprehensif dalam meningkatkan sumber
daya manusia yang berkualitas, antara lain, melalui peningkatan jenjang pendidikan
formal. Sebab, dengan tingkat pendidikan yang kian tinggi, buruh memiliki
posisi tawar yang semakin besar untuk memperoleh pekerjaan yang layak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar