Sepak
Bola dan Karnaval
Muhidin
M Dahlan ; Kerani
@warungarsip dan pengelola @radiobuku
|
JAWA
POS, 19 Juni 2014
KETIKA
Brasil menjadi tuan rumah Piala Dunia 2014, sebetulnya itu mengembalikan
sepak bola sebagai sebuah karnaval. Secara endemis, Brasil adalah bangsa
karnaval. Dalam penulisan sejarah sosial masyarakat, karnaval dan sepak bola
adalah dua entri yang tak boleh luput dari bab pembahasan. Keduanya adalah
energi kreatif –pinjam istilah Michail Bakhtin– yang membuat Brasil mengada.
Dalam
karnaval, kata, gambar, dan suara ada dalam satu irama. Tak ada ras yang
lebih tinggi dari ras yang lain. Tak ada pembeda laki dan perempuan.
Kanak-kanak dan orang dewasa memiliki posisi yang sama dalam karnaval. Si
bajingan dan si terhormat duduk/berdiri berdampingan. Semua individu
hilang/menyatu dalam kebersamaan. Tawa dan hierarki sosial melebur,
suara-suara dan makna yang berlainan membaur tanpa batas.
Ketika
mempresentasikan tradisi karnaval masyarakat Brasil, Roberto da Matta dalam
Carnivals, Rogues, and Heroes (1991) menulis: ’’Pada akhirnya karnaval adalah
nyanyian. Lewat lagu yang dinyanyikan bersama setiap orang, baik si bajingan
dan si terhormat, mendapatkan posisi yang setara dan memahami satu dengan
yang lain. Dalam karnaval, ketakutan menyingkir dan digantikan kreativitas
komunal.’’
Tak
heran kemudian, frasa ’’samba’’ menjadi ikonis bagi Brasil; bukan saja dalam
nyanyian dan tarian, tapi juga identitas sepak bola. Sepak bola adalah
panggung kehidupan untuk menunjukkan kesenangan dan kegembiraan bersama. Tawa
yang menjadi salah satu ciri karnaval lahir dari tubuh yang kolektif,
perasaan yang terbuka pada dunia selingkungannya.
Dalam
sastra, semangat karnaval diwakili Rabelais yang membedakannya dengan
Shakespeare. Ciri sastra bersemangat karnaval adalah tidak diakhiri dengan
kematian (bad ending), melainkan
dengan permulaan baru yang penuh semangat. Tak ada kekalahan yang abadi, tak
ada kesedihan yang berumur lebih dari tiga hari. Kekalahan dan kesedihan
selalu melahirkan kesenangan yang baru.
Semangat
karnaval ini yang menjadi sumber daya batin (SDB) masyarakat Brasil yang
dibagi kepada dunia. Termasuk kepada Indonesia dalam banyak formulasi. Salah
satu yang terakbar adalah Jember Fashion Carnaval (JFC) yang digerakkan
Dynand Fariz setiap warsa dan menjadi energi kreatif baru di Indonesia. JFC
adalah pribumisasi dari arak-arakan di jalanan Kota Rio de Janeiro yang
menautkan kostum, musik, dan tarian dalam satu gelombang bersama karnaval.
Karnaval dan Resolusi Konflik
Suku
bangsa yang memiliki akar karnaval yang kuat imun terhadap konflik horizontal
yang berlarat-larat, berlarut-larut. Karnaval –sekali lagi meminjam istilah
Bakhtin– sesungguhnya adalah ruang dialog yang diciptakan masyarakat lewat
penanda-penanda kultural seperti nyanyian, tarian, warna, dan suara. Karena
itulah, karnaval/arak-arakan memiliki dua fungsi penting dalam masyarakat;
perangsang terus-menerus kreativitas kolektif dan jalan resolusi konflik.
Beberapa
pekan sebelum perhelatan Piala Dunia dilangsungkan, protes yang menyulut
panah api di jalanan berlangsung marak. Seperti tampak di sekitar Estadio
Nacional Mane Garrincha di Kota Brasilia, Sao Paulo, dan Rio de Janeiro.
Namun, protes yang dikhawatirkan membesar itu perlahan-lahan memuai bersamaan
dengan dibukanya karnaval akbar sepak bola. Dalam ketegangan posisi itu,
sepak bola yang berbasis karnaval itu meregangkannya dengan dialog kultural.
Sepak bola adalah bentuk mistika dari dialog kultural itu sendiri.
PSSI
yang terpecah, lebih senang berkelahi ketimbang merancang prestasi yang
membanggakan selama hampir lima tahun, justru rujuk dan mengambil
ancang-ancang bersatu di Solo. Resep Wali Kota Joko Widodo (kala itu)
sederhana: lewat arak-arakan/karnaval. Para pengurus sepak bola itu diarak
dengan nyanyian, tarian, dan kostum budaya menuju arena pertemuan. Tindakan
kultural itu yang dicatat Kronik Indonesia sebagai momentum awal dan
terpenting rujuk nasional PSSI pada Maret 2013.
Ambiguitas Karnaval
Sebagaimana
Brasil, semangat arak-arakan/karnaval sebetulnya adalah jiwa endemis
masyarakat Nusantara yang dipertunjukkan lewat beragam upacara. Tradisi
arak-arakan itulah yang kemudian direvitalisasi menjadi energi kreatif
terkini dalam bentuk puluhan festival yang dipergelarkan setiap tahun; mulai
Sabang/Aceh hingga Raja Ampat/Papua.
Festival
bergenre tradisi kita temui dalam Sekaten di Jogjakarta dan Solo; Festival
Singkawang di Kalimantan Timur; Festival Bau Nyale-Putri Mandalika di Lombok;
Festival Pasola di Sumba, Nusa Tenggara Timur; Festival Legu Gam di Ternate,
Maluku Utara; Festival Budaya Danau Sentani di Papua; Festival Budaya Lembah
Baliem di Papua; Festival Budaya Asmat di Papua; Festival Erau di Kutai,
Kalimantan Timur; Festival Krakatau di Lampung; Festival Danau Kalimutu di
Flores, Nusa Tenggara Timur; Festival Danau Toba di Sumatera Utara; Festival
Danau Batur di Bali; Karnaval Kuta di Bali; Festival Tabot di Bengkulu; dan
Festival Tana Toraja di Sulawesi Selatan.
Tak
hanya di darat, di air pun festival dan karnaval digelar. Antara lain,
Regatta International di Sabang, Aceh; Festival Tidore di Maluku Utara;
Festival Pantai Jailolo di Halmahera Barat, Maluku Utara; Festival Pantai
Ambon di Maluku; Festival Teluk Palu di Sulawesi Tengah; Festival Sandeq Race
di Sulawesi Barat; Festival Pasar Terapung Borneo di Kalimantan Selatan;
Festival Budaya Danau Sentani di Papua; Festival Bawah Laut Raja Ampat di
Papua Barat; Festival Baleo di Lamalera, Nusa Tenggara Timur; Festival Danau
Toba di Sumatera Utara; Festival Danau Batur di Bali; Festival Sungai Musi di
Palembang, Sumatera Selatan, serta sejumlah karnaval pemancingan yang
dilakukan di pelbagai spot pantai di Indonesia seperti Sail Bunaken di
Menado, Sail Komodo di Nusa Tenggara Timur, Sail Wakatobi di Sulawesi
Tenggara, dan Sail Banda.
Daftar
panjang festival itu masih bisa ditambahkan. Namun, satu hal yang meyakinkan
kita bahwa spirit karnaval adalah jalan kolektivitas, kebersamaan yang
menumbuhkan kreativitas. Sepak bola adalah salah satu bentuk festival yang
patut ditambahkan. Namun, itu tadi, karnaval sebagai sebuah proses sosial
yang longgar memiliki ambiguitasnya tersendiri. Ia bisa menjadi kekuatan
perusak yang dahsyat bila tak ditangani secara baik. Kronik kerusuhan dan
kematian yang melekat dalam sejarah sepak bola di dunia adalah bukti tak
terbantahkan dari ambiguitas karnaval itu.
Daya
ambiguitas karnaval sepak bola itulah yang disimbolkan oleh kehadiran aparat
keamanan yang berdiri di garis antara penonton dan pemain dalam sebuah
stadion. Posisi mereka berdiri pun ditata untuk selalu menghadap ke arah
penonton; dan dalam situasi darurat mata kaki mereka mengawasi peserta
karnaval yang bertanding di lapangan hijau.
Demikianlah
kultur arak-arakan/karnaval itu lahir dari rahim masyarakat dalam pelbagai
panggung sosial, namun sekaligus menghadirkan aparatus negara untuk
mengantisipasi letupan ambiguitas yang lahir dari energi massa dalam karnaval
itu sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar