Tantangan
Kabinet Mendatang
Radhar
Panca Dahana ; Budayawan
|
KOMPAS,
19 Juni 2014
The real menace of our Republic is the invisible
government, which like a giant octopus sprawls its slimy legs over our
cities, states, and nation...The little coterie of powerful international
bankers virtually run the US government for their own selfish purposes.
Michael Snyder, 2013
KUTIPAN
di atas saya kira bukan omong kosong karena dilengkapi data dan bukti-bukti
yang juga bisa kita temukan atau cek silang dengan banyak sumber lainnya.
Data
itu, antara lain, hasil riset sebuah lembaga yang berkedudukan di Zurich, Swiss Federal Institute of Technology,
yang mengambil sampel 43.000 perusahaan transnasional (TNC) terkemuka. Riset
ini menemukan data, ternyata semua sampel itu dimiliki oleh hanya 147
perusahaan induk. Dan tak kurang dari 60 persen kekayaan 147 perusahaan induk
itu dimiliki oleh hanya 25 bank.
Kekayaan
para elite global, seperti pernah saya tuliskan (Tragedi Dunia Janus, Kompas,
24/2/2014), dimiliki oleh hanya 85 orang dengan total nilai kekayaan yang
setara pendapatan setengah penduduk dunia alias 3,5 miliar manusia. Dalam
riset lembaga di atas, kekayaan itu ditanamkan di bank-bank seberang lautan
di mana pajak tak membebani mereka, seperti di Cayman Island. Total harta
off-shore elite global itu tercatat hingga 32 triliun dollar AS atau sekitar
Rp 350.000 triliun dengan potensi kehilangan pajak mencapai 280 miliar dollar
AS.
Angka
harta di atas lebih banyak daripada total pendapatan nasional ditambah
seluruh utang negara terkaya dunia, Amerika Serikat, yang tak lebih dari 31
triliun dollar AS. Jika menghitung angka APBN kita yang Rp 1.800 triliun,
nilai kekayaan elite global itu dapat membiayai hidup 240 juta rakyat kita
untuk hampir dua abad. Sebuah fakta yang dapat memberikan Anda ilham luar
biasa untuk menciptakan banyak cerita dan fantasi, itu pun jika ruang
imajiner Anda mencukupi.
Yang
jelas, secuil data di atas—tidak berarti apa-apa ketimbang tumpukan data dan
sejarah lainnya—menjadi bagian dari argumen banyak ahli dan praktisi masa
kini—tidak hanya di bidang ekonomi—yang berhasil membuktikan bagaimana
hukum-hukum besi kapitalisme plus saudara kandungnya demokrasi, bukan hanya
sama sekali gagal menggaransi atau mewujudkan kesejahteraan dan keadilan di
tingkat publik (grass roots), melainkan malah justru memanipulasinya.
Tidak
satu-dua, tetapi umumnya negeri-bangsa di atas bumi ini ternyata telah
terjerat dalam mekanisme ekonomi yang menciptakan ketergantungan sangat kuat
pada kapital global yang gigantik di atas. Di antaranya dalam bentuk utang
sebuah negara dan di ujung lain kesenjangan yang justru menjadi produk
kontradiktifnya.
Bukan
hanya negara-negara berkembang, hampir semua negara maju memiliki utang.
Tidak hanya melampaui batas kritis, tetapi juga melampaui produk domestik
bruto (PDB) masing-masing, bahkan dapat dipastikan tidak akan dapat dilunasi
hingga sekujur hidupnya.
Realitas Indonesia
Jika batas
kritis utang nasional berbanding PDB adalah 60 persen, bukan hanya
negara-negara Eropa yang belakangan terkena krisis telah melampaui batas itu,
melainkan juga negara-negara ”aman” yang justru menjadi juru selamat, seperti
Jerman yang memiliki utang 57,7 triliun dollar AS (142 persen dari PDB),
Swiss 1,5 triliun dollar AS (229 persen) bahkan AS, negara terkaya, memiliki
utang 17,3 triliun dollar AS atau 106 persen dari PDB, dan Jepang yang
menurut IMF utangnya 200 persen PDB negeri itu.
Negara-negara
ASEAN, anehnya, secara keseluruhan memiliki utang jauh di bawah batas kritis,
kecuali Laos dengan utang 5,6 miliar dollar AS atau 91 persen dari PDB-nya.
Indonesia sendiri, hingga Maret 2014, mencatat utang Rp 2.428 triliun, naik
Rp 155 triliun dari posisi akhir 2013 yang Rp 2.273 triliun. Jumlah itu,
sebagaimana digembar-gemborkan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, memang
hanya sekitar 25 persen PDB. Artinya, masih dalam batas ”aman” dibandingkan
negara-negara lain, termasuk ASEAN (Malaysia 31 persen, Filipina 32 persen,
Vietnam 32 persen, dan Singapura yang meroket hingga 480 persen).
Namun,
apa yang harus diperhatikan dari utang Indonesia di atas. Pertama, angka
tersebut hampir lima kali lipat dari posisi akhir utang Orde Baru sekitar Rp
552 triliun di akhir 1997, di mana hanya dalam sembilan tahun pemerintahan
SBY menciptakan utang Rp 1.496,2 triliun jauh lebih besar daripada jumlah
utang sejak masa Soekarno hingga Soeharto.
Kedua,
defisit yang kini mulai menghantui seperti mewajibkan negara untuk menciptakan
utang baru secara kontinu, yang pada 2014 sudah diproyeksikan mencapai Rp 360
triliun.
Ketiga,
berbanding dengan utang baru di atas, pembayaran cicilan utang kita yang
berkisar Rp 240 triliun-Rp 270 triliun terasa sangat minor. Belum lagi jika diperhatikan
komposisinya di mana nilai cicilan itu berbagi hampir rata antara bunga dan
pokoknya. Karena itu, jika pembayaran pokok utang rata-rata sekitar Rp 125
triliun per tahun dengan posisi utang terakhir di atas, rakyat negara ini
harus menunggu sekitar 20 tahun untuk melunasi utangnya. Namun, jika dilihat
dari tambahan utang setiap tahun, bukan saja seumur hidup kita harus membayar
cicilan, melainkan nilai cicilannya juga terus membengkak.
Walau
data di atas cukup menyakitkan, mungkin terasa sedikit menghibur apabila
fakta itu memberikan implikasi pada kesejahteraan rakyat. Namun, ternyata
tidak. Angka-angka itu secara nyata hanya memberikan tambahan kekayaan yang
melipatkan harta elite lokal sebagaimana counterparts-nya di tingkat global.
Hal itu terlihat dalam rasio gini yang meningkat drastis dalam dasawarsa
terakhir dari sekitar 3 hingga mencapai 4,3, belakangan.
Sebuah
angka, yang tragisnya ternyata juga terjadi di belahan dunia lainnya, bahkan
di negara-negara yang kita anggap lebih maju, kaya, dan sejahtera. Tetangga
kita, Australia, misalnya, memiliki rasio gini 4,68, sementara AS mencapai
4,69 dan negara terkuat di Eropa, Jerman, justru meroket hingga 5,32. Sebuah
kenyataan yang menggambarkan, sekali lagi, kapitalisme ternyata tidak hanya memperkaya
segolongan kecil pemilik kapital raksasanya, tetapi juga serentak dengan itu
meniscayakan bahkan mensyaratkan kemiskinan yang kian tenggelam dalam khaos
peradaban.
Jawablah hai pemimpin!
Apa yang
sengaja terpapar dari sekelumit fakta dunia di atas rasanya penting untuk
memberikan horizon bagi siapa pun yang akan memimpin negeri ini, mengelola
kebijakan, dan memproduksi regulasi bagi tujuan-tujuan luhur sebuah
negeri/bangsa. Apa pun visi yang coba didiseminasi oleh para capres,
misalnya, akan terasa naif jika tak menyimpan pandangan atau world view yang
mengandung kesadaran akan realitas manusia saat ini. Naivitas itu akan
membuat sia-sia semua program yang direncanakan, menjadikan semua janji jadi
omong kosong pengantar tidur rakyat yang sudah kian sulit bermimpi. Apa yang
kritikal dalam situasi di atas adalah sebuah perhitungan di mana rencana,
bayangan, bahkan mimpi tentang kesejahteraan (pursuit of happiness) dari
bangsa ini, tak dapat memisahkan tiga anasir utama dalam kehidupan: ekonomi,
politik, dan kebudayaan.
Tiga
anasir itu, di luar paralelitasnya dengan Trisakti Bung Karno, memang menjadi
fakta keras hari ini di mana politik dan ekonomi menjadi dua elemen juga
kekuatan utama yang menentukan garis hidup bahkan masa depan generasi berikut
bangsa Indonesia. Terlebih ketika dua kekuatan itu bersinergi, lebih tepat
menciptakan hibrida kekuasaan yang baru, untuk berjuang mempertahankan status quo yang menjamin zona aman
para elitenya dengan cara, antara lain, mengisap semua elemen kehidupan lainnya
ke dalam lingkaran sentripetalnya.
Kebudayaan
di sini mengambil peran, betapapun minor posisinya berhadapan dengan hibrid
dua kekuatan di atas, untuk menjadi otoritas tunggal dalam penciptaan makna
atau signifikansi nilai dari semua atribut dan produk-produk dari kekuasaan
atau elemen-elemen lain yang terisap di dalamnya. Tanpa
kebudayaan,
saya kira, pemerintah mana pun hanya akan menyelebrasi kemenangan materi yang
kering dan hampa. Sebab, pada saat bersamaan ia menaklukkan bahkan
melumpuhkan jiwa atau spiritualitas yang membuat materi itu menjadi makna
dalam kenyataan hidup kita.
Sayang,
sekali lagi sayangnya, kita belum dapat menangkap muatan visioner dengan
horizon atau world view berbasis
realitas dunia di atas dalam hampir semua program yang pernah dibicarakan
para calon (eksekutif dan legislatif) kita. Cara berpikir dari para elite
kita, baik secara paradigmatik maupun epistemologik, tampak sangat
konservatif bahkan terbelakang hingga 30 sampai setengah abad ke belakang. Di
masa Perang Dingin, bahkan pra-Perang Dunia II di mana logika pasar dan ide
demokrasi masih dianggap suci dan murni, berjalan sesuai dengan hukum di atas
kertasnya.
Kenyataannya,
waktu berlalu, manusia tak berkembang dalam evolusi biologis, tetapi dalam
revolusi pikiran dan nafsunya. Hari ini dan masa nanti telah berkembang
menjadi hidup di mana sebagian manusia tidak lagi menganggap dirinya sebagai
khalifah, tetapi menjadi ”tuhan” yang menentukan apa, siapa, bahkan bagaimana
hidup dan matinya manusia lain. Dan Indonesia, Ibu Pertiwi, tanah di mana
tumpah darah kita yang mulia, ada dalam situasi di mana ia hanya seperti baju
batik lusuh yang terus diperas hingga luntur, tertinggal kain dasar putih
yang seratnya pun ditarik satu per satu untuk mengikat sepatu para kriminal
peradaban yang bersolek di atas kebudayaan kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar