Sabtu, 14 Juni 2014

Kontekstualitas Debat dan Kepemimpinan Nasional

Kontekstualitas Debat dan Kepemimpinan Nasional

Danang Sangga Buwana  ;   Komisioner KPI Pusat
JAWA POS,  13 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
DEBAT capres-cawapres pada 9 Juni lalu yang disiarkan secara live di beberapa stasiun televisi ternyata menyedot animo masyarakat secara luas. Hal itu terbukti dari tingginya rating-share program debat tersebut jika dibandingkan dengan program lain yang bernuansa hiburan.

Berdasar data dari lembaga rating, Nielsen menyebut program debat capres di SCTV, misalnya, mendapat rating-share (4,5/19,3), melebihi program lain pada jam yang sama seperti Tukang Bubur Naik Haji di RCTI (3,2/13,9), YKS di TransTV (2,3/10,0), serta Indonesia Lawak Klub di Trans7 (1,3/6,1). Tingginya jumlah pemirsa program debat capres-cawapres itu, selain menggambarkan betapa bangsa Indonesia mengharapkan pemimpin baru yang berintegritas, sekaligus menepis anggapan tentang apatisme masyarakat terhadap proses lahirnya pemimpin bangsa ini.

Demokrasi Substantif

Ditakar dari aspek demokrasi, debat capres-cawapres bermakna mendalami kualitas pasangan capres-cawapres yang diusung partai politik (parpol) agar pemilih tidak lagi memilih kandidat semata-mata karena popularitas. Debat juga menjadi gambaran visi-misi capres-cawapres di tengah dinamika kebangsaan.

Debat menjadi sarana efektif penonjolan domain programatik ketimbang pencitraan semata. Sebagai ikhtiar membangun demokrasi substantif, debat dilakukan untuk mengetahui program, visi, dan misi kandidat. Sebelum menjadi pasangan terpilih, capres-cawapres akan diapresiasi masyarakat sejauh mana perumusan rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) yang mereka buat. Kondisi itu memungkinkan masyarakat untuk melakukan komparasi kontekstualitas program antarcalon yang sesuai dengan kondisi serta kebutuhan publik.

Debat juga berfungsi menakar kualitas dan kapabilitas pasangan calon. Di dalam debat, tentu akan diketahui sejauh mana argumentasi dan rasionalisasi para calon dalam mempertahankan rencana program beserta strategi realisasinya. Di situlah tampak ukuran kecakapan masing-masing kandidat. Publik lebih punya kesempatan untuk menguji keseriusan capres melalui forum debat tersebut, apakah kandidat itu layak dipilih atau tidak.

Di dalam debat juga terjadi proses pendidikan politik bagi rakyat. Para pemegang kebijakan sudah seharusnya menyadari bahwa rakyat semakin tidak percaya dengan serangkaian mekanisme politik dalam memproses lahirnya para pemimpin. Meningkatnya angka golongan putih (golput) menjadi semacam antitesis dari perjalanan pemilihan langsung selama ini. Karena itu, masyarakat harus diyakinkan kembali bahwa bangsa ini membutuhkan figur pemimpin yang benar-benar berkualitas dan berintegritas. Usaha peningkatan partisipasi dapat distimulasi dengan menyuguhkan forum debat kandidat capres-cawapres yang disiarkan secara langsung oleh lembaga penyiaran tanpa adanya proses edit.

Di atas segalanya, debat menjadi sarana untuk menakar konsistensi antara janji dan implementasi. Nanti tampak apakah para kandidat terpilih benar-benar konsisten dengan janji yang telah disampaikan sebelum menjadi presiden.

Gaya Kepemimpinan

Penentuan sosok capres tidak cukup dengan hanya memiliki kriteria umum. Yaitu, memenuhi persyaratan formal yang ditentukan dalam undang-undang seperti yang sempat diperdebatkan seperti masalah tingkat pendidikan dan umur. Juga, tidak melulu hanya persyaratan prosedural-politis seperti pemenuhan 20 persen dukungan DPR. Bangsa Indonesia membutuhkan seorang pemimpin efektif untuk menghadapi tantangan ke depan, khususnya masalah perekonomian (effective economic policy) dan kesejahteraan (socio-cultural finesse) serta dapat menjalankan roda pemerintahan (political mastery) dengan baik.

Melalui program debat capres-cawapres, sejatinya dapat diketahui cermin dan gaya kepemimpinan mereka. Pasangan nomor 1 (Prabowo-Hatta) maupun nomor 2 (Jokowi-JK) mempunyai gaya kepemimpinan masing-masing. Setidaknya, gaya kepemimpinan capres-cawapres yang akan memimpin negeri ini dapat dikategorikan dalam enam Leadership Style Theory (Daniel Goleman Dkk: 2004).

Pertama, coercive style. Dengan gaya ini, pemimpin diharuskan memiliki control diri (self control) dan inisiatif untuk mencapai tujuan dan mengharapkan permintaannya dipenuhi dengan segera. Kepemimpinan ini cocok dalam kondisi krisis dan untuk memulai (kick-start) suatu perubahan.

Kedua, authority style. Pemimpin dengan tipe seperti itu memiliki kepercayaan diri dan dapat memobilisasi serta menginspirasi orang untuk mencapai visinya. Style ini cocok bagi kondisi yang membutuhkan perubahan visi atau arahan yang jelas. Selama satu dasawarsa ini, proses transisi menuju demokrasi telah dilalui secara terseok dan tersendat. Belum ada kejelasan rencana bagaimana membangun sistem demokrasi yang lebih mapan.

Di satu sisi, semua pihak sadar dan memahami bahwa sudah waktunya bangsa ini landing pada tahap konsolidasi demokrasi dengan pelembagaan sistem politik. Namun, pemahaman dan kesadaran itu menjadi sebatas diskursus teoretis tanpa kejelasan implementasi. Karena itu, style pemimpin otoritatif ini diharapkan dapat mendorong proses demokratisasi bangsa ini menuju tahap yang lebih baik.

Ketiga, affirmative style. Tipe pemimpin ini mampu menciptakan harmoni dan komunikasi yang baik serta membangun ikatan emosional dengan prioritas utama: rakyat. Kondisi itu diperlukan untuk membangun tim atau memperbaiki hubungan yang rusak dan memotivasi orang dalam keadaan yang frustrasi.

Keempat, democratic style. Pemimpin demokratis akan mendorong terjadinya konsensus melalui partisipasi yang aktif, kerja sama, serta team leadership dan komunikasi yang baik. Tipe ini berguna untuk mendapatkan konsensus maupun input, khususnya terhadap berbagai ragam orang atau kelompok. Tentu saja sangat sulit menyelaraskan ragam kepentingan rakyat dalam satu wadah NKRI. Di sinilah karakter kepemimpinan demokratis dibutuhkan agar Indonesia tetap satu dalam keragaman (Bhinneka Tunggal Ika).

Kelima, pace setting. Menetapkan standar yang tinggi untuk mendapat hasil yang cepat dari tim yang berkompeten dan memiliki motivasi yang tinggi. Tipe ini dibutuhkan oleh presiden dalam keahliannya menciptakan team work yang baik dalam kabinetnya. Dia niscaya membaca bahwa yang dibutuhkan di dalam tim bukan hanya kualitas personal, melainkan juga kualitas komunal. Dengan sinergi dan keseimbangan di dalam tim, akan tercipta pola kerja yang optimal.

Keenam, coaching. Tipe pemimpin ini mampu mengembangkan masyarakat untuk membangun masa depan yang kukuh dan sustainable. Pemimpin ibarat pelatih (coach) dalam sebuah pertandingan sepak bola. Kekompakan dan kerja sama yang bagus antarelemen dalam tim akan mampu menampilkan ritme permainan yang menarik dan mudah memenangi pertandingan. Hal itulah yang saat ini juga dibutuhkan bangsa ini.

Tidak hanya satu tipe, perpaduan karakter kepemimpinan tersebut niscaya dimiliki capres-cawapres kita untuk Indonesia yang lebih baik. Tentu kita semua berharap perhelatan pilpres 9 Juli nanti menghasilkan sosok pemimpin transformasional berciri enam tipe tersebut. Lantas, siapakah pemimpin yang paling pantas? Biarkan rakyat yang menentukan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar