Cegah
Black Campaign
Mas
Achmad Daniri ; Ketua Komite Kebijakan Governance
|
REPUBLIKA,
16 Juni 2014
Hiruk-pikuk aktivitas politik
menjelang pemilihan presiden (pilpres) yang akan dilaksanakan pada 9 Juli
20014 sudah sangat terasa sejak beberapa pekan ini. Spanduk, iklan di media
massa, kicauan di media sosial, hingga obrolan di warung kopi menandakan
denyut pilpres yang demikian semarak.
Hal ini dalam satu sisi
menunjukkan pertanda positif yang mengisyaratkan besarnya partisipasi
masyarakat dalam menyambut pesta demokrasi lima tahunan tersebut. Tapi, di
tengah kemeriahan tersebut, perlu digarisbawahi bahwa semua pihak semestinya
melakukannya dengan menjunjung asas persaingan sehat yang bermartabat.
Bumbu-bumbu yang membuat persaingan
semakin seru, meskipun sebenarnya tidak perlu, adalah dilakukannya kampanye
hitam (black campaign) yang menyerang
pihak lain bukan dengan fakta. Black
campaign dilakukan dengan mengungkapkan keburukan yang seolah-olah
dimiliki/dilakukan suatu pihak dengan tujuan untuk menjatuhkan kredibilitas
pihak tersebut.
Menurut ahli politik, black campaign bisa dilakukan pihak
lawan untuk menjatuhkan pesaing atau sebaliknya, dilakukan pihak internal
dengan maksud tertentu, seperti mendapatkan simpati publik sebagai pihak yang
terzalimi. Terlepas dari siapa pun yang membuat materi black campaign dan apa pun motifnya, perilaku ini dapat mengancam
kemurnian proses demokrasi.
Untuk menjaga dan menjalankan
misi pemilu bersih dan bermartabat, tentu saja tidak terlepas dari
kredibilitas Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu. KPU
memegang peran penting untuk mengarahkan semua proses menuju pemilu yang bermartabat.
KPU perlu melaksanakan prinsip-prinsip
good public governance (GPG) sebagai
bentuk pertanggungjawaban atas perannya dalam memilih penyelenggara negara
yang amanah. Komite Nasional Kebijakan Governance telah menyusun Pedoman Umum Good Public Governance (2010) yang merupakan rambu-rambu berupa
sistem atau aturan perilaku terkait dengan pengelolaan wewenang oleh para
penyelenggara negara dalam menjalankan tugasnya secara bertanggung jawab dan
akuntabel.
GPG pada dasarnya mengatur pola
hubungan antara penyelenggara negara dan masyarakat, antara penyelenggara
negara dan lembaga negara serta antar- lembaga negara. GPG bertujuan untuk
meningkatkan daya saing negara, mendorong laju pertumbuhan ekonomi, dan
meningkatkan daya tarik investasi.
Ada lima prinsip dasar dalam
GPG.
Pertama, demokrasi yang
mengandung tiga unsur pokok, yaitu partisipasi, penga kuan adanya perbedaan
pendapat, dan perwujudan kepentingan umum.
Kedua, tranparansi yang
mengandung unsur pengungkapan (disclosure)
dan penyediaan informasi yang memadai dan mudah diakses stakeholder. Ketiga,
akun tabilitas yang mengandung unsur kejelasan fungsi dalam organisasi dan
cara mempertanggungjawabkannya.
Keempat, budaya hokum yang
mengandung unsur penegakan hukum (law
enforcement) secara tegas tanpa pandang bulu dan ketaatan terhadap hukum
oleh masyarakat berdasarkan kesadaran.
Kelima, kewajaran dan kesetaraan
yang mengandung unsur keadilan dan kejujuran, sehingga dalam pelaksanaannya
dapat diwujudkan perlakuan setara terhadap pemangku kepentingan secara
bertanggung jawab.
Dalam konteks penyelenggaraan pemilu
yang tugas dan tanggung jawab utamanya diemban KPU, GPG sangat penting dijalankan.
Hal ini penting untuk memastikan agar proses penyeleng- garaan pemilu dapat
dilalui dengan baik dan tidak terjadi benturan baik benturan vertikal antara
pemerintah (termasuk KPU) dan masyarakat maupun benturan horizontal
antaranggota masyarakat.
Begitupun, dalam hal mengurangi
black campaign, meskipun pada prinsipnya dilakukan pihak di luar institusi,
KPU dapat mengantisipasinya dengan cara melakukan pengungkapan secara terbuka
atas profil dan rekam jejak para kandidat capres dan cawapres. KPU harus bisa
melakukan kajian tuntas terhadap seluruh kandidat capres dan cawapres dan
mengetahui secara mendalam atas rekam jejak kandidat beserta lingkaran
utamanya. Bahan kaji tuntas ini kemudian perlu dipublikasikan secara luas dan
harus mudah diakses sebagai buku putih kandidat capres dan cawapres.
Dengan adanya buku putih atas
seluruh kandidat, publik dapat mengetahui secara netral dan tanpa pretensi
atas fakta-fakta seputar kandidat dan lingkaran terdekatnya. Dengan bahan
tersebut, masyarakat dapat mendalami dan menilai para kandidat dengan kepala
dingin. Jika ada fitnah yang beredar di masyarakat, buku putih ini dapat
menjadi rujukan dan penyaring atas kebenaran informasi tersebut.
Buku putih kandidat ini juga
akan lebih mengarahkan diskusi dan kampanye yang lebih konstruktif di masyarakat.
Publik bisa lebih berkonsentrasi menggali visi, misi, dan program yang ditawarkan
kandidat ketimbang bergunjing atas isu-isu yang mengarah pada fitnah tentang
para kandidat. Hal ini juga dapat menggiring pada kedewasaan berdemokrasi di
kalangan masyarakat.
Sekali lagi, meskipun black campaign dilakukan pihak di luar
penyelenggara pemilu, KPU dapat berperan secara signifikan untuk minimalisasi
black campaign dengan pendekatan
GPG, utamanya pada pelaksanaan prinsip transparansi dan akuntabilitas. KPU
dapat mengarahkan masyarakat pada pendewasaan publik dalam berpolitik.
Dalam konsep demokrasi, setiap
calon pemimpin yang dipilih rakyat tentu harus bersedia menyampaikan rekam
jejaknya secara jujur dan transparan untuk disampaikan kepada KPU. KPU dapat
merangkum profil dan rekam jejak capres dan cawapres menjadi buku putih yang
resmi dikeluarkan KPU. Dengan demikian, perdebatan yang akan berkembang lebih
sebagai pendalaman visi dan misi capres dan cawapres. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar