Selasa, 17 Juni 2014

Cegah Black Campaign

Cegah Black Campaign

Mas Achmad Daniri  ;   Ketua Komite Kebijakan Governance
REPUBLIKA,  16 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Hiruk-pikuk aktivitas politik menjelang pemilihan presiden (pilpres) yang akan dilaksanakan pada 9 Juli 20014 sudah sangat terasa sejak beberapa pekan ini. Spanduk, iklan di media massa, kicauan di media sosial, hingga obrolan di warung kopi menandakan denyut pilpres yang demikian semarak.

Hal ini dalam satu sisi menunjukkan pertanda positif yang mengisyaratkan besarnya partisipasi masyarakat dalam menyambut pesta demokrasi lima tahunan tersebut. Tapi, di tengah kemeriahan tersebut, perlu digarisbawahi bahwa semua pihak semestinya melakukannya dengan menjunjung asas persaingan sehat yang bermartabat.

Bumbu-bumbu yang membuat persaingan semakin seru, meskipun sebenarnya tidak perlu, adalah dilakukannya kampanye hitam (black campaign) yang menyerang pihak lain bukan dengan fakta. Black campaign dilakukan dengan mengungkapkan keburukan yang seolah-olah dimiliki/dilakukan suatu pihak dengan tujuan untuk menjatuhkan kredibilitas pihak tersebut.

Menurut ahli politik, black campaign bisa dilakukan pihak lawan untuk menjatuhkan pesaing atau sebaliknya, dilakukan pihak internal dengan maksud tertentu, seperti mendapatkan simpati publik sebagai pihak yang terzalimi. Terlepas dari siapa pun yang membuat materi black campaign dan apa pun motifnya, perilaku ini dapat mengancam kemurnian proses demokrasi.

Untuk menjaga dan menjalankan misi pemilu bersih dan bermartabat, tentu saja tidak terlepas dari kredibilitas Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu. KPU memegang peran penting untuk mengarahkan semua proses menuju pemilu yang bermartabat.

KPU perlu melaksanakan prinsip-prinsip good public governance (GPG) sebagai bentuk pertanggungjawaban atas perannya dalam memilih penyelenggara negara yang amanah. Komite Nasional Kebijakan Governance telah menyusun Pedoman Umum Good Public Governance (2010) yang merupakan rambu-rambu berupa sistem atau aturan perilaku terkait dengan pengelolaan wewenang oleh para penyelenggara negara dalam menjalankan tugasnya secara bertanggung jawab dan akuntabel.

GPG pada dasarnya mengatur pola hubungan antara penyelenggara negara dan masyarakat, antara penyelenggara negara dan lembaga negara serta antar- lembaga negara. GPG bertujuan untuk meningkatkan daya saing negara, mendorong laju pertumbuhan ekonomi, dan meningkatkan daya tarik investasi.

Ada lima prinsip dasar dalam GPG.

Pertama, demokrasi yang mengandung tiga unsur pokok, yaitu partisipasi, penga kuan adanya perbedaan pendapat, dan perwujudan kepentingan umum.
Kedua, tranparansi yang mengandung unsur pengungkapan (disclosure) dan penyediaan informasi yang memadai dan mudah diakses stakeholder. Ketiga, akun tabilitas yang mengandung unsur kejelasan fungsi dalam organisasi dan cara mempertanggungjawabkannya.

Keempat, budaya hokum yang mengandung unsur penegakan hukum (law enforcement) secara tegas tanpa pandang bulu dan ketaatan terhadap hukum oleh masyarakat berdasarkan kesadaran.

Kelima, kewajaran dan kesetaraan yang mengandung unsur keadilan dan kejujuran, sehingga dalam pelaksanaannya dapat diwujudkan perlakuan setara terhadap pemangku kepentingan secara bertanggung jawab.

Dalam konteks penyelenggaraan pemilu yang tugas dan tanggung jawab utamanya diemban KPU, GPG sangat penting dijalankan. Hal ini penting untuk memastikan agar proses penyeleng- garaan pemilu dapat dilalui dengan baik dan tidak terjadi benturan baik benturan vertikal antara pemerintah (termasuk KPU) dan masyarakat maupun benturan horizontal antaranggota masyarakat.

Begitupun, dalam hal mengurangi black campaign, meskipun pada prinsipnya dilakukan pihak di luar institusi, KPU dapat mengantisipasinya dengan cara melakukan pengungkapan secara terbuka atas profil dan rekam jejak para kandidat capres dan cawapres. KPU harus bisa melakukan kajian tuntas terhadap seluruh kandidat capres dan cawapres dan mengetahui secara mendalam atas rekam jejak kandidat beserta lingkaran utamanya. Bahan kaji tuntas ini kemudian perlu dipublikasikan secara luas dan harus mudah diakses sebagai buku putih kandidat capres dan cawapres.

Dengan adanya buku putih atas seluruh kandidat, publik dapat mengetahui secara netral dan tanpa pretensi atas fakta-fakta seputar kandidat dan lingkaran terdekatnya. Dengan bahan tersebut, masyarakat dapat mendalami dan menilai para kandidat dengan kepala dingin. Jika ada fitnah yang beredar di masyarakat, buku putih ini dapat menjadi rujukan dan penyaring atas kebenaran informasi tersebut.

Buku putih kandidat ini juga akan lebih mengarahkan diskusi dan kampanye yang lebih konstruktif di masyarakat. Publik bisa lebih berkonsentrasi menggali visi, misi, dan program yang ditawarkan kandidat ketimbang bergunjing atas isu-isu yang mengarah pada fitnah tentang para kandidat. Hal ini juga dapat menggiring pada kedewasaan berdemokrasi di kalangan masyarakat.

Sekali lagi, meskipun black campaign dilakukan pihak di luar penyelenggara pemilu, KPU dapat berperan secara signifikan untuk minimalisasi black campaign dengan pendekatan GPG, utamanya pada pelaksanaan prinsip transparansi dan akuntabilitas. KPU dapat mengarahkan masyarakat pada pendewasaan publik dalam berpolitik.

Dalam konsep demokrasi, setiap calon pemimpin yang dipilih rakyat tentu harus bersedia menyampaikan rekam jejaknya secara jujur dan transparan untuk disampaikan kepada KPU. KPU dapat merangkum profil dan rekam jejak capres dan cawapres menjadi buku putih yang resmi dikeluarkan KPU. Dengan demikian, perdebatan yang akan berkembang lebih sebagai pendalaman visi dan misi capres dan cawapres.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar