Sabtu, 26 Oktober 2013

Memulihkan Kepercayaan Partisipasi Publik

Memulihkan Kepercayaan Partisipasi Publik
Nirwono Joga  ;  Koordinator Gerakan Indonesia MengHijau
TEMPO.CO, 25 Oktober 2013



Setahun duet Jokowi-Ahok memimpin Jakarta membawa angin segar perubahan yang dirasakan masyarakat. Hasil survei Indo Barometer menunjukkan hal itu. Berbagai tantangan dan kendala dalam mewujudkan Jakarta Baru bukan merupakan halangan untuk membangun Jakarta yang lebih baik. Beberapa program pembangunan yang tertunda lama kemudian bangkit, dilanjutkan kembali. Program penataan kota di kawasan-kawasan yang selama ini dihindari oleh berbagai gubernur pendahulu justru diterobos. Aksi-aksi nyata ini ternyata menimbulkan simpati banyak pihak.

Program Jakarta Baru adalah mewujudkan Jakarta sebagai kota modern yang tertata rapi, menjadi tempat hunian yang layak dan manusiawi, memiliki masyarakat yang berkebudayaan serta pemerintahan yang berorientasi pada pelayanan publik. Untuk itu, Jokowi-Ahok menawarkan sembilan program kerja unggulan, yaitu pengembangan angkutan umum massal, pengendalian banjir, perumahan rakyat dan penataan kampung, pengembangan ruang terbuka hijau (RTH), penataan pedagang kaki lima (PKL), serta pengembangan pendidikan, kesehatan, budaya, dan peningkatan pelayanan publik. 

Dari Jokowi-Ahok harus diakui tidak ada kebijakan yang baru. Yang ada adalah bentuk baru dari kebijakan lama untuk mewujudkan Jakarta Baru. Banjir pada awal tahun dan terparah di kawasan Pluit justru memberi Jokowi peluang untuk memanfaatkan momentum penataan Waduk Pluit di Jakarta Utara. Gerak cepat langsung dilakukan. Meski semula warga menolak direlokasi, melalui negosiasi yang cukup alot dan dibumbui perkataan tegas cenderung pedas dari Ahok tapi berhasil diredam Jokowi, warga secara bertahap berhasil dipindahkan ke rumah susun (rusun).

Bersamaan dengan itu, dilakukan renovasi kilat rusun-rusun yang terbengkalai selama ini, mengisi perlengkapan setiap unit, dan terpenting menghidupkan kembali rusun. Uniknya, langkah cepat ini dapat terwujud berkat dukungan penuh dari program CSR pengembang, tidak memakai dana APBD dan dinas terkait lebih sebagai pendukung. Hasilnya, secara perlahan wajah lanskap kawasan menghijau dan kini berdiri Taman Waduk Pluit. Harga tanah di sekitar Taman Waduk Pluit pun melesat pesat.

Keberhasilan ramuan metode gerak cepat ini kemudian diterapkan kembali dalam penataan Waduk Ria Rio di Jakarta Timur, yang berlangsung relatif mulus. Perlahan waduk-waduk lain mulai dikeruk dan dibenahi, seperti Waduk Tomang Barat, Waduk Sunter, Waduk Rawa Badak, dan Waduk Cibubur. Masih ada 36 waduk dan 14 situ yang perlu segera direvitalisasi bebas dari sedimentasi lumpur dan limbah, sampah padat, tanaman gulma (eceng gondok), dan permukiman liar. Ada pula 13 sungai yang juga perlu dinormalkan dan dihijaukan. 

Salah satu penyebab kemacetan lalu lintas adalah banyaknya titik simpul diakibatkan para pedagang kaki lima (PKL) yang mengokupasi badan jalan, terutama di sekitar pasar. Jokowi-Ahok berbekal Perda Nomor 7/2008 tentang Ketertiban Umum di Wilayah DKI Jakarta, yang notabene perda peninggalan Fauzi Bowo, mengambil langkah (luar biasa) berani memulai penataan PKL di lokasi yang paling "ditakuti", Pasar Tanah Abang.

Pendekatan, lagi-lagi pesona Jokowi, dilakukan. Dia terjun langsung menemui PKL yang menolak dibujuk, (dan akhirnya menurut) berpindah masuk ke Pasar Tanah Abang. Kalau Pasar Tanah Abang saja bisa "ditaklukkan", seharusnya penataan PKL di Pasar Minggu, Pasar Jatinegara, dan pasar lainnya jauh lebih mudah untuk dilakukan para pembantu gubernur. 

Begitu pula dengan penataan PKL yang hingga kini masih mengokupasi ruas jalan dan badan trotoar yang tersebar di seluruh wilayah DKI Jakarta. Pemda (wali kota, camat, dan lurah yang paling mengenal wilayahnya) dan Asosiasi PKL DKI Jakarta harus segera menyusun bersama peta sebaran PKL, titik lokasi, dan data akurat jumlah PKL (jumlah PKL dikunci), sebagai dasar penataan, pengelolaan, dan pemberdayaan PKL untuk didistribusikan ke dalam pasar dan pusat belanja, atau dilibatkan dalam festival-festival. 

Dalam hal pengembangan angkutan umum massal, apresiasi terhadap pelayanan dan penyediaan infrastruktur transportasi publik belum cukup baik. Warga menilai belum puas melihat kondisi kemacetan lalu lintas di Jakarta. Butuh waktu dan proses untuk menyelesaikan kemacetan di Jakarta. 

Di tengah keraguan masyarakat, pembangunan tahap awal kereta api (mass rapid transit/MRT) yang direncanakan selesai enam tahun, dan kelanjutan pembangunan monorel (light rapid transit/LRT) rute Jalur Hijau (Green Line) yang selesai tiga tahun mendatang, memberikan solusi alternatif transportasi publik di tengah kota. Penyediaan jalur pedestrian, jalur sepeda, dan parkir sepeda di bangunan publik sudah saatnya diwujudkan. 

Pemerintah Provinsi DKI belum berhasil merevitalisasi angkutan umum. Apa daya, janji pengadaan 1.000 unit (target 6.000 unit pada 2015) bus pengganti bus sedang dan 1.000 unit bus Transjakarta (target 1.800 unit pada 2015) untuk mengganti atau menambah armada yang sekarang ada masih terganjal dalam proses administrasi. Reformasi transportasi harus diikuti perubahan kepemilikan armada angkutan umum dari perorangan ke pemerintah daerah untuk pembenahan manajemen angkutan umum. 

Dalam hal peningkatan pelayanan publik, salah satu reformasi birokrasi yang dilancarkan Jokowi-Ahok adalah lelang jabatan lurah dan camat, serta beberapa jabatan strategis. Meski demikian, aparat hasil lelang jabatan ternyata belum mampu bekerja cepat mendukung kinerja gubernur-wakil gubernur. Sanksi tegas untuk mereka yang tidak melaksanakan tugasnya dengan baik diyakini akan memberi efek jera.

Penyerapan anggaran pendapat dan belanja daerah (APBD) yang sangat rendah oleh sebagian besar satuan kerja perangkat daerah (SKPD) menunjukkan kinerja para SKPD belum selaras dengan gerak cepat program Jokowi-Ahok. R-APBD yang tengah disusun harus segera disesuaikan dengan beberapa program andalan gubernur, seperti pembangunan rusun untuk relokasi warga dari bantaran waduk dan sungai, pembuatan taman di waduk dan situ, penghijauan bantaran kali, serta pengadaan bus sedang dan bus Transjakarta.

Pengembangan pendidikan, kesehatan, dan budaya (Betawi) memiliki terobosan baru. Program Kartu Jakarta Sehat dirancang akan semakin menurunkan jumlah pemilik kartu, yang berarti kesehatan warga meningkat. Sebaliknya, pemegang Kartu Jakarta Pintar semakin banyak, terutama bagi keluarga yang tidak mampu, menunjukkan mereka mendapat kesempatan bersekolah lebih baik. Penerapan baju tradisional Betawi pada hari kerja tertentu dan pergelaran berbagai festival kesenian Betawi merupakan upaya Jokowi menghadirkan kebudayaan tradisional Betawi dalam kehidupan masyarakat metropolitan. 

Ke depan, pekerjaan rumah terbesar Jokowi-Ahok adalah bagaimana mentransformasikan semangat kerja membangun Jakarta Baru kepada seluruh aparat di bawahnya, mulai dari jajaran SKPD, wali kota, camat, hingga lurah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar