Jumat, 25 Oktober 2013

Kapolri Baru dan Sumber Daya Manusia

Kapolri Baru dan Sumber Daya Manusia
Hermawan Sulistyo  ;  Profesor Riset LIPI
KOMPAS, 24 Oktober 2013


POLRI akan dipimpin Kapolri baru: Komisaris Jenderal Sutarman. Meski Sutarman masih akan berdinas aktif hingga Oktober 2015, sulit dipastikan presiden yang terpilih tahun depan akan tetap mempertahankan Sutarman sekitar Oktober 2014. Itu berarti fungsi Kapolri yang sekarang lebih pada masa transisi, dengan perkiraan masa tugas efektif 1-1,5 tahun. Sangat sulit berharap kepemimpinan transisi sesingkat itu menghasilkan perubahan luar biasa pada sebuah institusi sebesar Polri, yang posturnya sekitar 400.000 personel dengan citra publik yang tidak jauh dari titik nadir.

Apa yang bisa diharapkan dari Kapolri baru? Hanya satu: meletakkan landasan sistemik bagi renegerasi dan kepemimpinan selanjutnya. Kata kuncinya hanya satu pula: pembenahan sumber daya manusia (SDM). Produk tiga pilar reformasi Polri (instrumental, struktural, kultural) mandek pada aspek kultural. Self-assessmentinternal juga menegaskan: sumber seluruh persoalan polisi terletak pada SDM.

Langkah pertama

Langkah pertama bisa dilakukan dari perwira tinggi (pati). Pada masa awal Kapolri Timur Pradopo, ada kelebihan sekitar 40 pati di luar matriks jabatan dan nonstruktural. Pada transisi kali ini, jumlah itu sudah berkurang setengahnya, tetapi masih tetap inflasi. Matriks ideal hanya menyediakan posisi bagi 160-180 pati, sudah termasuk di posisi nonstruktural (penugasan di luar Polri).

Problem kedua pada manaje- men atas ini: rentang cohort (usia) dan batch (angkatan). Pada awal periode Timur Pradopo rentang itu 13 tahun. Pati paling senior dari Angkatan (Akpol) 1974 dan paling yunior dari Akpol 1987. Rentang sejauh itu jelas makan korban sejumlah angkatan yang kurang mampu bermanuver dalam politik internal Polri. Korban itu termasuk Angkatan Sutarman (1981), yang hanya menghasilkan satu bintang tiga, satu bintang dua, dan segelintir bintang satu.

Kini Sutarman memulainya dengan konstruksi rentang angkatan yang lebih baik: sembilan tahun. Jenderal tertua dari Akpol 1978 dan termuda Akpol 1988. Padahal, mengingat masa pakai pati, rentang ideal enam tahun. Di masa Sutarman nanti, potensi korban dipikul Akpol 1986. Gejalanya sudah tampak dari struktur dan persentase jumlah pati per angkatan dalam rentang sembilan tahun itu.

Kondisi serupa ditemui pada jenjang perwira menengah (pamen). Jumlah KBP (kombes pol) inflasi 300 lebih; AKBP kelebihan hampir 1.000 personel; makin ke bawah jumlahnya makin besar. Bahkan, di jenjang paling bawah ada masalah dengan dihidupkannya kembali pangkat tamtama yang sesungguhnya bertabrakan dengan peraturan dan tuntutan fungsional yang ada.

Tak sulit mendeteksi keresahan yang muncul. Cukup datangi tempat makan atau masjid di sekitar Mabes Polri atau polda. Sebagian KBP yang frustrasi malah membentuk Kelompok KBP Kantor Pos. Purnawirawan KBP nanti akan mengambil pensiun di kantor pos. Jadi mereka sudah siap-siap pensiun meski usia dinas aktif masih sekitar 10 tahun. Ini kerugian luar biasa bagi Polri dan negara karena energi untuk mencetak KBP jelas tak sedikit.

Setidaknya dua sebab bagi terbentuknya struktur pati dan pamen seperti itu yang berakibat pada keresahan dan frustrasi. Pertama, kurang berlakunya merit system dalam penjenjangan karier. Good cops tak dapat reward yang pantas, bad cops tak diberi punishment memadai.

Perwira yang sudah berdarah- darah membangun institusi tiba- tiba disalip perwira ”lewat jalan tol”. Contohnya, perwira terbaik dikirim menjadi penyidik KPK. Ketika masa tugas usai dan kembali ke Polri, mereka sulit memperoleh posisi strategis. Sebaliknya, perwira yang sudah menjadi mummy karena berkasus tiba-tiba bangkit lagi di jabatan basah.

Kedua, inkonsistensi kebijakan. Contohnya syarat pendidikan menjadi pati adalah menjalani Sespati (sekarang Sespimti), atau Lemhannas (PPRA). Namun, banyak lulusan yang setengah menganggur terus-menerus. Bahkan, ada kebijakan 10 alumnus terbaik Sespimti dikirim lagi ke PPRA Lemhannas, disiapkan sebagai prioritas pati. Pada kenyataan angkatan pertama eksperimen ini baru tujuh yang menjadi pati, disalip mereka yang sebelumnya tak diprioritaskan.

Dampak dari kondisi SDM seperti itu terasa sekali pada tampilan kapasitas dan kapabilitas eksternal Polri. Perwira lebih banyak yang mencari job dengan tanggung jawab ringan tetapi basah. Mereka menghindari penugasan dengan risiko tinggi karena kalau gagal karier akan habis, sementara kalau berhasil, reward-nya tak jelas dan tak pasti.

Gaya hidup

Gaya hidup para perwira muda sangat memprihatinkan. Dengan mudah setiap hari dapat dijumpai perwira muda yang nampang di mal papan tengah dan atas: naik mobil bermerek dan kelas menengah, menggandeng pasangan cantik, dan mengenakan barang bermerek. Karena tidak ada standar etika, parkiran STIK (PTIK) seperti showroom mobil.

Jadi, kinerja Polri yang dinilai buruk oleh masyarakat selama ini bukan lagi ekses karena merupakan produk dari kondisi internal SDM. Kunci keberhasilan kepemimpinan Kapolri transisi terletak pada kebijakan penataan SDM. Harus drastis dan radikal sebab waktu Sutarman tak lama.

Apa yang bisa dilakukan Kapolri baru? Pertama-tama, ia harus mencari asisten SDM Kapolri yang mampu merestrukturisasi postur angkatan serta berani menolak titipan karier dari politisi, pejabat, dan pengusaha. Dalam periode tahun politik hingga akhir periode Presiden SBY (dan karenanya juga masa jabatan Sutarman), tekanan politik (terutama titip-menitip ”tanaman keras” di tubuh personalia Polri) adalah keniscayaan.

Pada kebijakan makro SDM, As-SDM juga harus berani menyetop tekanan arus pamen ke pati dan pama ke pamen. Pangkat tertinggi bagi karier profesional menjadi polisi adalah KBP, selebihnya kapasitas manajemen. Begitu pula dengan rem karier bagi front-line officers yang berhenti pada pangkat AKP sebagai jenjang tertinggi pama. Banyak inisiatif jenis reward yang bisa di- berikan bagi pamen tanpa mengangkat mereka sebagai pati, dan bagi pama tanpa mengangkat menjadi pamen.

Masalah yang dihadapi Kapolri baru bukan lagi akut, melainkan kronis. Kapolri harus bersikap it’s late, but it’s not too late. Kebijakan SDM apa pun memang sudah terlambat, tetapi belum terlalu terlambat. Kondisinya masih bisa diselamatkan, asal Sutarman mengangkat sejumlah ”anjing herder” pada pos- pos utama. Mereka harus mampu menjaga marwahnya sebagai Kapolri.

As-SDM, misalnya, tak boleh orang yang ingin membangunkan para mumi. Jika Sutarman gagal mereformasi Polri dalam satu tahun ke depan, bangsa ini harus ikut bertanggung jawab. Tidak ada kepolisian yang terpisah dari lingkungannya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar