Jumat, 25 Oktober 2013

Siklus Kekerasan di Irak

Siklus Kekerasan di Irak
Chusnan Maghribi  ;   Alumnus Hubungan Internasional FISIP
Uni­versitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY)
SUARA MERDEKA, 24 Oktober 2013


SEPERTI halnya Suriah, Irak akhir-akhir ini kembali diguncang berbagai aksi kekerasan beragam bentuk, seperti serangan bersenjata, bom mobil, dan bom bunuh diri yang merenggut nyawa banyak orang. Kemerebakan tindak kekerasan di Irak sekarang menunjukkan makin memburuknya konflik sektarian di negeri yang pada zaman dulu terkenal dengan sebutan Mesopotamia itu.

Memburuknya konflik sektarian itu membuat penderitaan warga Irak makin panjang. Masyarakat sudah menderita sejak 23 tahun silam, sejak PBB mengembargo total ekonomi menyusul agresi militer Saddam Hussein atas Kuwait. Perang Teluk Januari-Februari 1991 yang mengakhiri pendudukan tentara Irak di Kuwait, disusul tetap diberlakukannya sanksi ekonomi internasional, membuat hidup rakyat Irak makin menderita.

Invasi militer Amerika Serikat (AS) bersama Sekutu ke Irak 20 Maret 2003 untuk mengakhiri kekuasaan otoriter Presiden Saddam menjadi awal penyemaian benih konflik sektarian di Negeri Seribu Satu Malam itu. Perang di Irak selain diwarnai perang kelompok-kelompok pejuang bersenjata melawan pasukan pendudukan AS bersama sekutu, juga perang antarmilisi terutama milisi Sunni versus Syiah. Silang-sengkarut perang Irak sejak 2003 itu sangat sulit diurai dan diatasi.

Penarikan mundur seluruh pasukan AS dari Irak pada akhir Desember 2011 tidak serta-merta menciptakan keamanan, perdamaian, demokrasi dan kemakmuran di negara tersebut.  Irak justru makin nyata terjerumus dalam lembah konflik sektarian berdarah-darah.

Gelombang konflik Sunni-Syiah memang sempat agak melandai pada periode 2009-2012. Namun, gelombang konflik tersebut kembali meninggi sejak April 2013, dipicu oleh bentrok berdarah di Kota Hawijah (Irak Utara) antara pasukan keamanan Irak dan para demonstran Sunni menewaskan sekurangnya 53 orang.

Sejak itu rentetan aksi kekerasan terus terjadi nyaris tiap hari. Korban jiwa pun berjatuhan. Bulan Oktober  ini lebih dari 390 orang tewas. Jumlah korban tewas akibat aksi kekerasan di Irak keseluruhannya sudah mencapai 5100 orang sepanjang tahun 2013 ini (SM, 19/10/13).

Banyak pihak mengkhawatirkan meningkatnya aksi kekerasan antara Sunni-Syiah sekarang  akan mengulang kembali dahsyatnya konflik sektarian pada periode 2006-2007 yang merenggut paksa nyawa puluhan ribu warga Irak. Itu sebabnya, Ketua Parlemen Irak Osama Al-Nujaifi menyeru Perdana Menteri (PM) Nouri Al-Maliki segera membubarkan pemerintahannya yang dibentuk berdasarkan hasil pemilihan umum (pemilu) Maret 2010 dan secepatnya menggelar pemilu untuk membentuk pemerintahan baru.

Persoalannya, seandainya seruan Nujaifi tersebut dipenuhi, pemerintahan baru hasil pemilu nanti dipastikan tidak akan mengakhiri penderitaan dan kesengsaraan hidup segenap masyarakat Irak. Derita rakyat sekarang ini sungguh luar biasa memrihatinkan. Masyarakat menghadapi problem sosial ekonomi kelewat berat.

Sekitar 4 juta penduduk menghadapi ancaman kelaparan, 2,5 juta jiwa tinggal di kamp-kamp pengungsian domestik, dan 2 juta lainnya tersebar di luar negeri. Penduduk umumnya mengalami krisis air bersih dan krisis listrik.

Krisis Sosial

Memang AS sudah merekomendasikan 53 miliar dolar, 8,7 miliar dolar di antaranya diberikan menjelang penarikan seluruh pasukan AS Desember 2011, guna membantu rekonstruksi Irak pascapendudukan AS. Tetapi, hal itu belum berhasil mengatasi masalah atau krisis sosial ekonomi penduduk yang sangat parah tersebut.

Krisis sosial ekonomi itu telah makin memperberat penderitaan hidup masyarakat Irak yang tengah dilanda konflik sektarian antara kaum Sunni yang minoritas dan Syiah yang mayoritas tadi. Banyaknya kelompok radikal dari kedua faham (aliran) seperti Barisan Muhammad, Front Jihad, dan loyalis Muqrada Al-Sadr mempersulit upaya rekonsiliasi nasional. Apa lagi Al-Qaedah of Iraq (AQI) ikut nimbrung dalam konflik sektarian tersebut: menjadikan upaya rekonsiliasi Irak terlampau sulit dilakukan.

Memutus siklus kekerasan di Irak dipandang menjadi langkah paling strategis untuk mengakhiri rangkaian aksi kekerasan di negeri yang kesohor dengan hikayat Seribu Satu Malam itu, sebagai langkah awal menciptakan perdamaian sejati demi pengakhiran penderitaan panjang masyarakat Irak. Masalahnya tentu, langkah konkret apa yang perlu segera ditempuh?

Penempatan pasukan perdamaian PBB di Irak, seperti pernah dilakukan di Lebanon, agaknya menjadi langkah paling rasional dan objektif  yang perlu segera dilakukan. Penempatan pasukan perdamaian PBB di Lebanon menjadi langkah strategis yang terbukti berhasil menengahi pihak-pihak berperang dalam perang saudara, yang juga bernuansa sektarian, di Lebanon tahun 1975-1990.


Apabila PBB memutuskan menerjunkan pasukan perdamaiannya di Irak, langkah tersebut diharapkan dapat menengahi pihak-pihak berkonflik dan menjadi langkah awal penting. Bahkan menjadi upaya komprehensif mewujudkan keamanan, perdamaian, dan demokrasi hakiki demi mengakhiri penderitaan panjang masyarakat Irak. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar