|
Pada Juli 2013, Kompas mengetengahkan
beberapa artikel tentang perguruan tinggi.
Berkenaan dengan melorotnya peringkat perguruan tinggi (PT)
kita, menurut Quacquarelli Symonds (QS) baru-baru ini, Eko Nugroho menjelaskan
beberapa tolok ukur yang dipakai oleh QS dan urgensi pemeringkatan PT pada
skala global (Kompas, 15/7/ 2013). Selanjutnya, terkait dengan upaya pemerintah
meningkatkan kinerja PT kita, Syamsul Rizal mempertanyakan jumlah dana bantuan
operasional perguruan tinggi negeri (BOPTN) dan korelasinya dengan jumlah
publikasi internasional yang dihasilkan PTN penerima dana tersebut (Kompas, 16/7/2013).
Kedua tulisan di atas membuat saya merenung. Tulisan ini
merupakan hasil perenungan tersebut, terkait dengan permasalahan yang lebih
mendasar di balik sejumlah upaya dan kinerja yang ditunjukkan PT kita.
Digerogoti ”rayap”
Sekitar 10 tahun silam, istri saya menanam tiga pohon palem
botol yang ukurannya masih kecil. Ditanam berdekatan di halaman rumah,
ketiganya tumbuh membesar secara perlahan. Walau kami tidak membedakan
perlakuan terhadap ketiga pohon tersebut, dua di antaranya tumbuh lebih besar
daripada yang ketiga.
Semakin diamati, semakin tampak perbedaannya. Kami pun
memberi perhatian lebih kepada pohon terkecil, tetapi upaya kami sia-sia. Pohon
tersebut tetap kecil, jauh lebih kecil daripada dua pohon lainnya.
Perguruan tinggi kita kebanyakan didirikan beberapa puluh
tahun yang lalu, lebih kurang bersamaan waktunya dengan PT di negara tetangga
yang juga baru mengecap kemerdekaan pada pertengahan abad lalu. Pada 1970-an,
sekelompok dosen kita sempat membantu pengembangan satu perguruan tinggi di
Malaysia. Namun, waktu berjalan, dan melalui beberapa pemeringkatan PT yang
dilakukan sejumlah lembaga survei internasional belakangan ini, kita disadarkan
bahwa perguruan tinggi kita sekarang (cukup
jauh) tertinggal di belakang PTN
tetangga.
Secara internal, beberapa pengukuran kinerja perguruan tinggi
gencar dilakukan, misalnya melalui akreditasi program studi dan akreditasi
institusi, serta pemantauan produktivitas penelitian perguruan tinggi. Namun,
hasilnya hanya mengukuhkan bahwa perguruan tinggi kita pada umumnya memang
bermasalah.
Sejumlah upaya pun sebetulnya telah dilakukan sejak 1990-an,
antara lain berupa program pengembangan institusi (dengan skema hibah
kompetitif), internasionalisasi jurnal ilmiah, sertifikasi dosen, beasiswa
bidik misi, dan yang terkini adalah BOPTN. Hasilnya tentu tidak dapat kita
tagih dalam waktu dekat, tetapi saya kembali teringat yang terjadi dengan
ketiga pohon palem kami.
Walau ukurannya tidak sama, ketiga pohon palem tersebut
membesar. Karena itu, pada suatu saat kami memutuskan untuk memindahkan
ketiganya ke tanah di depan rumah, yang terletak di pinggir jalan. Ketika
itulah kami menemukan penyebab kenapa salah satu di antara pohon-pohon itu
terhambat pertumbuhannya. Ternyata, akar pohon kerdil itu digerogoti rayap!
Apa yang terjadi dengan perguruan tinggi kita selama ini
merupakan sesuatu yang tampak di permukaan: peringkat perguruan tinggi kita
melorot, jumlah publikasi internasional rendah, plagiarisme semakin marak
terjadi. Upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah tersebut di
satu sisi dan meningkatkan kinerja perguruan tinggi kita di sisi lain patut
diapresiasi. Namun, tanpa mendalami masalah sesungguhnya serta menangani akar
permasalahannya, sejumlah upaya tersebut akan sia-sia.
Dalam artikel saya sebelumnya (Kompas, 1/7/2013), saya
mengungkapkan bahwa salah satu permasalahan mendasar dengan perguruan tinggi
kita adalah kualitas para dosennya. Di balik itu, terdapat sejumlah hal yang
perlu digarap apabila kita ingin membangun perguruan tinggi berkualitas, yaitu
(1) sistem perekrutan dan sistem promosi berbasis merit; (2) sistem peer-review;
(3) mobilitas dosen; (4) kompetisi yang sehat di antara perguruan tinggi; (5)
otonomi dan kebebasan akademik; (6) sinergi pengajaran dan penelitian; (7)
pendanaan; serta (8) keberadaan filantropis.
Barangkali hanya di Indonesia dosen direkrut sekali dan
menetap selamanya. Tak ada mobilitas sama sekali. Asep Saefuddin, dalam
tulisannya di Kompas Siang edisi 7/7/2013, mengungkapkan masalah inbreeding yang terjadi di
lingkungan perguruan tinggi kita. Tampaknya tak banyak pihak yang melihat
masalah ini sebagai sesuatu yang serius, apalagi menanganinya. Sebagai
contoh, Kompas Minggu edisi 21/7/2013 menampilkan sosok seorang guru
besar di sebuah PTN di Sumatera, yang mendapat gelar S-1, S-2, dan S-3-nya dari
PTN itu juga. Di negara lain, hal seperti ini sangat dihindari.
Berbicara tentang produktivitas penelitian, selain kualitas
dosen, besar anggaran yang tersedia untuk kegiatan penelitian juga merupakan
isu utama. Bagaimana dapat bersaing dengan perguruan tinggi Malaysia apabila
besar anggaran penelitian perguruan tinggi kita hanya Rp 10 miliar hingga Rp 30
miliar per tahun, sementara mereka dikucuri Rp 100 miliar hingga Rp 300 miliar
per tahun? Padahal, dari penelitian-lah kita menantikan ilmu pengetahuan dan
teknologi baru, yang akan mendongkrak daya saing bangsa.
Cita-cita berbangsa
Selain mengandalkan dana dari pemerintah dan masyarakat,
perguruan tinggi di negara lain juga memiliki dana abadi dan terbantu oleh para
filantropis yang bermurah hati memberikan donasi puluhan miliar hingga ratusan
miliar rupiah. Sebagai contoh, perguruan tinggi di AS, baik privat maupun
publik, bisa mempunyai dana abadi yang besarnya mencapai ratusan triliun
rupiah.
Keinginan mewujudkan perguruan tinggi yang berkualitas
tentunya bukan sekadar untuk unjuk gigi, tak mau kalah dari perguruan tinggi di
negeri jiran. Lebih penting lagi, kita harus bekerja keras mewujudkannya karena
kita percaya, perguruan tinggi yang berkualitas pada gilirannya akan memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan berbangsa. Bukankah dua hal itu
yang dicita-citakan pendiri bangsa kita, sebagaimana dinyatakan dalam Pembukaan
UUD 1945? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar